JARINGAN PENGEPUL-PEMULUNG SEBAGAI LANDASAN EKSISTENSI PERMUKIMAN PEMULUNG DI KECAMATAN DEPOK, SLEMAN, YOGYAKARTA
NAWANG ANANDHINI, Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng, Ph.D.
2020 | Skripsi | S1 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTATingginya intensitas kegiatan perekonomian perkotaan dan pengelolaan sampah di Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) yang belum optimal menciptakan peluang mata pencaharian informal sebagai pemulung. Sebagai manusia, pemulung membutuhkan tempat tinggal sebagai kebutuhan dasarnya. Pemulung yang dianggap sebagai bagian dari lapisan ekonomi dan budaya terbawah stratifikasi masyarakat perkotaan memiliki kondisi sosial-budaya dan pengalaman personalnya sendiri dalam proses bermukim mereka, khususnya di perkotaan di mana mereka tidak memiliki kecukupan finansial dan legalitas untuk mengakses lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peran jaringan sosial, ekonomi, dan spasial dalam fenomena eksistensi permukiman pemulung di Kecamatan Depok sebagai bagian dari KPY. Permukiman Pemulung Kecamatan Depok dipilih karena tidak terletak pada lahan-lahan marginal, memiliki ciri nonpermanen, bersifat nomaden, seluruh pemukimnya bekerja pada sektor informal persampahan, dan berada di area perkotaan yang berkembang pesat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah induktif-kualitatif dengan metode fenomenologi untuk mendapatkan pemahaman umum dan esensi dari suatu fenomena melalui temuan-temuan yang diperoleh dari lapangan. Eksistensi permukiman pemulung dilatarbelakangi oleh keberadaan peluang ekonomi perkotaan dan motivasi ekonomi masing-masing aktor di dalamnya, yaitu pemulung dan pengepul. Mereka membentuk suatu hubungan sosial yang beralaskan pertukaran ekonomi untuk mengambil keuntungan dari timbulan sampah perkotaan. Pengepul yang memiliki sumber daya lebih akan membangun tempat bermukim untuk pemulung di Kecamatan Depok dengan syarat pemulung harus menjual sampah yang ia peroleh ke pengepul tersebut. Hubungan sosial yang berlandaskan kepentingan ekonomi antar pengepul dan pemulung membentuk jaringan spasial mereka dalam bermukim. Lahan-lahan permukiman pemulung di Kecamatan Depok berada di dekat kawasan kegiatan perkotaan sebagai sumber komoditas pertukaran ekonomi mereka tetapi harus terjangkau secara biaya oleh pengepul selaku penyewa lahan yang mempertimbangkan untung-rugi. Meskipun pengepul dan pemulung harus mengalami perpindahan lahan bermukim akibat harga sewa lahan yang terlalu tinggi atau lahan yang mereka tinggali diminta oleh pemiliknya untuk dibangun, permukiman pemulung tetap berada di sekitar Kecamatan Depok. Alasannya, di Kecamatan Depok masih terdapat lahan-lahan yang terjangkau secara biaya dan jarak dengan sumber timbulan sampah sebagai komoditas pertukaran ekonomi mereka. Perubahan lokasi lahan bermukim mereka tidak mengubah lokasi memulung atau menyetorkan barang rongsok.
The high-intensity economic activities and un-optimized waste management in Yogyakarta Urban Area (YUA) generates informal livelihood opportunity as a waste-picker. Waste-pickers as human beings, need place to dwell, as dwelling is one of the basic human needs. Waste-pickers who are considered in the bottom part of urban society socio-economics stratum, have their own socio-cultural and individual experiences to meet their need of housing, especially in urban area where they do not have financial capabilities and legality to access available lands. This research elucidated the roles of social, economic, and spatial network in waste-picker settlements existence in Depok as part of YUA. Waste-picker settlements in Depok were chosen because the settlements were not located on marginalized land, had non-permanent characteristics, nomadic, all the dwellers worked on informal waste management sector, and located in rapidly-developing urban area. This study was conducted with inductive-qualitative phenomenology approach to obtain a general understanding and the essential parts of a phenomenon through the findings derived from subjects' experiences. The existence of waste-picker settlements was formed by urban-economic opportunities and each actor's (waste-pickers and waste-collectors) economic motivation. They formed social relationships based on economic exchanges to utilize urban waste. Waste-collectors, who had more resources, would build shelters or dwellings for waste-pickers in Depok. To dwell in those buildings, waste-pickers were required to sell the waste they had gathered to the waste-collectors who provided shelters for them. This economic-based social relationship constructed the spatial network on their dwelling process. The waste-picker settlements should be located near urban activities center that generated waste as their commodities to perform economics exchanges. At the same time, as a land renter, waste-collector considered profit and loss from occupying a land. Although waste-collectors and waste-pickers had to experience several resettlements due to higher rental rates and new building construction from the land owners, waste-picker settlements still situated in Depok. There were lands that still available and affordable in terms of cost and distance range from urban area. The changes of their settlements location did not alter the location of picking up the waste by waste-pickers and the location for selling/depositing the waste by waste-collectors.
Kata Kunci : permukiman pemulung, jaringan sosial-ekonomi, jaringan spasial, Kecamatan Depok Yogyakarta