Strategi Jepang dalam Merespons Krisis Pengungsi Global sebagai Implementasi terhadap Konvensi dan Protokol Perlindungan Pengungsi
KRISTIN BUDIYARTI, Dra. Siti Daulah Khoiriati, MA
2017 | Skripsi | S1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALKonflik yang berkepanjangan berimplikasi lahirnya gelombang pengungsi dalam jumlah yang signifikan, bahkan mencapai angka terbesar pada tahun 2016. Hal tersebut, membuat negara-negara memberikan respons yang beragam. Demikian pula dengan Jepang, strategi Jepang dalam merespons krisis pengungsi dilakukan dengan penanaman norma (embeddedness phase) mulai dari mengasesi Konvensi dan Protokol Perlindungan Pengungsi, mengintegrasikan dalam hukum domestik dan prosedur rekognisi pengungsi, hingga inklusi ke dalam identitas yang hendak ditampilkan Jepang. Namun, dalam implementasinya strategi Jepang dinilai oleh konstituen pro norma internasional perlindungan pengungsi sebagai hal yang belum optimal - bahkan cenderung stagnan dan tidak signifikan dalam beberapa aspek. Tidak signifikannya strategi yang dilakukan Jepang - adanya gap antara komitmen dan implementasi yang dilakukan nyatanya lahir dari tarik menarik dinamika domestik dan internasional. Adanya konsiderasi tuntutan norma dan pertimbangan strategis melahirkan kontestasi dalam domestik Jepang. Di mana dinamika domestik menjadi lebih dominan karena aktor-aktor yang memiliki tendensi pelanggaran komitmen justru menduduki posisi politik yang kuat didukung dengan faktor sosio kultural yang kuat di Jepang. Pada akhirnya, tuntutan internasional dan keadaan domestik Jepang tidak beresonansi satu dengan yang lain. Hal tersebut kemudian melahirkan strategi yang notabene lebih banyak jatuh pada preferensi dan kepentingan domestik Jepang. Kenyataan yang demikian membuat Jepang berupaya untuk meyakinkan konstituen pro norma internasional perlindungan pengungsi bahwa strategi Jepang adalah hal yang tepat dan menyasar untuk mengatasi krisis pengungsi global. Meskipun tidak dapat merekognisi pengungsi dalam jumlah yang lebih banyak dan memperbaiki sistem yang ada, Jepang berupaya memaksimalkan perannya melalui dua strategi lainnya yaitu bantuan finansial dan program kemanusiaan pembangunan.
Prolonged conflict has resulted in a significant global influx of refugees, reaching its highest rate in 2016. This has produced a variety of responses from different states. Japan is no exception to this. Japan's strategy in responding to the crisis is done through norm cultivation (embedded phase), starting from the creation of the Convention and Protocol of Refugee Protection, integrating it into domestic laws and the refugee recognition procedure, and its deliberate inclusion into the identity that the country publicly displays. However, in its implementation, the strategy's optimalization has been criticized by the international Pro Refugee Protection Norm constituents - even judging it to be stagnant and insignificant in some aspects. The insignificance of Japan's strategy - the gap between the country's commitment and its implementation is in fact born out of the push and pull dynamic of domestic and international politics. Considerations toward norms and strategic demands have led to domestic contestation in Japan. Where, domestic dynamics have become more dominant because the actors who have a tendency towards violating the commitments occupy strong political positions, this is strengthened by Japan's strong socio-cultural factor. In the end, international demands towards Japan and its domestic circumstances do not resonate with each other. This then resulted in Japan's strategy that has focused more on its domestic preferences and interests. Such a reality has pushed Japan to seek the international pro-norm constituents of refugee protection's acceptance towards its strategy and aims to overcome the global refugee crisis. Although it has been unable to admit a larger number of refugees and improve its existing system, Japan has put effort into maximizing its role through two other strategies, giving financial aid and humanitarian development programs.
Kata Kunci : Krisis pengungsi global, Jepang, compliance, pemenuhan, Konvensi 1951, Protokol 1967, dinamika internal, dinamika eksternal, crosscutting approach, integrative model of compliance