Konsep Insan Kamil (Manusia Sempurna) dalam Pemikiran Ibn Arabi dan Seyyed Hossein Nasr: Sebuah Studi Komparatif
MOCHAMMAD LATHIF A, Dr. Arqom Kuswanjono
2020 | Tesis | MAGISTER FILSAFATPenelitian ini bertujuan melakukan analisis dan perbandingan atas konsep insan kamil dalam pemikiran Ibn Arabi dan Seyyed Hossein Nasr sebagai upaya mengeksplorasi gagasan manusia sejati. Krisis identitas dan spiritualitas manusia modern telah menyebabkan berbagai krisis global. Peradaban modern yang berkembang pesat melalui spirit kapitalisme, post-modernisme, dan cyberspace, tidak memberikan manusia kesempatan untuk melakukan pemaknaan mendalam mengenai hakikat dirinya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat manusia merasa menjadi penguasa semesta. Alam dipandang sebatas alat pemenuh kebutuhan yang berhak ditundukkan demi kepentingan pribadi. Posisi Tuhan diabaikan. Sehingga, perlu perengkuhan kembali spiritualitas dan kearifan perenial untuk memperbaiki cara pandang manusia tentang dirinya yang telah mengakibatkan berbagai krisis seperti ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan krisis ekonomi. Pemahaman akan hakikat manusia melalui insan kamil akan memperbaiki hubungan antara manusia dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan model penelitian komparatif. Tahapan penelitian meliputi inventarisasi data, klasifikasi, analisis-sintesis, dan penulisan hasil. Metode analisis data dilakukan dengan deskripsi, holistika, interpretasi, dan komparasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) konsep insan kamil Ibn Arabi memiliki landasan ontologis pada wahdat al-wujud. Insan kamil Ibn Arabi mensyaratkan 2 kesempurnaan, yaitu wujud dan pengetahuan. Kesempurnaan wujud insan kamil adalah tajalli paling sempurna dari Tuhan. Ia memanifestasikan seluruh asma dan sifat Tuhan, sekaligus menjadi al-kawn al-jami (wujud komprehensif yang menghimpun seluruh unsur wujud di alam semesta). Kesempurnaan pengetahuan insan kamil meliputi dua realitas, yaitu tentang Al-Haqq dan al-khalq. Pengetahuan ini dicapai melalui ilmu aql, ahwal, dan asrar. Adapun puncak kesatuan wujud dan pengetahuan insan kamil, yang disebut fana, dilalui melalui 3 tahapan, yaitu takhalluq, takhaqquq, dan taalluq. Insan kamil memiliki 3 nilai utama, yaitu kesempurnaan, kekhalifahan, dan ketaatan. Insan kamil Seyyed Hossein Nasr berlandaskan pada prinsip tauhid/ketunggalan. Insan kamil adalah realitas yang mengandung semua tingkat keberadaan selain Allah, serta mencakup semua kemungkinan laten di masing-masing tingkatan realitas. Ia memiliki 3 aspek mendasar, yaitu realitas pola dasar kosmos, instrumen penurunan wahyu, dan model sempurna kehidupan spiritual. Insan kamil mengintegrasikan seluruh pengetahuan akan realitas yang dicapai melalui sufisme dan peneguhan tauhid. Insan kamil Nasr memiliki nilai utama berupa kesempurnaan, universalitas, kesetiaan penghambaan, dan kekhalifahan; 2) Persamaan keduanya terdapat pada sumber ajaran utama yaitu Alquran-hadis, basis ontologis konsep berupa ketunggalan wujud, serta anjuran untuk mengikuti jalan syariat dan sufisme. Adapun perbedaannya meliputi penggunaan istilah, latar historis pemikiran, orientasi mistik, serta kehendak bebas dalam diri insan kamil.
This study aims to analyze and compare the concept of insan kamil in the thought of Ibn Arabi and Seyyed Hossein Nasr as an effort to explore the ideas of real humans. The crisis of identity and spirituality of modern humans has caused various global crises. Modern civilization that developes rapidly through the spirit of capitalism, post-modernism, and cyberspace, does not give humans the opportunity to make a deep understanding of the essence of themselves. Advances in science and technology make humans act as if they are the rulers of the universe. Nature is seen as a means of fulfilling needs that are entitled to be subdued for personal interest. The God's position is ignored. Hence, it needs to re-embrace spirituality and perennial wisdom to improve the way humans view themselves which has caused various crises such as social inequality, environmental crisis, poverty, and economic crisis. Understanding of human essence through insan kamil will improve relations between humans and fellow humans, nature, and God. This research is a literature study with a comparative research model. Research stages include data inventory, classification, analysis-synthesis, and writing of result. Data analysis method is done by description, holistica, interpretation, and comparison. The result shows that: 1) the insan kamil concept of Ibn Arabi has an ontological basis in wahdat al-wujud. Ibn Arabi's insan kamil requires 2 perfection, namely wujud and knowledge. The wujud perfection of insan kamil is the most perfect tajalli of the God. It manifests all the names and the attributes of the God, and at the same time becomes al-kawn al-jami (a comprehensive being that brings together all the elements of wujud in the cosmos). The knowledge perfection of insan kamil encompasses two realities, namely about Al-Haqq and al-khalq. This knowledge is achieved through aql, ahwal, and asrar knowledge. The peak of the unity of wujud and knowledge of insan kamil, called fana, is passed through 3 stages, namely takhalluq, takhaqquq, and ta'alluq. Insan kamil have 3 main values, namely perfection, caliphate, and obedience. Seyyed Hossein Nasr's insan kamil is based on the principle of tauhid. Insan kamil is a reality which contains all levels of existences other than Allah, and includes all latent possibilities at each level of reality. It has 3 fundamental aspects, namely the reality of the cosmos archetypal, the instrument of revelation, and the perfect model of spiritual life. Insan kamil integrates all knowledge of the reality achieved through sufism and the confirmation of tauhid. Nasr's insan kamil has the main values of perfection, universality, servant loyalty, and caliphate; 2) the similarities of both are found in the main teaching sources, namely Alquran-hadis, the ontological basis of the concept of the unity of wujud, and the suggestion to follow the path of sharia and sufism. While the differences include the use of the term, the historical setting of the thought, mystical orientation, and the existence of free will inside of insan kamil.
Kata Kunci : Ibn Arabi, insan kamil, Seyyed Hossein Nasr, sufisme