Laporkan Masalah

Co-Housing di Bantaran Sungai Kota Yogyakarta dengan Pendekatan Home-Based Enterprise

HASNA JUSTITIA ISAKA, Dr. Ir. Arif Kusumawanto, M.T, IAI, IPU

2020 | Skripsi | S1 ARSITEKTUR

Bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pengertian rumah bukan hanya sebatas tempat berteduh saja, melainkan juga sebagai tempat usaha untuk menambah penghasilan, disamping sebagai wahana sosialisasi (Budihardjo, 1987, hal 34). Hal ini merupakan salah satu perbedaan arti rumah di Indonesia dengan rumah-rumah di negara maju yang semata-mata hanya sebagai hunian. Kota Yogyakarta sebagai satu-satunya kota di Provinsi D.I. Yogyakarta merupakan sasaran dari urbanisasi masyarakat di kabupaten sekitarnya. Rumah-rumah di perkampungan Kota Yogyakarta, umumnya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, merupakan rumah-rumah yang tidak hanya mewadahi fungsi hunian saja, melainkan juga fungsi usaha. Permukiman padat penduduk di Kota Yogyakarta, salah satunya adalah di Daerah Aliran Sungai Code, dengan sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Permukiman ini disinyalir kurang layak huni karena terlalu padat dan kurang tertata. Selain itu, terdapat isu seperti bencana lahar dingin yang beberapa kali melanda area ini. Meski begitu, penduduk merupakan masyarakat dengan ikatan sosial dan komunitas yang kuat. Dengan urgensi untuk memberikan rumah yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) serta melalui esensi rumah adalah hunian sekaligus sebaga tempat usaha dari masyarakat tersebut, maka desain rumah susun dengan konsep Co-Housing, rumah berbasis komunitas, dengan pendekatan Home-Based Enterprise dapat menjadi alternatif penyelesaian. Diharapkan kedepannya, rumah susun dengan konsep ini dapat menunjang sustainabilitas, tidak hanya dari segi fisik tetapi juga segi sosial-ekonomi, sekaligus sebagai prototype baru bagi Kota Yogyakarta berupa rumah susun yang mencerminkan kehidupan masyarakat kampung-kota Kota Yogyakarta.

Toward low-income people (Masyarakat Berpenghasilan Rendah/MBR), a home isn’t only as a shelter, but also a place to earn a living, besides as a place for socialize (Budihardjo, 1987, page 34). There is the different meaning of a home between Indonesians and people in developed countries, which a home in developed country functioned as residency/dwelling only. Yogyakarta City as the one and only city in Yogyakarta Province being aimed for urbanization by peoples from regencies around it. Toward low-income people lives in Yogyakarta city, houses is not only accomodate living, but also a place for business. One of villages with dense population in Yogyakarta City is the settlements on the watershed of Code River (Daerah Aliran Sungai Code). The mayorities people living there is low-income people. This village is least livable because it is too populous and less organized. Moreover, there is some issues like cold lahar stream disaster which sometimes occured. Therefore, the villagers is peoples with strong community and social bond. According to the urgency for giving housing design which appropriate for low-income family, alongside actualizing both the meaning of a house as a shelter and place for earning a living, walk-up flat design with Co-Housing concept—housing with community basic—with Home-Based Enterprise as approach could be alternative solution. Walk-up flat with this approach could fulfill the expectation for supporting sustainability, not only form physical side but also social-economy side, at a time become new housing prototype for Yogyakarta City which reflect the life of the villager in this city.

Kata Kunci : rumah susun,Co-Housing,Masyarakat Berpenghasilan Rendah,tempat usaha,perkampungan Kota Yogyakarta,walk-up flat,Co-Housing,low-income people,place of business/earn a living,Yogyakarta City’s village

  1. S1-2020-394854-abstract.pdf  
  2. S1-2020-394854-bibliography.pdf  
  3. S1-2020-394854-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2020-394854-title.pdf