Laporkan Masalah

"CHINA'S DEBT-TRAP DIPLOMACY" DI ERA XI JINPING STUDI KASUS: 'KEKALAHAN' SRI LANKA DALAM PROYEK HAMBANTOTA

WENING SETYANTI, Dr. NANANG PAMUJI MUGASEJATI

2018 | Skripsi | S1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

China's 'debt-trap diplomacy' merupakan kosakata baru dalam hubungan internasional yang dimunculkan oleh seorang akademisi berkebangsaan India pada awal tahun 2017, tepat ketika Cina masih menjadi pusat perhatian dunia. Istilah ini merujuk pada 'diplomasi hutang' di bawah kerangka diplomasi ekonomi melalui pemberian pinjaman dari negara pemberi pinjaman (lender) pada negara penerima pinjaman (borrower), yang baik disengaja maupun tidak, akan menjerumuskan negara borrower pada kondisi terperangkap dalam hutangnya sendiri (debt-trap). Fenomena tersebut sebenarnya bukan hal baru bagi negara-negara di dunia, namun kasus antara Cina dengan Sri Lanka dalam proyek pelabuhan laut Hambantota sempat menjadi sorotan banyak pihak internasional. Kasus yang memperlihatkan betapa jauhnya jarak kekuatan antara Cina dengan Sri Lanka ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak oposisi politik kedua pihak membentuk opini global bahwa Cina telah melakukan 'kejahatan' dengan instrumen China's 'debt-trap diplomacy' sekaligus menunjukkan keprihatinannya pada nasib Sri Lanka. Menariknya, praktik 'diplomasi hutang' oleh Cina sebenarnya telah diterapkan pada masa Hu Jintao, pemimpin Cina sebelum Xi Jinping. Namun, model diplomasi ekonomi baru dengan dalih pemberian bantuan pembangunan, pinjaman, hingga tanggungan finansial dengan angka yang fantastis di era Xi Jinping membuat banyak pihak bertanya-tanya akan maksud dari tindakan Cina tersebut. Penulis sendiri beranggapan bahwa perilaku 'diplomasi hutang' secara implisit telah menjadi salah satu bagian dari strategi politik luar negeri Cina. 'Diplomasi hutang' tentu akan menjadi 'suplemen' yang sangat baik karena tidak hanya mendatangkan keuntungan bagi Cina secara ekonomi, namun juga secara politik, misalnya mendorong Cina untuk meraih Chinese Dream maupun merealisasikan inisiasi One Belt, One Road (OBOR). Melalui studi kasus kerja sama antara Cina dengan Sri Lanka dalam proyek pelabuhan laut Hambantota, penulis berusaha menimbang kekuatan kedua aktor dengan konsep Structural Power sekaligus menunjukkan mekanisme debt-trap yang terbentuk akibat interaksi kekuatan antara Cina dengan Sri Lanka. Debt-Trap sebagai komponen dari konsep bisnis itu sendiri juga akan penulis gunakan untuk menentukan konsekuensi yang terjadi, khususnya bagi pihak borrower yang lebih banyak merugi. Bagaimanapun, 'diplomasi hutang' dan China's 'debt-trap diplomacy' merupakan sebuah strategi. Hal itu wajar bagi Cina untuk menerapkannya mengingat di satu sisi Sri Lanka dengan Cina merupakan dua negara yang masih saling membutuhkan dan di sisi lain Cina tidak akan pernah lupa bahwa dirinya pernah menjadi 'korban' dalam Abad Penghinaan. Kata kunci: Cina, Xi Jinping, Sri Lanka, structural power, debt-trap, diplomasi ekonomi, Hambantota

China's 'debt-trap diplomacy' is a new term in international relations raised by an Indian academic in early 2017, precisely when China is still the center of the world's attention. This term refers to 'debt diplomacy' under the framework of economic diplomacy through lender to borrower countries, whether intentionally or not, it will shove the borrower trapped in its own debt (debt-trap). Eventhough the phenomenon is no stranger to day to day International affairs, the case between China and Sri Lanka in the Hambantota port project was recently highlighted by many international parties. This case shows extreme power gap between China and Sri Lanka, and was used by the political oppositions of both parties to form a global opinion that China has committed a 'crime' using the 'debt-trap diplomacy' against the disadvantaged Sri Lankan. Despite, China's 'debt diplomacy' had previously been exercised by Hu Jintao whom is Xi's predecessor. Xi's new model of economic diplomacy has saw an enormous increase in providing development aid, loans, and financial guarantee. Thus, leading many to question the real nature of Chinese intention. In this sense, the author assume that the conduct of 'debt diplomacy' has implicitly joined China's foreign policy arsenal. For the sake of the author argument, 'Debt diplomacy' will certainly be an excellent 'supplement' not only for bringing some economic benefits to China, but also to be politically advantageous, for example in order to achieve both the Chinese Dream as well as preparing the ground for the initiation of One Belt, One Road (OBOR) initiative. Through a case study of cooperation between China and Sri Lanka in the Hambantota port project, the author tried to measure the potential power possessed by the two actors with Structural Power theory in an effort to show the debt-trap mechanism formed by the interaction between China and Sri Lanka. Debt-Trap as a business concept itself will also help the author to determine the consequences that occur, especially for the borrower who is more aggrieved. However, 'debt diplomacy' and China's 'debt-trap diplomacy' is a strategy. It is natural for China to do so since on the one hand Sri Lanka and China are two countries that still need one-another, and on the other hand the memory of the Age of Humiliation is still very much alive in China. Keywords: China, Xi Jinping, Sri Lanka, structural power, debt-trap, economic diplomacy, Hambantota

Kata Kunci : Cina, Xi Jinping, Sri Lanka, structural power, debt-trap, diplomasi ekonomi, Hambantota / China, Xi Jinping, Sri Lanka, structural power, debt-trap, economic diplomacy, Hambantota

  1. S1-2018-363838-abstract.pdf  
  2. S1-2018-363838-bibliography.pdf  
  3. S1-2018-363838-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2018-363838-title.pdf