KONSTRUKSI KABUPATEN KONSERVASI TAMBRAUW DI PROVINSI PAPUA BARAT: KONTESTASI AKTOR, PERAN POWER, BIOFISIK DAN ADAPTASI
SEPUS MARTEN FATEM, Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc;Prof. Dr. Ahmad Maryudi, M.For.Sc;Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.For. Sc
2019 | Disertasi | DOKTOR ILMU KEHUTANANIndonesia, khususnya Tanah Papua merupakan wilayah dengan potensi sumberdaya hutan terluas dan menjadi tantangan terberat ketika terjadi pemekaran wilayah sebagaimana amanat otonomi daerah. Reformasi pembangunan Indonesia, pada awalnya dimulai sejak tahun 2000-an melalui pemberlakuan otonomi daerah. Sebagai konsekuensinya, maka terjadi pemekaran kabupaten/kota bahkan provinsi di seluruh wilayah Indonesia. Pemekaran tersebut pada dasarnya dilakukan dengan maksud agar pemerintah mampu mendekatkan pelayanan pemerintahan. Namun pada saat yang bersamaan, di beberapa Kabupaten Pemekaran yang notabenenya berada pada kawasan lindung, mengalami kesulitan dalam menemukan bentuk pengaturan pengelolaan sumberdaya hutan yang terintegrasi dengan tata kelola pemerintahan. Salah satunya Kabupaten Tambrauw. Penetapan misi kabupaten konservasi sebagai jalan kompromi. Kendati demikian, pada saat yang bersamaan penetapan Kabupaten Konservasi memunculkan berbagai pertanyaan. Oleh sebab itu, penelitian dilakukan dengan merujuk pada 3 tujuan yakni: (1) Mendapatkan data dan penjelasan mengenai kontestasi, peran aktor dan sumber power pembentukan Tambrauw sebagai kabupaten konservasi; (2) Mendapatkan data dan penjelasan mengenai kondisi biofisik wilayah, alokasi penggunaan lahan dan tekanan penduduk dalam konteks Kabupaten Konservasi; (3)Menyusun strategi pembentukan kabupaten konservasi dan merumuskan model kelembagaan lokal Kabupaten Konservasi. Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2017-Juli 2018 di Kabupaten Tambrauw. Pengambilan data dilakukan pula di tingkat Provinsi Papua Barat dan Kementrian terkait di Jakarta. Penelitian menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Parameter-parameter dalam penelitian diperoleh dengan prinsip triangulasi data: observasi, survey lapangan, dan studi dokumen maupun diskusi kelompok terfokus (FGD). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistik deskriptif, analisis kontent, overlay peta, statistik uji-t maupun analisis SWOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa konstruksi pembentukan kabupaten konservasi dimulai pada perbedaan pemaknaan kawasan konservasi yang mendorong kontestasi aktor sehingga gagasan kabupaten konservasi muncul. Tambrauw layak menjadi kabupaten konservasi yang divisualisasikan pada akumulasi nilai 4 faktor pemungkin: aspek biofisik (skor : 10), komitmen politik (skor: 11), kelembagaan (skor: 34) dan ekonomi (skor: 7), dengan total nilai akhir 62. Lembaga non pemerintah seperti WWF, FAO-UNDP, IUCN dan CI merupakan aktor yang menggunakan dominan informasi menekan KLHK untuk menetapkan kawasan konservasi di Papua. Sedangkan gagasan politik Tambrauw sebagai kabupaten konservasi pada dasarnya merupakan sebuah proses legitimasi dan adaptasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat adat. Analisis spatial fungsi hutan dan RTRW Tambrauw menunjukkan bahwa sekitar 77-80% wilayah administrasinya merupakan kawasan lindung, hampir 73% wilayah Tambrauw memiliki tipe kelerengan yang curam extrim, sekitar 91, 8 % kelas kemampuan lahan di Tambrauw berada pada kategori lindung. Analisis indeks tekanan penduduk menunjukkan bahwa 13 distrik memiliki tekanan penduduk (TP) lebih dari 1. Artinya daya dukung lahannya sudah tidak memenuhi kebutuhan penduduk yang ada, sebaliknya 16 distrik sisanya memiliki tekanan penduduk (TP) dibawah 1, yang artinya lahan masih mendukung bagi kebutuhan penduduk. Pola ruang kabupaten Tambrauw menyisakan sekitar 24 % sebagai kawasan budidaya dan 76 % kawasan lindung, maka pertimbangan biofisik lahan menjadi prioritas utama dalam revisi RTRW. Kelayakan Tambrauw sebagai kabupaten konservasi, dibuktikan pula dengan analisis SWOT baik Evaluasi Faktor Internal (EFI), Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) maupun hasil pemetaan posisi kuadran SWOT, dimana berada pada bagian kanan atas. Ini artinya posisi sangat menguntungkan bagi pembentukan kabupaten konservasi. Dalam rangka mengembangkan Tambrauw sebagai kabupaten konservasi, maka dibutuhkan model kelembagaan spesifik yang dirancang dan ditetapkan sebagai model kolektif dan adaptif. Model kolektif merupakan model yang lebih mengembangkan kerjasama lintas aktor sedangkan adaptif merupakan perubahan yang dilakukan setiap saat sesuai konteks lokal. Kelembagaan ini akan mengontrol program dan kegiatan organisasi perangkat daerah.
Indonesia, especially Tanah Papua, covers the widest area of potentially forest resources. However, this reality could pose great challenges when regional expansions, as the Law on Special Autonomy imposes, occur. The developmental reform in Indonesia initially started in the 2000s through the implementation of regional autonomy, consequently leading to an expansion of regency / city and even the province. Furthermore, this was basically carried out with the intention of enabling the government offer their services closer to the populace. Conversely, some of the expanded district, present in protected areas (e.g.Tambrauw Regency) have difficulties in locating forms for forest resource management, which are integrated with governance. This regency establishes the district conservation mission in the form of a 'compromise', however, their establishment raises new questions and problems. The research was therefore carried out, with reference to 3 objectives, namely: (1) To obtain data and explanations regarding contestant, the role of actors and the sources of power for the formation of Tambrauw as a conservation district (2) To obtain data and explanations regarding the biophysical conditions of the region, land allocation and population pressure (3) To develop a strategy for its establishment and formulate a local institutional model for a Conservation District. The research was conducted from July 2017 to July 2018 in Tambrauw District. Some data were collected in West Papua Province and also in relevant Ministries in Jakarta, using a combination of quantitative and qualitative approaches. The parameters were obtained on the principle of triangulation data, which comprises observation, surveys, document studies and focus group discussions (FGD). The data obtained were analyzed using descriptive statistics, content analysis, map overlay, t-test statistics and SWOT analysis. The results further illustrate that the formation of conservation districts, starting with differentiating its meaning, encourages the contestant of actors, therefore they are encouraged. Tambrauw becomes a conservation district, which is visualized by the accumulating scores of four enabling factors, including biophysical aspects (10), political commitment (11), institutional (34) and economy (7), with a total final score of 62. Non-governmental institutions such as WWF, FAO-UNDP, IUCN and CI are actors who use dominant information, further pressurizing KLHK to establish conservation areas in Papua. Conversely, the political idea of creating Tambrauw as a conservation district was basically a process of legitimacy and adaptation, carried out by indigenous people and local governments. Furthermore, the spatial analysis of forest functions and the Spatial Plan, illustrate that around 77-80% of the administrative area is protected, about 73% of which has extreme steep slope types, about 91. 8% of land and its capability classes are in the protected category. The population pressure index analysis shows that 13 districts have a higher population pressure (TP) than 1. This therefore means that the carrying capacity of the land does not meet the needs of the existing population however the remaining 16 districts have less than 1 population pressure, which indicates that the land still supports population needs. The spatial pattern of the Tambrauw district leaves about 24% for cultivation and 76% as protected areas therefore land biophysical considerations are a top priority in the revised RTRW. The feasibility of this analogy is proven by SWOT analysis, including Internal Factor Evaluation (EFI), External Factor Evaluation (EFE) and the results of mapping the position of the SWOT quadrant, which is at the top right. Furthermore, this entails that the position is very favorable for the formation of conservation districts hence specific institutional models, designed and defined as collective and adaptive are needed. The collective model allows a cooperation among actors while the adaptive model promotes constant changes based on the local contexts. This institution further controls the programs and activities of regional organizations.
Kata Kunci : Tambrauw, Kabupaten Konservasi, Adaptif, kolektif.