SYARAT "LULUS SMA" SEBELUM MENIKAH PADA MASYARAKAT TENGGER DI DESA NGADISARI, PROBOLINGGO
SHINTA MUDRIKAH, Dr. Bambang Hudayana, M.A.
2019 | Skripsi | S1 ANTROPOLOGI BUDAYAMasyarakat Tengger dihadapkan pada pesatnya perkembangan teknologi modern serta industri pariwisata yang kian berkembang dan menjanjikan. Kawasan Gunung Bromo bukan sekedar objek wisata yang menguntungkan disamping bercocok tanam sebagai mata pencaharian utama, melainkan sebagai Brahma yang mereka anggap sebagai sosok perlindungan dalam kepercayaan mereka. Jaminan keberlangsungan masyarakat Tengger hadir dalam ritual-ritual yang terus dipelihara. Sebagai masyarakat adat yang masih menjalankan tradisi secara rutin, seluruh penyelenggaraan upacara-upacara diatur dalam Paugeran oleh petinggi adat termasuk upacara pernikahan yang dalam bahasa Tengger disebut Walagara. Tanpa Paugeran, Orang Tengger tidak dapat mengatur penyelenggaraan upacara-upacara adat. Pertanyaan yang diajukan adalah mengapa tingkat pendidikan SMA digunakan sebagai syarat menyelenggarakan upacara walagara? Proses pencarian data dengan observasi partisipasi selama tiga bulan Maret, Juni, Juli tahun 2016. Pengumpulan data dengan observasi parsitipatif dan wawancara mendalam dengan warga Tengger di Desa Ngadisari, tokoh adat, dan pemerintah desa. Pemerintah Desa Ngadisari secara otonom menetapkan tingkat pendidikan SMA sebagai syarat untuk menyelenggarakan upacara walagara atau pernikahan. Aturan tidak tertulis yang dibuat pada tahun 2010 ini dibuat oleh kepala desa yang statusnya juga merupakan petinggi adat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan warga desa Ngadisari karena ada anggapan pendidikan tinggi tidak dibutuhkan petani. Aturan yang diharapkan akan mengurangi angka pernikahan usia dini dan menunggu hingga usia pernikahan yang dewasa ternyata mengalami beberapa hambatan. Hambatan sosial dan budaya pada masyarakat Tengger yang terjadi kemudian mengakibatkan diselenggarakannya Program Kejar Paket massal yang akhirnya hanya berdampak pada naiknya tingkat partisipasi sekolah.
The Tengger community faced the rapid development of modern technology and a massive and developed tourism industry. The Mount Bromo area is not just a profitable tourist attraction besides farming as their main livelihood, also Brahma which they consider to be a protection in their belief. Guaranteeing the continuity of the Tengger community presents rituals that continue to be maintained. As an indigenous people who still carry out the tradition routinely, all the ceremonies are arranged in Paugeran by the petinggi adat including a wedding ceremony which in Tengger called Walagara. Without Paugeran, the Tengger people cannot regulate their ceremonies. An interesting question arises: how the Tengger people response the order of passing a high school Walagara ceremony? The process of finding data with the observation of participation for three months in March, June, July 2016. Data collection was done by observation participation and depth interview method among traditional leaders, village government, and Tengger residents in Ngadisari Village. The Ngadisari Village Government sets the level of high school education as a condition for holding a Walagara or marriage ceremony. This unwritten rule made in 2010 was made by the village head whose status is also a Customary Leader to improve the quality of Ngadisari Village residents because there is an assumption that higher education is not needed by farmers. The rules are expected to reduce the number of early marriage and wait until the age of mature marriage was experiencing some obstacles. The social and cultural barriers in Tengger people followed resulted in the holding of a mass Kejar Paket program which only resulted in increasing the level of school participation.
Kata Kunci : Lulus SMA, Menikah, Paugeran, Walagara