PERUNDUNGAN SIBER (CYBERBULLYING) DALAM FILM KOREA SOSYEOLPHOBIA (SOCIALPHOBIA): KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

DIMA HANA MAHSUNAH, Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum.

2018 | Skripsi | S1 BAHASA DAN KEBUDAYAAN KOREA

Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra untuk membahas permasalahan perundungan siber (cyberbullying) yang terdapat dalam film Socialphobia. Alasan penelitian ini adalah film Socialphobia merepresentasikan permasalahan perundungan siber (cyberbullying) yang terjadi di Korea Selatan. Perundungan siber (cyberbullying) merupakan suatu bentuk perundungan yang mempunyai karakteristik pelaku mengintimidasi korban dengan menggunakan perangkat teknologi. Meskipun internet mempunyai banyak manfaat, kehadiran internet menjadikan tempat untuk menyerang satu sama lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk menerangkan fenomena perundungan siber (cyberbullying) di Korea Selatan serta menjelaskan bentuk-bentuk perundungan siber (cyberbullying) yang terdapat dalam film Socialphobia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari dampak negatif perundungan siber (cyberbullying) dalam film tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa hingga saat ini permasalahan perundungan siber (cyberbullying) di Korea Selatan terus mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan dari Korea Internet and Security Agency (KISA) pada tahun 2014, sebanyak 19% dari remaja di Korea Selatan mengaku pernah mengalami perundungan siber cyberbullying. Hal ini direpresentasikan dalam film Socialphobia. Terdapat tujuh bentuk perundungan siber (cyberbullying) yang terdapat dalam film tersebut, meliputi amarah (flaming), pelecehan (harassment), pencemaran nama baik (denigration), peniruan (impersonation), kebocoran informasi (outing) dan tipu daya (trickery), pengucilan (exclusion)dan cyberstalking (penguntitan siber). Dampak negatif perundungan siber (cyberbullying) yang ditunjukkan dalam film Socialphobia adalah kebangkrutan, pengucilan diri dari pergaulan, serta tindakan bunuh diri. Melalui film Socialphobia, sutradara Hong Seok-jae ingin menyampaikan kritik terhadap masyarakat Korea Selatan bahwa perundungan siber (cyberbullying) bukanlah sesuatu yang dapat dianggap remeh karena merupakan perbuatan yang dapat memberikan dampak besar bagi korban. Selain itu, pelaku cyberbullying biasanya merupakan seorang pengecut yang berlindung dari anonimitas yang ada pada internet.

This research applies the sociology found in literatures as a theory to discuss the cyberbullying problem in the Socialphobia movie. The basis of this research is the aforementioned Socialphobia movie, which represents the cyberbullying problem in South Korea. Cyberbullying is a form of bullying in which the perpetrator chooses to harass his or her victim through a technological device. In spite of the many positive uses it may have, the internet has provided a platform for people to assault one another. Therefore, the purposes of this research are to explain the cyberbullying phenomenon in South Korea, as well as to describe the forms and the negative effects of cyberbullying showed in the movie. The descriptive-qualitative method has been applied in this research. Based on this research, it has been discovered that until now, the cyberbullying problem is increasing in South Korea. Based on the 2014 report written by Korea Internet Security Agency (KISA), among the interviewed teenagers in South Korea, 19% affirmed to have experienced cyberbullying which was represented in the Socialphobia movie. There are seven forms of cyberbullying showed in the movie: flaming, harassment, denigration, impersonation, outing and trickery, exclusion, and cyberstalking. The negative effects of cyberbullying showcased in the movie are bankruptcy, self-isolation, and suicide. Through this movie, the director Hong Seok-jae wants to criticize the South Korean society, claiming that cyberbullying cannot be underestimated and is likely to cause terrible effects on the victim. Furthermore, the cyberbullying perpretator is considered a coward because they hide behind the lack of social responsibility and the anonimity of the internet.

Kata Kunci : cyberbullying, film, sosiologi sastra