Tudung Manto : Transformasi Modal Kultural ke Modal Ekonomi dan Simbolik Dalam Masyarakat Kelurahan Daik Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau
FEBBY FEBRIYANDI YS, Prof. Irwan Abdullah, Ph.D.
2018 | Tesis | MAGISTER ANTROPOLOGITesis ini membahas tentang gejala kebangkitan popularitas kain tudung manto di Kelurahan Daik, Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau. Permasalahan yang ingin dijawab adalah mengapa tradisi tudung manto di Daik Lingga mampu bangkit setelah puluhan tahun terpuruk, sedangkan berbagai tulisan terdahulu menyimpulkan bahwa tradisi serupa ditempat lain belum mampu bangkit meskipun telah dilakukan berbagai usaha inventarisasi. Untuk memahami persoalan ini digunakan teori arena produksi kultural Pierre Bourdieu, dengan beberapa konsep kunci seperti habitus, ranah, modal, strategi dan kekuasaan simbolik. Teori ini mengarahkan peneliti melihat realitas sosial sebagai arena pertarungan para aktor yang melakukan berbagai tindakan sebagai strategi untuk memenangkan modal ekonomi dan simbolik dalam arena tersebut. Dalam penelitian yang telah dilakukan pada bulan September hingga November 2017 ini digunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara, dan observasi untuk mendapatkan data yang diperlukan. Selain itu, peneliti juga mengumpulkan data sekunder berupa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kain tudung manto, foto-foto dan video yang merekam tradisi kain tudung manto dalam masyarakat Daik Lingga. Seluruh data yang terkumpul kemudian dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu, kemudian dilakukan interpretasi untuk menemukan hubungan logis antar data-data yang diperoleh sehingga dapat menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tudung manto merupakan modal kultural yang telah dimiliki selama ratusan tahun dan terus direpoduksi sampai saat ini. Pewarisan tradisi tudung manto tidak hanya dilakukan secara informal dalam lingkungan keluarga dan masyarakat Daik, tetapi juga secara nonformal dan dilakukan oleh pemerintah daerah. Untuk melestarikan tradisi tudung manto negara, perajin, dan tokoh adat memindahkan tudung manto dari arena kultural terbatas ke dalam arena kultural skala besar. Dengan kata lain, tudung manto ditransformasi dari sebagai modal kultural menjadi modal ekonomi. Proses ini berhasil dilakukan, dan tudung manto telah menjadi suatu produk unggulan dari Kabupaten Lingga. Kunci keberhasilan ini terletak pada penggunaan modal kultural dan simbolik oleh Pemkab dan tokoh adat Lingga dalam membangun pasar yang besar bagi produk kain tudung manto. Pasar ini dibangun dengan mewacanakan tudung manto sebagai identitas Melayu Kepualauan Riau. Wacana ini segera diterima masyarakat dan Pemerintah di lingkungan Provinsi Kepri yang sedang mengkonstruksi identitas kemelayuan baru, yang memiliki kekhasan berbeda dari Melayu Riau. Selain itu, keberhasilan popularisasi tudung manto juga didukung oleh memuncaknya trend tekstil tradisional di Indonesia pasca ditetapkannya batik sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2009. Dengan semangat pengembangan tradisi tekstil lokal ini tudung manto di jadikan sebagai salah satu produk unggulan dari Kabupaten Lingga.
This thesis discussed the phenomenon of the rising popularity of tudung manto fabric on KelurahanDaik, Lingga Regency,Kepulauan Riau Province. This research wanted to find the answer to why the tudung manto tradition on DaikLingga rose to popularity again after being forgotten for many years, when many articles concluded that similar tradition on other places can not rose again even after many inventory efforts. This research used Pierre Bourdieu’s Field of Cultural Production theory to analyze the problem, with several key concepts such as habitus, field, capital, strategy and symbolical power. This theory gave the researcher direction to see the social This research used qualitative approach, using interview method and observation to collect the required data. This research also used secondary data collected from documents related to Tudung Manto fabric, photos and videos which depicted the Tudung Manto fabric tradition in DaikLingga community. All the data then categorized based on different criteria then interpreted to find the logical relation between all the collected data to find the answer of the problem proposed in this research. This research showed that tudung mantois cultural capital owned for hundred of years and still being produced up until present time. To preserve Tudung Manto tradition, government, craftsmen, and traditional leaders moved Tudung Manto from limited cultural field to big scale cultural field. In other words, Tudung Manto was transformed from cultural capital to economic capital. This process was a success and Tudung Manto became one of the esteemed products from Lingga regency. The key of the success lied on the use of cultural and symbolic capital by the Lingga local government to build big market for Tudung Manto products.
Kata Kunci : Tudung Manto, Transformasi, Modal Kultural