Pendaftaran Tanah Pusako Tinggi Masyarakat Adat Minangkabau Ditinjau dari Diskursus Antara Living Law Theory dan Positivisme Hukum
MUHAMMAD RAVI, Dr. Sindung Tjahyadi
2019 | Skripsi | S1 FILSAFATTanah Pusako tinggi masyarakat adat Minangkabau dimiliki bersama oleh semua anggota kaum, dikelola oleh kaum, serta dinikmati hasil tanahnya tersebut oleh kaum. Ketika hal-hal tersebut dibenturkan dengan peraturan pemerintah yang tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 19 ayat 1 yang mengharuskan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas kepemilikan suatu tanah. Hal ini menjadi suatu kontradiksi ketika kepemilikan Tanah Pusako tinggi ini tidak dimiliki oleh satu orang saja namun dimiliki oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Teori diskursus akan sangat tepat dalam memberikan jalan keluar bagi pertentangan antara hukum adat yang dilandasi oleh living law theory dan hukum nasional yang dilandasi oleh teori positivisme hukum yang sangat bertolak belakang ini. Living law theory dan teori positivisme hukum ini sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan yang akan menyulitkan pemerintah dan masyarakat ketika salah satu teori dalam proses pembuatan hukum negara tersebut disingkirkan. Karena Teori diskursus mencoba untuk menjembatani teori-teori yang saling berbenturan dan bertujuan untuk memperbaiki klaim validitas yang kontroversial dan membuat klaim validitas baru sebagai pengganti klaim validitas yang lama secara intersubjektif. Objek material penelitian ini adalah permasalahan yang terjadi di masyarakat adat Minangkabau terkait proses pendaftaran tanah pusako tinggi. Objek formalnya adalah Teori Diskursus yang mencoba menjembatani teori positivisme hukum dan Living law theory. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif di bidang filsafat dengan mengambil sebuah kasus tentang pertentangan dua hukum yang sulit untuk didamaikan dan diperkuat dengan studi pustaka dan wawancara. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap, antara lain tahap persiapan, observasi lapangan, wawancara inventarisasi data, klasifikasi data, analisis sintetis, dan evaluasi kritis. Dalam kasus pendaftaran tanah pusako tinggi, hukum adat dan hukum nasional sebenarnya memiliki tujuan yang sama namun memiliki cara berbeda dalam pengimplementasiannya. Hukum nasional menginginkan agar seluruh tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia dapat terdaftar agar pemerintah dapat memiliki data yang valid tentang wilayah Indonesia secara keseluruhan agar pemerintah dapat menjaga keutuhan wilayah Indonesia. Namun masyarakat Minangkabau meyakini tanah tidak dimiliki oleh pihak manapun suatu pihak hanya memiliki hak pakai yang bertujuan agar keutuhan wilayah minangkabau tidak dimiliki oleh pihak-pihak diluar suku minangkabau dan menjamin keberlangsungan anggota sukunya. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan secara pasti definisi dari tanah pusako tinggi agar mempermudah dalam memperbaiki undang-undang tentang pendaftaran tanah pusako yang dirasa belum sempurna. Serta memberikan sosialisasi kepada seluruh masyarakat adat agar mereka mengetahui aturan-aturan ini dan lebih sadar akan harta yang dimiliki kaumnya.
Tanah Pusako tinggi Minangkabau indigenous people are jointly owned by all members of the clan, managed by clans, and enjoyed the results of their land by the clans. When these things are collided with government regulations that is contained in the Basic Agrarian Law No. 5 of 1960 article 19 paragraph 1 which requires land registration throughout the territory of the Republic of Indonesia in order to provide legal certainty of ownership of a land. This becomes a contradiction when the ownership of Tanah Pusako tinggi are not owned by one person but owned by several people in the clans. Discourse theory will be very appropriate in providing a solution to the conflict between customary law based on living law theory and national law that based on the theory of legal positivism which very contradictory. Living law theory and legal positivism theory both have advantages and disadvantages that will complicate the government and society when one of the theories in the country's lawmaking process is removed. Because discourse theory tries to bridge theories that clash with one another and aims to correct controversial claims of validity and make new claims of validity in lieu of intersubjective claims of old validity. The object material of this research is the problems that occur in Minangkabau indigenous people related to the Tanah Pusako registration process. The formal object is the Theory of Discourse which tries to bridge the theory of legal positivism and Living law theory. Researchers uses qualitative research methods that are descriptive in the field of philosophy by taking a case about the conflict between two laws that are difficult to reconcile and reinforced by literature study and interview. This research was conducted in several stages, including the preparation phase, field observations, data inventory interviews, data classification, synthetic analysis, and critical evaluation. In the case of Tanah Pusako registration, customary law and national law actually have the same purpose but have different ways of implementing it. National law wants all land in all areas of Indonesia to be registered so that the government can have valid data about the territory of Indonesia as a whole so that the government can maintain the integrity of the territory of Indonesia. However, the Minangkabau people believe that land is not owned by any party. A party only has a right of use which aims to ensure that the integrity of the Minangkabau region is not owned by parties outside the Minangkabau tribe and to ensure the continuity of its tribe members. The solution that can be done is to establish with certainty the definition of Tanah Pusako in order to make it easier to improve the law on registration of pusako land that is felt to be imperfect. As well as giving outreach to all indigenous peoples so that they are aware of these rules and are more aware of the assets owned by their people.
Kata Kunci : Tanah pusako tinggi, Teori diskursus, Living law theory, Positivisme hukum