AKSES SUMBER DAYA AIR PERTANIAN DAN PERUBAHAN KASTA TRANSMIGRAN BALI DI KERTORAHARJO, SULAWESI SELATAN
ANWAR, Dr. Bambang Hudayana, M.A.
2018 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGIKasta adalah produk dari Hinduisme. Kasta terbagi atas Brahmana (pendeta), Ksatria (pemerintahan), Waisya (pedagang) dan Sudra (petani/buruh). Kasta merupakan segmentator penting dalam pendistribusian akses sumber daya dalam masyarakat Bali. Kuatnya struktur dan kultur kasta di Pulau Bali mengukuhkan Triwangsa sebagai penguasa. Upaya vertikal naik dari kelompok kasta bawah tidak dimungkinkan terjadi. Kondisi ini menjadikan setiap kelompok yang terbatas (inaccessible) memutuskan untuk ke luar Pulau Bali. Program transmigrasi ke Sulawesi hadir menjadi jalan baru. Kertoraharjo, sebuah desa transmigrasi, menjadi arena yang menciptakan peluang dan gerak vertikal baru bagi kelompok kasta bawah untuk memenangkan perebutan akses sumber daya. Lepasnya konteks ke-Bali-an dimaknai sama dengan lepasnya kungkungan kasta. Di Kertoraharjo mata pencaharian utama transmigran adalah pertanian padi sawah. Air sebagai instrumen utama keberlangsungan pertanian menjadi paling diperebutkan. Studi ini mencoba menelaah fenomena tersebut dari sudut pandang teori kekuasaan, secara spesifik pada akses masing-masing kelompok. Muncul tiga pertanyaan utama: (1) Bagaimana kekuatan dan stategi Sudra dan Triwangsa dalam memperoleh akses sumber daya air di Kertoraharjo; (2) Mengapa kelompok Sudra lebih sukses dalam mengakses dan menguasai sumber daya air di Kertoraharjo; (3) Apa implikasi dari perubahan penguasaan sumber daya terhadap perubahan relasi, cara pandang kasta dan orientasi ekonomi di Kertoraharjo. Hasil kajian menunjukkan bahwa Sudra lebih adaptif dan Triwangsa kurang adaptif terhadap pertanian sebagai satu-satunya sumber kehidupan di Kertoraharjo. Adaptasi Sudra ditunjang oleh fleksibilitas gerak (mobilisasi), akumulasi dan transformasi modal. Penanda utama kemenangan Sudra dalam mengakses dan mempertahankan air adalah perubahan otoritas Subak ke P3A. Kemenangan ini semakin disempurnakan dengan menjadi pengurus Kelompok Tani atau pemegang kekuasaan di tingkat akar rumput. Perubahan penguasaan sumber daya air ini berimplikasi pada perubahan relasi antar kasta, terjadinya delegitimasi Triwangsa, munculnya kelompok pro dan kontra kasta, kemudian mengarahkan pada terbentuknya struktur sosial baru masyarakat transmigran Bali di Kertoraharjo.
Caste is a product of Hinduism. Caste is divided into Brahmins (priests), Ksahtrias (government), Vaishya (traders) and Sudras (farmers/laborers). Caste is an important segmentator in the distribution of access to resources in Balinese society. The strength of the structure and culture of caste in Bali confirmed Triwangsa as ruler. Efforts vertically up from the bottom caste groups did not prove possible. This condition makes each group limited (inaccessible) decided to get out of Bali. The transmigration program to Sulawesi is a new way. Kertoraharjo, a transmigration village, became an arena that created new opportunities and vertical movements for the lower castes to win the struggle for access to resources. The release of the Balinese context is interpreted as the detachment of caste. In Kertoraharjo the main livelihood of transmigrants is rice farming. Water as the main instrument for the sustainability of agriculture is the most contested. This study tries to examine these phenomena from the perspective of power theory, specifically on the access of each group. Appearing three main questions: (1) How the strengths and strategies Sudra and Triwangsa in gaining access to water resources in Kertoraharjo; (2) Why are the Sudra groups more successful in accessing and controlling water resources in Kertoraharjo; (3) What are the implications of changing resource control over changes in relations, caste perspectives and economic orientation in Kertoraharjo. The results of the study show that Sudras is more adaptive and the Triwangsa are less adaptive to agriculture as the only source of life in Kertoraharjo. Sudras adaptation is supported by movement flexibility (mobilization), capital accumulation and transformation. A sign of the success of Sudra in accessing and maintaining water is the change in the authority of Subak to P3A. This success was further refined by being a manager of the Kelompok Tani or holders of power at the grassroots level. Change control of water resources has implications for inter-caste relationships, the delegitimation Triwangsa, the emergence of the pros and cons of caste, then directed to the formation of new social structure of society tranmigrants Bali in Kertoraharjo.
Kata Kunci : Kasta, Bali transmigran, Akses, Sumber daya air