MEMBANDINGKAN DAYA BUNUH TRANSFLUTHRIN, DIMEFLUTHRIN, DAN PRALLETHRIN PADA OBAT NYAMUK CAIR KOMERSIAL TERHADAP NYAMUK CULEX SP. DI LABORATORIUM (DIPTERA : CULICIDAE)
Trivena Putri, dr. Tri Baskoro, M.Sc., Ph.D.; dr.Tridjoko Hadianto, DTM&H.,M.kes
2019 | Skripsi | S1 KEDOKTERANLatar Belakang : Penyakit lymphatic filariasis atau elephantiasis ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, dimana di Indonesia paling banyak disebebkan oleh Brugia malayi. Di daerah perkotaan, penyakit ini banyak ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasatus. Di Indonesia, penyakit elephantiasis ini sudah ada sejak tahun 1970 dan sudah berhasil diturunkan. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2015, filariasis masih menjadi endemis di 241 kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan berdasarkan data terbaru tahun 2017, masih terdapat 236 kabupaten/kota endemis di Indonesia. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk eliminasi kasus filariasis adalah dengan memberantas vektor penular filariasis menggunakan insektisida. Bahan aktif insektisida yang terdapat dalam berbagai obat nyamuk yang dijual dipasaran sangat beragam. Adapun beberapa bahan aktif yang sering digunakan adalah transfluthrin, dimefluthrin, dan prallethrin. Ketiga bahan aktif tersebut memiliki efek yang berbeda dalam membunuh nyamuk culex sp. sehingga penting untuk mengetahui perbandingan efek dari ketiga bahan tersebut. Tujuan : Membandingkan efek knockdown dan mortalitas kandungan transfluthrin, dimefluthrin, dan prallethrin pada obat nyamuk cair elektrik komersial terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan post test only group design yang dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM. Penelitian akan dibagi kedalam empat kelompok yaitu kelompok pertama (kontrol negatif), kelompok kedua (transfluthrin), kelompok ketiga (prallethrin), dan kelompok keempat (dimefluthrin). Setiap subjek akan diamati hingga mengalami knockdown pada KT50 dan KT95. Setiap kelompok akan digunakan 25 nyamuk uji dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Hasil : KT50 dan KT95 untuk prallethrin adalah 57,09151 dan 161,1164. KT50 dan KT95 untuk transfluthrin adalah 38,1396 dan 79,81082. Sedangkan KT50 dan KT95 untuk dimefluthrin adalah 20,67296 dan 61,44343. Mortalitas nyamuk setelah 24 jam untuk prallethrin adalah 20% sedangkan mortalitas nyamuk pada pemaparan transfluthrin adalah 30,67% dan mortalitas nyamuk pada kelompok dimefluthrin adalah 54,67%. Kesimpulan : Dimefluthrin memiliki efek knockdown dan mortalitas yang paling tinggi, diikuti oleh transfluthrin dan kemudian prallethrin. Keyword : Culex quinquefasciatus, dimefluthrin, knockdown, mortalitas, prallethrin, transfluthrin.
Background : Lymphatic filariasis or elephantiasis is caused by 3 species worm, there are Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, and Brugia timori. In Indonesia, lymphatic filariasis is mostly caused by Wuchereria bancrofti. There are several mosquitoes that become vectors of filarial worm, for instance the genus of Anopheles, Culex, Mansonia, and Armigeres. In urban areas, this disease is mostly transmitted by Culex quinquefasciatus mosquitoes. In Indonesia, this disease has existed since 1970 and has been successfully reduced. Based on data from Indonesia Ministry of Health 2015, filariasis is still endemic in 241 districts/cities and based on the lastest data in 2017, there are still 236 endemic districts in Indonesia. The thing that can be done to eliminate filariasis cases is by eradicating the vector that transmits fillariasis using insecticides. There are many kind of active ingredients in liquid mosquito repellent vaporizer. The most often used ingredient in liquid mosquito repellent vaporizer are transfluthrin, dimefluthrin, and prallethrin. These active ingredients have different effect on killing the Culex quinquefasciatus. Objective : Comparing the knockdown and mortality effect of transfluthrin, dimefluthrin, and prallethrin against Culex quinquefasciatus. Method : This research is quasi experimental with post test only group design research. This research is done in Laboratory of Parasitology Faculty of Medicine, Public Health, and Nursing of Gadjah Mada University. This experiment is divided into four groups. The first group is negative control, the second group is transfluthrin, the third group is dimefluthrin and the fourth group is prallethrin. Each group uses 25 mosquitoes and the experiment is repeated three times. Each subject is observed until KT50 and KT95. Result : KT50 and KT95 for prallethrin are 57,09151 and 161,1164. KT50 and KT95 for transfluthrin are 38,1396 and 79,81082. And then, KT50 and KT95 for dimefluthrin are 20,67296 and 61,44343. The mortality effect of prallethrin is 20%. The mortality effect of transfluthrin is 30,67% and the mortality effect of dimefluthrin is 54,67%. Conclusion : Dimefluthrin has the highest knockdown and mortality effect, followed by transfluthrin and prallethrin.
Kata Kunci : Culex quinquefasciatus, dimefluthrin, knockdown, mortality, prallethrin, transfluthrin.