Laporkan Masalah

Konflik dan Resolusi Relokasi Warga Permukiman Informal di DKI Jakarta Periode Tahun 2014-2017 (Studi Kasus: Kampung Pulo, Bukit Duri, Kalijodo)

CRESCENTIA KUNTI D, Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D.

2019 | Tesis | MAGISTER PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Dalam periode tahun 2014-2017, isu banjir di DKI Jakarta ditanggulangi dengan beberapa cara, diantaranya yaitu: 1) program normalisasi Sungai Ciliwung oleh Kementerian PUPR sebagai program penanganan banjir dan 2) penyediaan RTH di dalam ruang kota DKI Jakarta untuk meningkatkan daerah resapan air. Akan tetapi, beberapa area di bantaran Sungai Ciliwung dan zona jalur hijau ini telah terokupansi oleh beberapa permukiman MBR yang telah tumbuh dan berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Namun, status kepemilikan tanahnya tidak jelas sehingga digolongkan sebagai permukiman informal. Ketika dilakukan pengalihfungsian terhadap permukiman informal ini menjadi kawasan daerah aliran sungai yang dikonservasikan ataupun ruang terbuka hijau, beberapa warga tidak mendapatkan ganti kerugian akibat status tanahnya yang tidak jelas sehingga Pemprov DKI Jakarta merelokasi mereka ke Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa). Namun timbul penolakan dan perlawanan dari warga hingga akhirnya mencuat ke publik dan menarik perhatian banyak pihak. Respon tiap kelompok warga permukiman informal ini memiliki dinamikanya masing-masing, seperti pada penanganan permukiman informal di Kampung Pulo, Bukit Duri, dan Kalijodo. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memaparkan kebijakan relokasi warga permukiman informal di DKI Jakarta selama periode tahun 2014-2017 yang terkait isu lingkungan, memetakan bentuk konflik yang terjadi pada kasus penertiban permukiman informal di Kampung Pulo, Bukit Duri, dan Kalijodo pada periode tahun 2014-2017, serta menggambarkan bentuk resolusi sebagai respon dari konflik-konflik tersebut. Dalam menganalisis, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan induktif dengan metode kualitatif melalui studi kasus. Memperhatikan beberapa dinamika tersebut, dapat diketahui bahwa kurangnya komunikasi dan kerja sama antara pemerintah dengan warga terdampak penanganan permukiman informal menimbulkan ketidakseragaman pemahaman terkait penanganan permukimannya hingga akhirnya menimbulkan konflik. Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran bentuk konflik beserta pengendaliannya dalam penanganan permukiman informal di DKI Jakarta serta dapat menjadi pembelajaran bagi kota-kota lainnya dalam kegiatan penanganan permukiman informal.

In the period 2014-2017, the issue of flooding in DKI Jakarta was addressed in a number of ways, including: 1) the normalization of Ciliwung River program by the Ministry of Public Works and Housing as a flood management program and 2) the provision of open green space in DKI Jakarta to increase water catchment areas. However, some areas on the banks of the Ciliwung River and the green belt zone have been occupied by several settlements of low income community that have grown and developed since the Dutch colonial era. Yet, their status of land ownership is unclear so it is classified as informal settlement. When this informal settlement was converted into a conserved watershed or open green space, some residents who have unclear land status were not compensated; therefore the Provincial Government of DKI Jakarta relocated them to the Rental Flats (Rumah Susun Sederhana Sewa/Rusunawa). However, rejection and resistance arose from these residents until it finally emerged to the public and attracted the attention of many parties. There had been various dynamics in each group of residents� responses, as in the response to the handling of informal settlements in Kampung Pulo, Bukit Duri, and Kalijodo. This study was conducted with the aim to explain the relocation policy of informal residents in DKI Jakarta during the period 2014-2017 related to environmental issues, maps out the conflicts that occurred in the case of handling informal settlements in Kampung Pulo, Bukit Duri, and Kalijodo within the period 2014-2017, and illustrates the form of resolution as a response to these conflicts. The analyzing process used an inductive approach with qualitative methods through case studies. These dynamics have shown that the lack of communication and cooperation between the government and the affected residents from the handling informal settlements had created a lack of understanding regarding the handling of their settlements, which in turn led to conflict. This research is expected to provide an overview of the conflict and its control while handling informal settlements in DKI Jakarta and can also be a lesson for other cities in handling informal settlements.

Kata Kunci : konflik, kebijakan relokasi, permukiman informal, resolusi, DKI Jakarta/conflict, relocation policy, informal settlements, resolution, DKI Jakarta

  1. S2-2019-422421-abstract.pdf  
  2. S2-2019-422421-bibliography.pdf  
  3. S2-2019-422421-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2019-422421-title.pdf