Premanisme dan Kekuasaan Studi: Ekspansi Kekuasaan Angkatan Muda Kei (AMKAY) di Yogyakarta.
KRISNA RETTOB, Dr. Wawan Mas'udi, S.I.P, M.P.A.
2019 | Tesis | MAGISTER POLITIK DAN PEMERINTAHANStudi ini membahas tentang kekuasan informal dari kelompok premanisme, yakni Angkatan Muda Kei (AMKAY). Terdapat dua alasan utama mengapa studi ini dilakukan. Pertama secara faktual, penulis ingin mengetahui bagaimana AMKAY melakukan ekspansi kekuasaan ke Yogyakarta dan bagaimana hubungan AMKAY dengan negara serta hubungan AMKAY dengan kelompok preman lain yang sudah ada lebih dulu di kawasan Babarsari, Seturan dan sekitarnya. Kedua secara konseptual, di Indonesia pada umumnya aktor-aktor yang memiliki kekuasaan informal disebut sebagai orang kuat. Konsep orang kuat didapatkan karena keturunan kebangsawanan atau karena modal ekonomi yang besar. Sedangkan unsur kekerasan sebagai modal untuk mendapatkan kekuasaan belum banyak dibahas. Adapun yang membahas unsur kekerasan sebagai basis terciptanya kekuasaan selalu mengarah pada kajian-kajian yang bersifat oligarki serta konflik horizontal antar aktor. Untuk itu, pada kajian ini penulis melihat dari perspektif ekonomi-politik. Fokus kajian ini dilakukan pada kawasan yang mengalami pertumbuhan ekonomi yaitu Babarsari, Seturan dan sekitarnya. Pertumbuhan ekonomi yang besar pada kawasan ini memancing hadirnya kekuatan informal untuk ikut menjalankan bisnis keamanan termasuk kelompok AMKAY. Penulis mendapatkan data dalam studi ini dengan cara observasi partisipan, wawancara mendalam serta analisa dokumen dan pustaka. Data kemudian dianalisa dengan menggunakan metode interactive model. Pada studi ini, penulis menggunakan kerangka konseptual dari Wilson (2018) tentang jatah preman. Selain kerangka konseptual dari Wilson, penulis juga menggunakan konsep kekerasan dari Galtung (1969). Kedua konesp ini, penulis gunakan untuk menjelaskan pemetaan hubungan dan persaingan setiap aktor baik AMKAY, negara maupun kelompok preman lain. Konsep ini juga digunakan untuk menjawab bagaimana skema kekerasan yang dimainkan AMKAY dalam melakukan ekspansi kekuasaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan preman dengan negara tidak sama seperti masa orde baru. Pada masa orde baru kelompok preman digunakan sebagai alat untuk menertibakan masyarakat yang dianggap berbahaya dalam versi negara. Sedangkan pada kasus ini, preman dan negara memiliki hubungan baik dalam mengelola sumberdaya ekonomi di kawasan bisnis secara bersama-sama. Hubungan baik yang dimaksudkan adalah tidak ada yang bertindak sebagai patron dan klien seperti Soeharto dan para jagoan orde barunya. Situasi ini menjelaskan bahwa kelompok preman tidak selamanya merupakan bagian integral dari negara seperti yang disampaikan oleh Sidel (1999). Kelompok preman justru terus bergerak secara seporadis untuk menebar rasa takut kepada masyarakat dengan berbagai aksi kekerasan. Tindakan ini dilakukan agar masyarakat kehilangan rasa percaya kepada negara dalam urusan keamanan sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain menjadikan kelompok preman sebagai partner dalam urusan keamanan. Artinya, skema yang dipakai kelompok AMKAY sama seperti konsep Wilson (2018) tentang jatah preman di mana kelompok preman hanya berpikir tentang bagaimana mendapatkan upah ekonomi. Urusan eksistensi negara bukan menjadi penghalang bagi kelompok preman untuk terus menebar aksi-aksi kekerasan di masyarakat baik kekerasan dalam konteks fisik maupun verbal (Galtung 1969). Jika pada masa orde baru semangat utama para preman adalah membela rezim maka situasi pasca demokratisasi 1998 telah berebada, yang dibela kelompok preman adalah agama, partai politik dan semangat sebagai warga asli setempat. Tetapi pada kasus AMKAY yang menjadi motif utama tindakan kekerasan dilakukan adalah untuk menuntut upah ekonomi dan menunjukan nama besar Kei sebagai brand keamanan.
This study is aiming to describe the informal power of local thuggery such as Angkatan Muda Kei (AMKAY) based on a factual and conceptual approach. The former is to analyze how this thuggery group could expand its power to Yogyakarta, how AMKAY relationship with the state and others thuggery groups that already existed in Babarsari, Seturan and surrounding. While the latter is principally used to magnify the concept of orang kuat, those who have power, and the historical context of the concept. Generally speaking, most of Indonesian believe in the concept of orang kuat as a label to those who have informal power where historically generated from their heredity or economic capital. However, violence as an essential part of gaining power is likely to be undersurface since it is just perceived as a discourse in particular cases of oligarchy system and horizontal conflict between actors. Seeing this gap, the author is willing to have research in the frame of a political-economic approach focusing on particular economic emerging districts such as Babarsari, Seturan, and the surrounding. The economic growth in these regions has fostered the establishment of informal power to exercise its violence means and ends. The data in this study were obteined through participant observation, in-depth interview, documentary and literature analyzed. Finally, the data were analyzed using the method of Interactive Model. This study were analyzed by the author based on the theory of protection racket by Wilson (2018). Beside this theory, the author also refers to the ideas of Galtung (1969) about direct violence. Both of these concept were used by the author to describe how is the relationship between AMKAY and the state. These concept also would guide the author to analyze deeply how is the contestation of AMKAY and others thuggery group. Therefore, the objective of this study is to analyze the use of violence of AMKAY as the principle basis to expand its power in Yogyakarta. Derived from the result, the author found that relationship between the thuggery and state totally different from what happened in Soeharto era. At that time, thuggery were used by Soeharto as a tool to bring order the society whice were considered dangerous according to the state. At this point, the thuggery and state have a good relationship to manage economic resources in business distric. It means, in Soeharto era the thuggery were a client of Soeharto but in this case AMKAY is not a client of military. This case shows that thuggery are not always an integral part of the state same as what Sidel (1999) said. Thuggery always spread violence in society in order to make the society do not believe the state about protection. Finally, society would choose thuggery group as a partner to protect them. It prove that the concept of Wilson (2018) about protection racket has been used by AMKAY to get a power in productive economic zone because AMKAY only thought about economic ration, the existence of the state is not barrier for AMKAY to spread violence actions both physical and verbal violence (Galtung 1969). In Soeharto era the spirit of thuggery was to defend regime. After 1998, the spirit of thuggery changed to defend religion, political party and sprit of being a local native. But in this case, basicly the spirit of AMKAY as a thuggery are getting economic ration and showing the big name of Kei as a brand of security.
Kata Kunci : Premanisme, kekerasan, jatah preman, ekspansi kekuasaan, hubungan preman dan negara.