Laporkan Masalah

Kajian Geofisika Kompleks Gunungapi Lamongan Jawa Timur Berdasarkan Data Magnetik Dan Gravitasi Dalam Rangka Memodelkan Struktur Bawah Permukaannya

AGUS SUPRIANTO, Dr. Wahyudi, M.S.;Dr.rer.nat. Wiwit Suryanto, S.Si., M.Si.

2019 | Disertasi | DOKTOR FISIKA

Area Gunungapi Lamongan terdiri dari 61 cinder cone yang telah teridentifikasikan dan paling tidak ada 29 prehistorik Maar dengan puncak Gunungnya terdiri dari tiga kepundan yaitu Tjupu, Tarub dan yang paling muda adalah Lamongan. Keberadaan Maar dan Cindercone di daerah ini menyebar di sekeliling Gunungapi Lamongan dan merupakan sistem parasit dari Gunungapi Lamongan. Tidak ada catatan sejarah bagaimana terbentuknya/terjadinya cindercone atau erupsi terbentuknya maar di daerah ini. Cindercone dan erupsi terbentuknya maar diperkirakan terjadi bersamaan pada saat terbentuknya Gunungapi Lamongan, yaitu pada Plistosen akhir atau dua juta tahun yang lalu. Area Gunungapi Lamongan diduga merupakan daerah ekstensi dengan pusat erupsi yang berpindah-pindah menyebar di sekeliling Gunungapi Lamongan, dan dari penelitian sebelumnya, mempunyai kecenderungan mengarah ke arah barat-utara gunung. Terlepas dari kemungkinan bahaya di masa mendatang, Gunung Lamongan telah beristirahat selama 123 tahun dan di sekitar maar/ranu yang ada dan di sebelah barat Gunung Lamongan merupakan wilayah pemukiman penduduk dan pusat Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Penelitian menggunakan Metode Magnetik dan Gravitasi di Gunungapi Lamongan dilakukan dengan tujuan untuk memahami karakteristik Gunungapi Lamongan dengan membuat model struktur bawah permukaan Gunungapi Lamongan dan sekitarnya, serta menganalisis posisi dari feature geologi yang ada (G Lamongan, maar dan cindercone) terhadap pola anomali yang diperoleh dari hasil pengukuran. Data yang dipakai dalam hal ini meliputi data pengukuran langsung di lapangan (data magnetik) dan data satelit (data GGMPlus). Area pengukuran data magnetik meliputi wilayah di sekitar Gunung Lamongan di sebelah barat, utara, timur dan selatan Gunung Lamongan, demikian juga dengan data satelit GGMPlus, akan tetapi data satelit ini memiliki grid yang lebih teratur dibandingkan dengan data pengukuran di lapangan, dengan spasi grid sekitar 200 meter. Data satelit ini juga digunakan untuk membuat model dalam cakupan yang lebih luas untuk memahami dan membuat model bawah permukaan Gunungapi Lamongan dalam kerangka regional, sedangkan data pengukuran langsung di lapangan untuk membuat pemodelan dalam skala lokal dan lebih rinci. Dari hasil pengukuran di lapangan, data magnetik ini kemudian dikoreksi, meliputi koreksi harian, dan koreksi IGRF (International Geomagnetic Reference Field). Data hasil koreksi ini kemudian difilter menggunakan metode filtering untuk mendapatkan nilai anomali magnetik lokalnya dan kemudian dilakukan analisa secara kualitatif sebagai pertimbangan awal untuk membuat model awal Gunung Lamongan yang akan digunakan dalam proses inversi. Demikian juga dengan data gravitasi satelit GGMPlus, karena data yang dipakai merupakan data yang setara dengan data gravitasi free-air, data gravitasi ini kemudian dilakukan koreksi Bouger dan koreksi Terrain untuk mendapatkan data Anomali Bouguer Lengkap (ABL). Data ABL ini kemudian difilter menggunakan filter kontinuasi untuk mendapatkan anomali lokal di daerah penelitian. Data ini kemudian dianalisa secara kualitatif untuk pertimbangan dalam membuat model awal dari proses inversi data gravitasi. Proses inversi data magnetik dan gravitasi ini diperlukan untuk mendapatkan nilai sebaran suseptibilitas dan densitas bawah permukaan serta untuk membuat model bawah permukaan Gunung Lamognan. Proses inversi data magnetik menggunakan perangkat lunak Mag3D, sedangkan proses inversi data gravitasi menggunkaan perangkat lunak Grav3D. Kedua perangkat lunak ini direlease oleh University of British Columbia (UBC). Pemodelan 3D data magnetik dan gravitasi belum pernah dilakukan di Gunung Lamongan. Dengan melakukan pemodelan ini, diharapkan akan dapat diperoleh analisa bawah permukaan Gunung Lamongan dan feature geologi yang ada dengan lebih komprehensif. Dari hasil penelitian, daerah penelitian Gunung Lamongan didominasi oleh nilai suseptibilitas rendah dan nilai densitas batuan yang rendah, yang mengarah kearah Barat Laut Gunung Lamongan. Dari hasil pemodelan 3D densitas dan suseptibilitasnya, Gunung Lamongan mempunyai kantong magma dangkal yang berada persis di bawah puncak Gunung Tarub. Keberadaan dari kantong magma tersebut ditandai dengan adanya kontras anomali densitas rendah. Dari overlay dengan model susebtibilitasnya, kantong magma tersebut memiliki nilai kontras susebtibilitas rendah, yang diduga bahwa kantong magma yang ada masih memiliki temperatur tinggi. Dari hasil peta sebaran densitas dan susebtibilitas rendah, sebaran keberadaan maar, cindercone dan Gunungapi Tjupu, Tarub dan Lamongan berada di daerah yang mempunyai suseptibilitas rendah yang memiliki pola tertentu. Keberadaan sebaran feature geologi yang ada yang memiliki pola tertentu ini diduga berkaitan dengan pola struktur yang berkembang di wilayah ini. Dari hasil analisa secara kualitatif, diduga ada empat patahan yang memiliki pola tertentu yang berorientasi arah Barat Laut ke Tenggara. Keempat patahan yang terdeteksi secara kualitatif meliputi patahan Lamongan, patahan Tiris, patahan Ranu Agung dan patahan Pekalen. Struktur bawah permukaan dari maar dan cindercone di sekitar Gunung Lamongan diduga berkaitan erat dengan Gunung Lamongan, dimana anomaly yang ada mengarah kearah pusat anomaly kuat di pusat Gunung Lamongan, baik itu anomaly gravitasi dan anomaly magnetik.

The Lamongan Volcano Area consists of 61 cindercones, and at least 29 pre-historic Maars with the top of the Mountain contain three craters namely Tjupu, Tarub and the youngest is Lamongan. According to Carn, the existence of Maar and Cinder Cone in this area is a parasitic system from Lamongan Volcano. There is no historical record of how the formation of cinder cones or maar eruptions formed in this area. Cinder cones and maars eruptions formed thought to occur together when the Lamongan Volcano formed, in the late Plistocene or two million years ago. The Lamongan Volcano area is thought to be an extension area with a centre of moving eruptions spreading around Lamongan Volcano, and from previous studies, it tends to point north-west of the mountain. Apart from the possibility of danger in the future, Mount Lamongan has been resting for 123 years and around the existing Maar / Ranu and to the west of Mount Lamongan are residential areas and the centre of Klakah District, Lumajang Regency, East Java. The research using Magnetic and Gravity Method in Lamongan Volcano will be conducted with the aim to understand the characteristics of Lamongan Volcano by modeling the subsurface structure of Lamongan Volcano and its surroundings, and analyzing the position of existing geological features (G Lamongan, Maar and Cindercone) on the anomalous patterns obtained from the measurement results. The data used in this case includes direct field measurement data (magnetic data) and satellite data (GGMPlus data). The magnetic data measurement area includes in the west, north, east and south of Mount Lamongan region, as well as GGMPlus satellite data, but this satellite data has a more regular grid compared to measurement data in the field, with a grid spacing of about 200 meters. This satellite data is also used to create a broader model to understand and model the subsurface of the Lamongan Volcano in the regional framework, while direct measurement data in the field to make modelling on a local scale and in more detail. From the results of field measurements, the magnetic data is then corrected, including diurnal correction, and IGRF (International Geomagnetic Reference Field) correction. The correction data is then filtered using the filtering method to obtain the local magnetic anomaly value and then be analysed qualitatively as an initial consideration to make the initial model of Mount Lamongan to be used in the inversion process. Likewise with GGMPlus satellite gravity data, because the data used is equivalent to free-air gravity data, the gravity data is then corrected by Bouger and Terrain correction to obtain Complete Bouguer Anomaly (ABL) data. The ABL data is then filtered using a continuous filter to obtain local anomalies in the study area. This data is then analysed qualitatively for consideration in making the initial model of the gravity data inversion process. The process of inversion of magnetic and gravitational data is needed to obtain the distribution value of subsurface susceptibility and density and to model the subsurface of Mount Lamongan. The magnetic data inversion process uses Mag3D software, while the gravity data inversion process uses Grav3D software. Both of these software are released by the University of British Columbia (UBC). 3D modeling of magnetic and gravitational data has never been done on Mount Lamongan. By doing this modeling, it is expected to be able to obtain an analysis of the subsurface of Mount Lamongan and existing geological features more comprehensively. Finally, the Mt. Lamongan research area was dominated by low susceptibility values, and low rock density values, which led to the northwest of Mount Lamongan. The same magma chamber is thought to control the three existing crater i.e. Mt. Tjupu, Mt. Tarup and Mt. Lamongan. The three faults in the Mt. Lamongan area i.e. Lamongan fault, Ranu Agung Fault and Tiris Fault oriented in the North-West-Southeast direction

Kata Kunci : Karakteristik, pola aktivitas, struktur internal, maar, cindercone, Gunungapi Lamongan, metode geofisika

  1. S3-2019-324401-abstract.pdf  
  2. S3-2019-324401-bibliography.pdf  
  3. S3-2019-324401-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2019-324401-title.pdf