SATU SUKU DUA NEGARA Belajar dari Etnik Atoin Meto di Perbatasan Indonesia-Timor Leste Bagi Pengembangan Tata Kelola Perbatasan
THOMAS UMBU PATI TENA BOLODADI, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc;Dr.rer.pol. Mada Sukmajati, MPP
2018 | Disertasi | S3 Ilmu PolitikDengan mengacu pada telaah tata kelola perbatasan (border governance) Indonesia-Timor Leste, studi ini menguak dilema yang melilitnya. Di satu sisi Pemerintah Nasional Indonesia sangat gigih memperjuangkan model yang sangat teritorialistik namun rentan manipulasi, di sisi lain potensi solusi selalu dicurigai sebagai ancaman. Pendekatan state centric dalam konteks menjaga wilayah territorial Negara justru mengabaikan makna pengelolaan secara integrated dengan melibatkan peran multi actor (termasuk tokoh adat dan tokoh masyarakat) dan pelibatan multi-level pemerintahan (termasuk pemerintahan daerah dan pemerintahan desa) sehingga perbatasan dapat dikelola dalam secara bersama dalam semangat governance. Realita empiris di perbatasan Indonesia-Timor Leste menggambarkan adanya kekuatan kultural yang dimiliki oleh etnik kultural Atoin Meto sebagai satu suku besar yang mendiami landscape territorial dua wilayah Negara yakni Pulau Timor Indonesia dan wilayah Oecussie Timor Leste. Etnik Atoin Meto dengan kekayaan kulturalnya (public properties) telah membuktikan bahwa mereka secara otonom mampu meyelesaikan persoalan mereka dengan cara mereka sendiri. Hadirnya Negara dengan pendekatan state centric nya telah mengabaikan potensi kultural etnik tersebut dan kondisi ini semakin memperburuk tata kelola perbatasan. Pertanyaan mendasar, kedaulatan di wilayah perbatasan adalah kedaulatan milik rakyat ataukah kedaulatan milik Negara. Untuk keluar dari situasi dilematis, studi ini mengusulkan suatu mainstream baru dengan mengangkat logika pengelolaan perbatasan berbasis etno kultural yang sesungguhnya mampu memberikan solusi sekaligus memperkuat pemaknaan terhadap tata kelola perbatasan (border governance). Secara empiris, etno kultural Atoin Meto telah membuktikan bahwa di tengah gempuran kekuatan teritorialistik negara ternyata eksistensi kultural mereka tetap survive dan mampu memberikan makna tersendiri melalui kekuatan public propertiesnya. Dan kondisi tersebut dapat dijadikan referensi kebijakan dalam memperkuat tata kelola perbatasan (border governance)
Dengan mengacu pada telaah tata kelola perbatasan (border governance) Indonesia-Timor Leste, studi ini menguak dilema yang melilitnya. Di satu sisi Pemerintah Nasional Indonesia sangat gigih memperjuangkan model yang sangat teritorialistik namun rentan manipulasi, di sisi lain potensi solusi selalu dicurigai sebagai ancaman. Pendekatan state centric dalam konteks menjaga wilayah territorial Negara justru mengabaikan makna pengelolaan secara integrated dengan melibatkan peran multi actor (termasuk tokoh adat dan tokoh masyarakat) dan pelibatan multi-level pemerintahan (termasuk pemerintahan daerah dan pemerintahan desa) sehingga perbatasan dapat dikelola dalam secara bersama dalam semangat governance. Realita empiris di perbatasan Indonesia-Timor Leste menggambarkan adanya kekuatan kultural yang dimiliki oleh etnik kultural Atoin Meto sebagai satu suku besar yang mendiami landscape territorial dua wilayah Negara yakni Pulau Timor Indonesia dan wilayah Oecussie Timor Leste. Etnik Atoin Meto dengan kekayaan kulturalnya (public properties) telah membuktikan bahwa mereka secara otonom mampu meyelesaikan persoalan mereka dengan cara mereka sendiri. Hadirnya Negara dengan pendekatan state centric nya telah mengabaikan potensi kultural etnik tersebut dan kondisi ini semakin memperburuk tata kelola perbatasan. Pertanyaan mendasar, kedaulatan di wilayah perbatasan adalah kedaulatan milik rakyat ataukah kedaulatan milik Negara. Untuk keluar dari situasi dilematis, studi ini mengusulkan suatu mainstream baru dengan mengangkat logika pengelolaan perbatasan berbasis etno kultural yang sesungguhnya mampu memberikan solusi sekaligus memperkuat pemaknaan terhadap tata kelola perbatasan (border governance). Secara empiris, etno kultural Atoin Meto telah membuktikan bahwa di tengah gempuran kekuatan teritorialistik negara ternyata eksistensi kultural mereka tetap survive dan mampu memberikan makna tersendiri melalui kekuatan public propertiesnya. Dan kondisi tersebut dapat dijadikan referensi kebijakan dalam memperkuat tata kelola perbatasan (border governance)
Kata Kunci : thomas