Laporkan Masalah

Eksistensi Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh Dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

DEWIC SRI R D, Dr. Supriyadi, S.H.,M.Hum.

2020 | Tesis | MAGISTER ILMU HUKUM (KAMPUS JAKARTA)

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis dasar pemikiran keberadaan Lembaga Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia Serta mengkaji konstribusi Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh terhadap pembentukan KKR Nasional di masa depan guna penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Penelitian ini menggunakaan metode penelitian normatif untuk memperoleh data sekunder melalui penelitian kepustakaan kemudian data tersebut dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Dasar Pemikiran Keberadaan Lembaga Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh adalah bahwa secara filosofis pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh merupakan bukti ikhtiar kolektif yang mengedepankan "nilai-nilai islah" dalam rangka perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia agar masyarakat Aceh dapat mencapai keadilan dalam masa transisi. Secara sosiologis KKR dapat menjadi fasilitator para korban dan pelaku untuk saling memaafkan sehingga pelaku dengan suka rela mengakui kesalahannya, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan menyesal atas perbuatannya. Restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi dapat terwujud mengingat hukum adat bagi orang Aceh masih sangat diyakini dapat menciptakan ketertiban dan kedamaian. Secara yuridis KKR Aceh sudah diatur dalam Pasal 229, 230, 259 dan 260 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh sehingga dilihat secara kedudukan qanun setingkat dengan peraturan daerah. Kedua KKR Aceh dapat menunjukan bahwa walaupun dengan keistimewaan banyak corak hukum didalam nya, Aceh tidak khawatir akan terjadi kekacauan /rechtsvacum dalam penerapan KKR yang dibentuk, karena itu justru mencerminkan keistimewaan yang dapat menjadi role model untuk dapat mewujudkan rasa keadilan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat dimasa transisi ini, Untuk itu pemerintah tidak perlu ragu memasukan Rancangan Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020 di DPR, karena KKR Aceh sedikit banyak dapat dijadikan contoh permulaan agar penuntasan masalah HAM masa lalu dapat terselesaikan.

This study aims to determine and analyze the rationale for the existence of the Aceh Truth and Reconciliation Commission Institution in resolving human rights violations in Indonesia and to examine what the contribution of the Aceh Truth and Reconciliation Commission to the forming of a future National KKR for the resolution of gross human rights violations. This study uses normative research methods to obtain secondary data through library research and then the data is analyzed qualitatively by descriptive analytical methods. Based on the results of research and discussion concluded as follows: First, the existence rationale of the Aceh Truth and Reconciliation Commission Institution is that philosophically the forming of the Aceh Truth and Reconciliation Commission is evidence of collective endeavors that prioritize "islah values" in the context of the protection and enforcement of human rights so that the people of Aceh can achieve justice in transition. Sociologically, can be a facilitator for victims and perpetrators to forgive each other, so that the perpetrators willingly admit their mistakes, the truth of facts, express regret for their actions. Restitution, rehabilitation and compensation can be realized given the customary law for the people of Aceh is still believed to be able to create order and peace. Customary law for the people of Aceh is still believed to be able to create order and peace. In juridical manner the KKR Aceh has been regulated in Articles 229, 230, 259 and 260 of Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh so that the qanun's position is seen at the level of local regulations. Secondly, KKRC Aceh can show that despite the privileges of many legal features in it, Aceh is not worried about chaos / rechtsvacum in the application of the KKR established, because it reflects the privileges that can become role models to realize a sense of justice in resolving gross human rights violations in the future for this transition, so that the government does not need to hesitate in including the Draft Law on the Truth and Reconciliation Commission (RUU KKR) in the 2020 national legislation program (Prolegnas) in the DPR, because the KKR Aceh can more or less be used as an example for the beginning so that the resolution of past human rights problems can resolved.

Kata Kunci : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh, Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat

  1. S2-2020-402844-abstract.pdf  
  2. S2-2020-402844-bibliography.pdf  
  3. S2-2020-402844-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2020-402844-title.pdf