Paremiological Minimum dalam Peribahasa Melayu Betawi
TAMARA AULIA RAMADHINI, Dr. Sailal Arimi, M.Hum.
2019 | Skripsi | S1 BAHASA DAN SASTRA INDONESIAPeribahasa Melayu Betawi (PMB) merupakan peribahasa yang terdesak sejalan dengan menurunnya penutur bahasa Melayu Betawi di tengah kemajemukan Ibukota DKI Jakarta dan sekitarnya. Paremiological minimum (stok peribahasa minimal yang dikuasai masyarakat) merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi keberadaan dan daya hidup sebuah peribahasa dalam kurun waktu tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja PMB yang masih dipakai hingga saat ini dan menjelaskan sebab-sebab mengapa peribahasa yang satu lebih popular daripada peribahasa lainnya. Metode yang dipakai dalam pengumpulan data ini berupa metode survei, wawancara, dan observasi. Melalui metode survei, kuesioner disebarkan melalui beberapa tahap, yakni secara online dan snowball sampling. Kemudian, digunakan metode wawancara dengan salah satu budayawan Melayu Betawi dan metode observasi sebagai data penunjang. Dari sejumlah 149 responden yang dijaring, didapat 88 responden ideal yang berhasil menyebutkan 150 peribahasa. Peribahasa ini kemudian dianalisis menggunakan metode distribusi dan metode korelasi. Berdasarkan hasil penelitian, didapat adanya sepuluh peribahasa yang termasuk dalam paremiological minimum PMB. Peribahasa ini memiliki varian dan kepopularannya disebabkan oleh alasan-alasan tertentu yang dijelaskan berdasarkan kategori, keaslian, dan tema yang dibawa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PMB masih dituturkan hingga saat ini dan memuat nilai-nilai yang sesuai dengan zamannya oleh masyarakat Melayu Betawi sehingga kemunculannya popular. Masyarakat Melayu Betawi melalui peribahasanya masih mengukuhkan diri sebagai suatu entitas etnis yang khas dan berbeda dengan etnis lain, namun di sisi lain juga melebur dengan mengandalkan nilai-nilai yang berorientasi pada posisi diterimanya masyarakat ini di tengah kemajemukan Ibukota.
Melayu Betawi proverbs (MBP) are endangered proverbs that are in line with the decline of Melayu Betawi speakers in the midst of plurality in the capital city of Jakarta and its surroundings. Paremiological minimum (the minimum stock of proverbs acquired by the community) is one way to identify the existence and viability of a proverb in a certain period of time. This study aims to find out which MBP is still used today and to explain the reasons why one proverb is more popular than the other. The methods used in the data collection are survey, interviews, and observation. In the survey, the questionnaires were distributed through several stages, through online and snowball sampling. Then, an interview with one of the Melayu Betawi cultural observers is conducted. An observation was also conducted to obtain supporting data. Of total 149 respondents, 88 respondents can mention 150 proverbs. The proverbs then are analyzed using distribution and correlation methods. The result shows that there are ten proverbs which are under MBP�s paremiological minimum. These proverbs have variants and their popularity is caused by certain reason, which are explained based on categories, authenticity, and carried themes. Therefore, it can be concluded that MBP is still spoken today and contains values that are relevant with the era by Melayu Betawi community, so that its appearance is popular. Through the proverbs, Melayu Betawi community is still establishing their unique ethnic entity and different from other ethnicity. On the other hand, they fuse by relying on values oriented to how the community can be accepted in the midst of the plurality of the capital.
Kata Kunci : peribahasa Melayu Betawi, paremiological minimum, masyarakat Melayu Betawi, peribahasa popular