Resistensi Masyarakat Adat: Merebut Kembali Ruang Hidup dan Rekognisi Masyarakat Dayak Meratus

Indra Agung Hanifah, Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si

2018 | Tesis | MAGISTER MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Gerakan pengakuan wilayah adat selama beberapa tahun terakhir mengalami penguatan yang signifikan. Hal tersebut diawali dengan keluarnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menganulir beberapa pasal pada Undang-undang Kehutanan. Melalui putusan tersebut, masyarakat adat akhirnya memiliki basis legal terkait pengakuan wilayah yang selama ini diklaim sebagai tanah negara. Namun tantangan menuju pengakuan wilayah adat saat ini berada pada jalan yang cukup terjal. Adanya klaim negara atas hutan adat sebelumnya, memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk mengatur peruntukannya, salah satunya mengeluarkan kebijakan pengambilan ekstraksi hutan dengan pemberian izin konsesi kepada korporasi. Kebijakan tersebut dinilai menggeser posisi masyarakat adat sebagai penerima manfaat hutan, sehingga melahirkan gesekan antara korporasi dengan masyarakat yang berada di wilayah adat, dalam konteks perebutan ruang. Gesekan tersebut akhirnya melahirkan perlawanan dari masyarakat adat, salah satunya terjadi di sisi timur wilayah Pegunungan Meratus Penelitian ini menganalisis proses dan dinamika resistensi masyarakat Dayak terhadap kebijakan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan korporasi. Argumen utama yang dibangun dalam penelitian ini adalah bahwa resistensi masyarakat Dayak di Meratus dari awal kemunculannya hingga saat ini bersifat dinamis. Dinamika resistensi tersebut terjadi karena adanya pengelolaan kebijakan Meratus yang dinilai merugikan keberadaan masyarakat Dayak Meratus. Berbagai peristiwa kemudian lahir dan memicu reaksi dari masyarakat. Ekskalasi konflik dan perlawanan menguat pascareformasi, ditandai dengan meningkatnya aksi perlawanan dari masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan masyarakat Dayak yang menjadi aktor gerakan. Selain itu, penelitian ini juga diperkuat dengan kajian pustaka dari hasil laporan dan penelitian yang pernah dilakukan. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa resistensi masyarakat Dayak Meratus dipengaruhi oleh lahirnya deprivasi relatif. Persepsi tersebut kemudian menumbuhkan keinginan untuk melawan dari masyarakat. Perlawanan tersebut oleh masyarakat Dayak Meratus dimanifestasikan dalam berbagai aksi, yaitu dengan melakukan pemblokiran akses ke wilayah perusahaan, pembenahan balai adat; pemetaan partisipatif; penyampaian aspirasi dan demonstrasi; penyampain sumpit kepada presiden; dan kampanye lingkungan. Aksi-aksi yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Meratus tersebut dapat dibaca sebagai bagian dari konsep action dan opposition, yang menjadi inti dari resistensi. Selain itu, temuan lapangan juga menunjukkan permasalahan dipengaruhi oleh adanya konflik dalam konteks kebijakan. Permasalahan terjadi karena enam penyebab, yakni adanya kegagalan komunikasi, lahirnya perasaan emosional, perbedaan nilai, peran struktur, sejarah yang dilenyapkan dan perbedaan kepentingan.

The movement of indigenous territorial recognition over the past few years has experienced significant strengthening. It begins with the issuance of Decision of the Constitutional Court of Indonesia, Number 35/PUU-X / 2012 which annulled several articles on the Forestry Law. Through the verdict, indigenous peoples finally have a legal basis related to the recognition of territories that have been claimed as state land. But the challenge to recognition of cultural territory is currently on a fairly steep road. The existence of state claims on forests, allowing the government to regulate its designation, one of which issues a policy of extracting forests by granting concession permits to corporations. The policy is considered to shift the position of indigenous peoples as beneficiaries of forest, resulting in friction between corporations and communities in the customary territory, in the context of the struggle for space. The friction eventually gave rise to resistance from indigenous peoples, one of which occurred on the eastern side of the Meratus Mountains. This study seek to analyze the process and dynamics of Dayak people's resistance to forest management policies undertaken by governments and corporations. The main argument built in this research is that the resistance of the Dayak community in Meratus--from its inception to the present--is dynamic. The dynamics of such resistance occur because of the management of Meratus policy which is considered to be detrimental to the existence of the Dayak Meratus community. Events were then born and triggered a reaction from the community. The escalation of the conflict and the resistance became stronger after Indonesian Reformation, marked by the increasing action of resistance from the community. This research uses qualitative approach with case study. Datas were collected through interviews with the Dayak community who became actors of the movement. In addition, this study is also reinforced by literature review--reports and research ever undertaken. This research, based on cases, show that the resistance of the Dayak Meratus community is influenced by relative deprivation. This perception then fosters the desire to fight from society. The resistance by the Dayak Meratus community is manifested in various actions: blocking access to the territory of the company, revamping of customary centers; participatory mapping; the delivery of aspirations and demonstrations; the sending of Traditional Sumpit Dayak to the president; and environmental campaigns. The actions undertaken by the Dayak Meratus community can be read as a part of the concept of action and opposition, which is at the core of resistance. In addition, this research also indicate that the problem is affected by the conflict in the policy context. Problems occur because of six causes: failure of communication, emotion, differences in value, the role of structure, history and differences of interests.

Kata Kunci : masyarakat adat, Dayak Meratus, resistensi, konflik kebijakan, indigenous peoples, Meratus Dayak, resistance, conflict of policy