Laporkan Masalah

DEMOKRASI SEBAGAI PROYEK HEGEMONI: Wacana Politik Indonesia Pasca-Orde Baru 1998-2015

DIMPOS MANALU, Prof. Dr. Mohtar Mas'oed

2019 | Disertasi | DOKTOR ILMU POLITIK

Disertasi ini membahas tentang demokrasi di Indonesia dalam kurun waktu antara kejatuhan Soeharto tahun 1998 sampai periode kedua kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah Soeharto lengser keprabon, aktor-aktor politik mengimajinasikan Indonesia baru yang demokratis. Namun, dalam imajinasi mereka, "demokrasi" itu sendiri memiliki makna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, demokrasi merupakan suatu wilayah diskursus politik yang maknanya diperebutkan dan dipertarungkan (meaning making process). Penulis menempatkan "demokrasi" sebagai "penanda kosong" (empty signifier). Sebagai penanda kosong, demokrasi pada mulanya dipahami sebagai negasi terhadap Orde Baru dan Soeharto. Di balik negasi terhadap Orde Baru dan Soeharto ini terdapat beragam tuntutan yang berbeda, tidak jarang bertolak belakang satu sama lain, mulai dari penghapusan Paket 5 UU Politik dan penghapusan Dwifungsi ABRI, sampai penciptaan suatu pemerintahan yang bersih dan pemberantasan kemiskinan. Keberagaman tuntutan mereka dipersatukan oleh satu political frontier yaitu "negasi terhadap Orde Baru dan Soeharto". Tuntutan-tuntutan ini, selama hampir dua dekade, bertarung menghegemoni makna demokrasi. Dalam proses pertarungan tersebut, muncul sejumlah wacana sentral (master signifier) yang berhasil mengikat sejumlah tuntutan (atau menjadi nodal point) dan berupaya menghegemoni apa yang kita sebut tadi sebagai "demokrasi". Penulis menemukan setidaknya tiga wacana sentral yang berperan sebagai nodal point dalam hampir dua dekade terakhir, yang melaluinya demokrasi mengalami proses pemaknaan. Ketiganya adalah "kebebasan politik" terutama di periode awal reformasi, "good governance" yang kemudian mengerucut pada "pemberantasan korupsi" di periode berikutnya, dan "kesejahteraan" sebagai penanda sentral paling mutakhir. Dalam setiap periode nodal point dan makna demokrasi yang spesifik ini, penulis akan menunjukkan pertarungan wacana yang terjadi, atau artikulasi antar-berbagai tuntutan, yang tetap berada dalam pengaruh wacana atau penanda sentral. Perdebatan dan pertarungan kekuasaan antar-aktor di setiap periode karenanya menjadi upaya menyesuaikan tuntutan atau preferensi dan kepentingan spesifik aktor-aktor tertentu dengan wacana sentral yang sedang mendominasi. Proses inilah yang bisa kita pahami sebagai pertarungan wacana dalam rangka menghegemoni makna demokrasi. Semua ini bisa terjadi karena sejak semula demokrasi diandaikan sebagai penanda kosong. Kekosongan ini yang memungkinkan dan membuka jalan bagi pertarungan wacana dan proyek hegemoni. Lebih jauh, kekosongan yang sama membuat makna demokrasi hanya bisa bersifat sementara (partially fixed) dan tidak pernah final karena terus berganti mengikuti pertarungan wacana dan proyek hegemoni. Singkatnya, makna demokrasi telah, sedang, dan akan mengalami dislokasi terus-menerus sesuai dengan pertarungan hegemonik itu. Dengan menggunakan pendekatan discourse theory and method yang dikembangkan Laclau dan Mouffe, studi ini tidak hanya berupaya menjelaskan apa itu makna demokrasi, melainkan juga mengritik asumsi-asumsi studi ideologi dan demokrasi arus utama yang secara ontologis cenderung esensialis dan aprioris.

This study looks at the democracy of Indonesia during the period between the fall of Soeharto in 1998 until the second period of the presidency of Susilo Bambang Yudhoyono. Once General Soeharto stepped down, political actors imagined a new democratic Indonesia. However, in their imagination, "democracy" has different meanings. As the author places democracy as an "empty signifier", it becomes a field of political discourse in which its meaning is contested ("meaning making process"). As an empty signifier, democracy was initially understood as a negation of the New Order and Suharto. In the background of the negation, there were a variety of different demands, which often contradict each other, starting from the abolition of a set of 5 Political Laws (Paket 5 UU Politik) and the abolition of ABRI's Dual-function (Dwifungsi ABRI), to the creation of a good governance and poverty eradication (welfare). The diversity of the demands was united by a political frontier namely "Anti-New Order and Suharto". These demands, for almost two decades, have been contending to determine the meaning of democracy. In the process of hegemonic struggle, a number of master signifiers emerge which succeeded in binding a number of demands and articulations (or become nodal points) and attempted to hegemonize what we call earlier as "democracy". It is therefore, the author found at least three central discourses which served as nodal points within the last two decades, through which democracy experienced a process of meaning. These are "political freedom", especially in the early period of reform, "good governance" which then converged on the "eradication and anti-corruption" in the following period, and "welfare" as the most recent master signifier. In each period of the nodal point and the meaning of this specific democracy, the author will show the struggle of discursive process, or articulation and re-articulation of various demands, which remain under the influence of the discourse or nodal points. The debates and the struggle of power between actors in each period is therefore an attempt to adjust the demands or preferences and specific interests of certain actors with the central discourse that is dominating. This process can be understood as a discursive struggle in order to determine the meaning of democracy. All this can happen because democracy was originally assumed as an empty signifier. This emptiness is possible and paves the way for the discursive struggle and the project of hegemony. Furthermore, the emptiness makes the meaning of democracy only partially fixed and never be final because it continues to change following the discursive struggle and the project of hegemony. In brief, the meaning of democracy has been, is currently, and will experience continuous dislocation as a result of that hegemonic struggle. Using a discourse theory and method developed by Laclau and Mouffe, this study not only seeks to explain the meaning of democracy, but also criticizes the assumptions of mainstream ideology and democracy studies which are ontologically inclined to be essentialist and aprioristic.

Kata Kunci : demokrasi, hegemoni, wacana/penanda sentral, artikulasi, kebebasan politik, good governance, pemberantasan korupsi, kesejahteraan; democracy, hegemony, nodal points, articulation, political freedom, corruption eradication, welfare.

  1. s3-2019-357113-abstract.pdf  
  2. s3-2019-357113-Bibliography.pdf  
  3. s3-2019-357113-TableOfContent.pdf  
  4. s3-2019-357113-Title.pdf