Laporkan Masalah

KARAKTERISASI AGROEKOLOGI DAN DAYA ADAPTASI TANAMAN GARUT (Maranta arundinacea L) PADA SISTEM AGROFORESTRI DI KABUPATEN GARUT

ASEP ROHANDI, Dr.Budiadi, S.Hut, M.Agr.Sc.;Prof. Dr. Suryo Hardiwinoto, M.Agr.Sc.;Prof. Dr. Eni Harmayani, M.Sc

2018 | Disertasi | S3 Ilmu Kehutanan

Garut (M. arundinacea L) merupakan tanaman penghasil pati potensial sebagai sumber pangan alternatif, terutama untuk pangan fungsional. Garut mampu tumbuh di bawah naungan pohon sehingga potensial dikembangkan dengan pola agroforestri. Peningkatan hasil umbi garut memerlukan teknik budidaya yang tepat dan bahan tanaman/varietas yang sesuai dengan kondisi lingkungan tempat tumbuh. Sulitnya mendapatkan varietas unggul dan bibit dalam jumlah relatif banyak untuk dibudidayakan secara komersial merupakan kendala yang dihadapi saat ini. Keragaman genetik plasma nutfah garut berperan penting untuk menunjang perbaikan karakter potensial spesifik, terutama yang terkait dengan produksi umbi dan kandungan pati tinggi. Kabupaten Garut merupakan salah satu wilayah yang tepat untuk pengembangan umbi-umbian di Jawa Barat. Selain itu, adanya keterkaitan sejarah antara garut dengan nama kabupaten merupakan hal menarik untuk mengangkat umbi garut sebagai komoditas pilihan dan produk unggulan. Informasi tentang potensi dan praktek budidaya garut di wilayah ini sangat terbatas sehingga penelitian tentang sebaran, potensi, kondisi agroekologi, daya adaptasi dan produktivitas agroforestri berbasis garut sangat diperlukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi ilmiah tentang sumber plasma nutfah dan karakteristik agroekologi tanaman garut serta mengevaluasi daya adaptasinya sehingga diperoleh tanaman garut yang produktif dengan kualitas optimal dan pola agroforestri yang tepat untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Secara spesifik tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : (1) menganalisis sebaran tumbuh, karakteristik agroekologi dan potensi tanaman garut pada berbagai lokasi tempat tumbuh serta hubungannya dengan beberapa faktor biofisik; (2) mengkaji kemampuan adaptasi tanaman garut pada perbedaan ketinggian tempat dan umur tegakan serta (3) menganalisis keragaman produksi dan kualitas umbi garut (kandungan pati) serta menghitung nisbah kesetaraan lahan (NKL) penerapan pola agroforestri berbasis garut. Metoda yang digunakan meliputi : (1) survey lapang secara purposive dengan menggunakan petak tunggal untuk pengumpulan data sebaran, karakteristik agroekologi dan potensi tanaman garut dan (2) pembuatan demplot uji adaptasi menggunakan Rancangan Petak-Petak Terpisah yang diulang sebanyak 4 kali. Petak utama adalah ketinggian lokasi, anak petak berupa umur tegakan penaung dan anak-anak petak adalah asal tanaman garut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman garut tersebar di wilayah Kabupaten Garut dengan karakteristik tapak yang cukup beragam. Jenis ini tumbuh pada kisaran ketinggian 6-1.351 m dpl, suhu 20-36oC, kelembaban (RH) 40-72% dan intensitas cahaya 12-56%. Karakteristik tanah pada lokasi sebaran tumbuh garut memiliki pH 4.16-7,40 (asam-netral) dengan tingkat kesuburan rendah sampai tinggi. Tanaman garut tumbuh secara mengelompok pada berbagai tipe penggunaan lahan terutama lahan-lahan ternaungi, baik berupa tanaman budidaya ataupun tanaman liar. Terdapat perbedaan komunitas vegetasi, kelimpahan dan potensi produksi umbi serta pati garut berdasarkan perbedaan ketinggian lokasi. Keanekaragaman vegetasi pada habitat tumbuh garut di dataran sedang lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Secara umum sengon (Falcataria moluccana) dominan pada semua zona ketinggian terutama pada tingkat pohon (dataran rendah : INP = 49,3%, dataran sedang : INP = 66,9% dan dataran tinggi : INP = 54,9%) dan banyak ditanam dalam pola agroforestri sebagai tanaman pokok. Kelimpahan tanaman garut bervariasi antar ketinggian lokasi yang berkisar antara 8.333-140.000 individu/ha. Pengamatan terhadap 23 populasi garut dari Kabupaten Garut menunjukkan adanya keragaman karakteristik morfofisiologi, kadar pati dan hasil umbi yang cukup besar di antara semua populasi garut, kecuali untuk panjang umbi. Populasi Cilawu memiliki hasil tertinggi untuk sebagian besar karakteristik pertumbuhan, sedangkan hasil terendah diperoleh populasi Babakan Cau. Produksi umbi segar berkisar antara 17,3-210,6 g/rumpun dengan hasil tertinggi diperoleh populasi Cikajang, sedangkan kadar pati berkisar antara 13,7-27,0% dengan nilai tertinggi diperoleh populasi Cibatu. Sebagian besar sifat-sifat pertumbuhan tanaman garut tidak berkorelasi dengan karakteristik biofisik tempat tumbuhnya sehingga diduga terdapat faktor lain yang berkontribusi besar terhadap perbedaan pertumbuhan tanaman garut seperti faktor genetik. Karakteristik pertumbuhan juga sebagian besar tidak berkorelasi dengan produksi umbi dan pati yang memberi indikasi bahwa pertumbuhan bukan merupakan indikator yang baik untuk seleksi tanaman garut dengan produksi umbi dan kadar pati tinggi. Pengelompokan menggunakan analisis komponen utama (principle component analysis, PCA) berdasarkan karakteristik tinggi tanaman, biomassa umbi, produksi umbi segar dan kadar pati menunjukkan populasi Cilawu, yang diikuti oleh populasi Cibatu, dan Cikajang merupakan populasi yang menghasilkan umbi dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi sehingga potensial dikembangkan di Kabupaten Garut. Daya adaptasi dan pertumbuhan tanaman garut dipengaruhi oleh interaksi ketinggian lokasi, umur tegakan sengon dan asal tanaman, kecuali jumlah anakan per rumpun. Respon tanaman garut terhadap perbedaan ketinggian lokasi dan umur tegakan sengon cukup beragam antar asal tanaman berbeda yang diamati melalui perubahan karakter morfofisiologi yang meliputi : tinggi tanaman, kandungan klorofil, laju asimilasi bersih (LAB), laju pertumbuhan tanaman (LPT), luas daun, jumlah umbi per rumpun, panjang umbi, diameter umbi, berat umbi per rumpun, biomassa dan indeks panen (IP). Garut di dataran rendah memberikan respon pertumbuhan dan produksi umbi lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Garut asal Limbangan yang ditanam pada ketinggian 173-214 m dpl (dataran rendah) di bawah tegakan umur 3 tahun menghasilkan produksi umbi tertinggi (204,5 g/rumpun). Naungan tegakan sengon memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi umbi garut khususnya di dataran rendah dan dataran sedang. Sementara itu, cekaman cahaya dan suhu rendah pada tegakan umur 3 tahun (naungan berat) di dataran tinggi menyebabkan rendahnya pertumbuhan dan produksi umbi garut. Secara umum, garut lokal menunjukkan penampilan relatif lebih baik sehingga dapat dijadikan pilihan untuk penanaman karena lebih mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. Hasil dan kualitas umbi dipengaruhi oleh interaksi ketinggian lokasi, umur tegakan sengon dan asal tanaman garut. Garut asal Limbangan pada ketinggian 173-214 m dpl (dataran rendah) di bawah tegakan sengon umur 3 tahun memperoleh hasil umbi dan hasil pati tertinggi, sedangkan kadar pati umbi tertinggi diperoleh tanaman asal Cilawu pada tegakan umur 1 tahun. Hasil umbi berkisar antara 3,10-15,26 t/ha, kadar pati 28,11-37,59% dan hasil pati 0,97-4,99 t/ha. Hasil umbi, kadar pati dan hasil pati cenderung meningkat dengan semakin rendahnya ketinggian lokasi. Kadar pati cenderung menurun di dataran rendah dan dataran sedang, sedangkan hasil umbi dan hasil pati cenderung meningkat dengan semakin tingginya intensitas naungan. Sementara itu, naungan berat di dataran tinggi cenderung menyebabkan penurunan produksi umbi, kadar pati dan hasil pati. Berdasarkan beberapa indikator pertumbuhan, produksi umbi dan kadar pati, pengelompokan menggunakan PCA menunjukkan bahwa garut asal Limbangan sesuai ditanam di dataran rendah dan dataran sedang pada semua kondisi naungan, sedangkan garut asal Paliyan (Gunung Kidul) sesuai pada naungan ringan dan asal Cilawu pada naungan sedang dan berat di dataran tinggi. Produksi umbi per rumpun dan kadar pati memiliki hubungan positif dengan sebagian besar karakteristik morfofisiologi tanaman garut, tetapi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor biofisik tempat tumbuh. Nisbah kesetaraan lahan (NKL) untuk seluruh perlakuan pada sistem agroforestri kombinasi sengon-garut lebih besar dari satu (>1) yang menunjukkan bahwa sistem agroforestri lebih produktif dibandingkan sistem monokultur. Nilai tertinggi diperoleh dari kombinasi garut asal Limbangan pada sengon umur 3 tahun di dataran rendah (2,36). Informasi ini sangat diperlukan sebagai pedoman dalam pengembangan agroforestri garut pada berbagai kondisi lingkungan khususnya perbedaan ketinggian lokasi dan kondisi naungan.

Arrowroot (Maranta arundinacea L.) is a potential starch-producing plant for alternative food source, especially for fungctional food. Arrowroot can tolerate the shade under the trees which makes it potential to be cultivated in agroforestry system. Yield improvement of arrowroot tuber requires appropriate cultivation techniques and selected plant material or varieties which suitable with the growing site condition. The difficulties to obtain superior varieties and seedling in relatively large quantity to be commercially cultivated is the recent encountered impediment. Genetic diversity of arrowroot germplasm plays an important role in supporting the improvement of specific potential characters, especially those associated with high tuber production and starch content. Garut District is one of suitable region for tuber-crops development in West Java. Moreover, due to the history relation between arrowroot and the district name, it is a very interesting matter to appoint arrowroot tuber as the chosen comodity and superior product. Information about the potency and cultivation practice of arrowroot in this region is very limited so study on the distribution, potency, agroecological conditions, adaptability and productivity of arrowroot-based agroforestry is urgently needed. The objective of this research was to obtain scientific information regarding the germplasm source and agroecological characteristics of arrowroot and to evaluate its adaptive capability in order to develop the productive arrowroot plant with optimum quality and the proper agroforestry pattern to be developed corresponding the local environmental condition. Specifically, the objective can be described as follow: (1) to analyze the plant distribution, agroecological characteristics and the potency of arrowroot in various locations and their relationship to several biophysical factors; (2) to study the adaptability of arrowroot in different altitude and under various stand age, and (3) to analyze the diversity of production and quality of arrowroot-tuber (starch content) and to calculate the land equivalent ratio (LER) of arrowroot based agroforestry. The method used include: (1) purposivelly field survey using single plot to collect data on distribution, agroecological characteristics and potency of arrowroot and (2) adaptability test using split-split plot design by 4 (four) replications. The main plots were determined based on altitude differentiation, sub-plots were set based on the stand age, and sub-sub plot were designed based on the origin of the arrowroot. The research results indicated that arrowroot in Garut District distributed in a diverse site characteristics. Arrowroot grows in altitude 6-1,351 m asl, temperature 20-36oC, relative humidity (RH) 40-72%, and light intensity 12-56%. Soil characteristic on the arrowroot distribution location has pH level 4.16-7.40 with low to high soil fertility. Arrowroots spread in clumps on various types of land use, especially on shaded areas, either in the form of cultivated or wild plants. There were differences of vegetation community, abundance and tuber productivity potency and starch content inline with different elevations. The vegetation diversity within arrowroot habitat in the medium altitude (plains) is higher than in other locations. In general, sengon (Falcataria moluccana) dominated all altitude zones, especially at the tree stratum (lowland: IVI = 49.3%, plains: IVI = 66.9% and highland: IVI = 54.9%) and widely planted in the agroforestry pattern as the main trees. The abundance of arrowroot varies between altitudes, ranging from 8,333-140,000 plant/ha. Observation on 23 arrowroot populations from Garut District showed a great diversity in morpho-physiology characteristics, tuber yield and starch content, but not in tuber length. Cilawu population showed the highest values for most growth characteristics, while the lowest values reached by Babakan Cau population. Fresh tuber yields ranged from 17,3-210,6 g/clump with the highest result revealed by Cikajang population, while the starch content ranged from 13,7-27,0 % with the highest value obtained by Cibatu population. Most of the growth characteristics of arrowroot did not correlate with the biophysical variables; it is suspected that there were other factors that contribute greatly to the growth difference of arrowroot such as genetic factor. Most of the growth characteristics had no significant correlation with the high tuber production and starch content, it indicated that the growth characteristics were not a good indicator for selecting the arrowroot plant with high tuber production and starch content. Grouping using the principle component analysis (PCA) based on the characteristics of plant height, tuber biomass, fresh tuber production, and starch content showed that respectively Cilawu, Cikajang, and Cibatu population produced tuber with high quality and quantity; so that these three populations has the potency to be developed in Garut District. The adaptability and performance of arrowroot was influenced by the interaction of elevation, the age of sengon stands and the origin of arrowroot, except the number of tillers per clump. The responses of arrowroot plants to multiple elevation and the age of sengon stands varied considerably between different arrowroot origin which was observed from the morphophysiological characteristic changes such as: plant height, chlorophyll content, net assimilation rate (NAR), crop growth rate (CGR), leaf area, number of tubers per clump, tuber length, tuber diameter, fresh tuber weight per clump, biomass and harvest index (HI). Arrowroot in the lowland possed higher growth response and tuber production compared to other locations. Arrowroot from Limbangan which was planted at 173-214 m asl under 3 years old sengon stand produced the highest tuber production (204.5 g/clump). Sengon shade gave positive impacts on increasing the growth and production of arrowroot tubers, particularly in lowlands and plains. Meanwhile, low light and low temperature stress under 3-years-old stands (heavy shade) in the highlands resulted in low growth and tuber production of arrowroot. In general, local arrowroot showed a relatively better performance which is more appropriate to be selected for planting activities due to its high adaptability to local environmental conditions. Tuber yield and quality are influenced by the interaction of location altitude, age of sengon stand and origin of arrowroot. Arrowroot from Limbangan at 173-214 m asl under 3 years old sengon stand obtained the highest tuber and starch yield, while the highest starch content was obtained by Cilawu origin planted under 1 years old sengon stand. Tuber yield ranged from 3.10-15.26 t/ha, starch content 28.11-37.59 % and starch yield 0.97-4.99 t/ha. Tuber yield, starch content and starch yield tended to increase along with decreasing altitude of the location. Starch content tended to decrease on lowlands and plains, even though tuber yield and starch yield tended to increase in concomitant with the increasing of shade intensity. Meanwhile, the heavy shade on high lands tended to decrease the tuber production, starch content, and starch yield. Based on some growth indicators, tuber production and starch content, grouping using PCA showed that the Limbangan origin was suitable to be planted at lowlands and plains on various kind of shade intensity, whereas in the highlands arrowroot from Paliyan (Gunung Kidul) was more adaptive to light shade intensity and the Cilawu origin is relatively adaptive in moderate and heavy shade. Tuber production per clump and starch content had positive relation with most of the morphophysiology characteristics, but had unsignificant relation with biophysic factors of the growing sites.The land equivalen ratio (LER) for all treatments on agroforestry systems in combination of sengon-arrowroot is greater than one (> 1) indicated that agroforestry system is more productive than the monoculture. The highest value was obtained from the combination of arrowroot from Limbangan under 3-year-old sengon stand in lowland (2.36). This information is necessary as a guidance in the development of arrowroot agroforestry in various environmental conditions, especially in diverse elevation and shade conditions.

Kata Kunci : Maranta arundinacea, agroforestri, produktivitas, hasil umbi, kadar pati;Maranta arundinacea, agroforestry, productivity, tuber yield, starch content

  1. S3-2018-338039-abstract.pdf  
  2. S3-2018-338039-bibliography.pdf  
  3. S3-2018-338039-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2018-338039-title.pdf