Rasa Malu Elit Politik/Birokrat pada Kasus Korupsi Dana Gempa Bantul 2006: Perspektif Antropologis

NURHAYATI DARUBEKTI, DRA.,MS., Prof. Dr. Kodiran, MA ; Dr. Pujo Semedi, H. Y. MA

2017 | Disertasi | S3 Antropologi

Gempa bumi 5,9 SR telah terjadi pada tanggal 26 Mei 2006 di sebagian wilayah Propinsi Jawa Tengah dan wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibat gempa ini ribuan orang meninggal dunia, luka berat/ringan, kehilang bidang usaha, dan ribuan tempat tinggal penduduk yang rusak. Desa Temuwuh, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul termasuk desa yang terkena dampak gempa, rumah penduduknya rusak. Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memberikan bantuan dana untuk merekonstruksi dan merehabilitasi rumah korban bencana gempa bumi kepada warga Desa Temuwuh yang rumahnya rusak. Dana Bantuan Rehabilitasi dan Rekonstruksi diberikan berdasanarkan kriteria kerusakan rumah, yaitu rusak berat berhak mendapat bantuan lima belas juta rupiah, rusak sedang berhak mendapat bantuan empat juta rupiah dan rusak ringan berhak mendapat bantuan satu juta rupiah. Jumlah dana rekonstruksi untuk Desa Temuwuh, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul kepada 37 kelompok masyarakat adalah sebesar Rp.5.850.000.000,- (lima milyar delapan ratus lima puluh juta rupiah). Di dalam pelaksanaannya dana tersebut berujung pada tindakan korupsi. Para petugas terkait memotong dana tersebut sebesar tiga juta rupiah s/d tujuh juta rupiah per anggota. Total jumlah potongan adalah Rp. 1.624.500.000,- (satu milyar enam ratus dua puluh empat juta lima ratus ribu rupiah). Agak aneh wacana dan usaha yang berkembang saat itu yaitu perbuatan pemotongan dana gempa Bantul 2006 yang seharusnya tergolong korup tersebut adalah bentuk kearifan lokal. Dalam upaya mencari pembenaran tindak korupsi tersebut, peneliti melihat suatu proses bagaimana para koruptor tidak merasa malu korupsi. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan. Pertama, akan diteliti terlebih dahulu bagaimana rasa malu elit politik, birokrat, dan masyarakat terkait dengan korupsi dana gempa Bantul 2006 tersebut. Kedua, akan diteliti faktor-faktor yang menyebabkan elit politik dan birokrat yang melakukan korupsi dana gempa Bantul 2006 tersebut tidak merasa malu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para elit politik dan birokrat tidak merasa malu terkait korupsi dana gempa Bantul tahun 2006. Hal ini ditunjukkan dalam gestur dan bahasa tubuh dan dalam pernyataan verbal yang dikemukakan. Hasil penelitian menemukan faktor-faktor penyebab elit politik dan birokrat tidak memiliki rasa malu korupsi dana gempa Bantul 2006. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor, yaitu kultural, struktural, dan individual. Yang termasuk dalam faktor kultural adalah birokrasi patrimonial (menganggap kekuasaan politik sebagai bagian dari milik pribadi), budaya yang melahirkan korupsi (korupsi yang tertanam dalam budaya), dan banalitas korupsi. Yang termasuk dalam faktor struktural adalah korupsi merupakan bagian dari sistem, lemahnya pengawasan, tidak ada figur pemimpin, praktik pengembalian uang kerugian negara pada saat penyidikan, dan sanksi hukum yang terlalu ringan. Sedangkan yang termasuk dalam faktor individual adalah rendahnya pengertian moral, rendahnya integritas pegawai dan para pemimpin kunci, dan motif ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian ini, penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak adanya perasaan malu para elit politik dan birokrat terkait korupsi dana gempa Bantul 2006 menyingkap faktor-faktor kejahatan korupsi. Korupsi dana gempa Bantul 2006 terjadi karena faktor-faktor kultural, struktural, dan individual. Faktor-faktor ini dipraktikkan oleh banyak orang dalam berbagai tingkat dan mengakibatkan tidak adanya perasaan malu korupsi. Berdasarkan kesimpulan ini penelitian ini merekomendasikan agar masyarakat jangan apatis menghadapi meluasnya korupsi di negeri ini. Penelitian ini memiliki keterbatasan karena hanya dilakukan di Desa Temuwuh dan korupsi dana bencana. Sehubungan dengan itu, disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menelitinya di lokasi dan kasus korupsi yang lain.

An earthquake 5.9 SR occurred on May 26, 2006 in parts of the province of Central Java and Yogyakarta Special Province Region. Impact of this earthquake thousands of people died, injuries serious and minor, loss of business, and thousands of the houses damaged. Temuwuh Village, District Dlingo, Bantul including the villages affected by the earthquake, residents homes damaged. The Government through the State Budget (APBN) provides financial assistance to reconstruct and rehabilitate homes to earthquake victims Temuwuh villagers whose homes were damaged. Rehabilitation and Reconstruction Assistance Fund awarded based on criteria of damage to homes, which severely damaged the right to have fifteen million dollars, broken are entitled to help four million dollars and slightly damaged the right to have one million dollars. The amount of funds for the reconstruction of Temuwuh Village, District Dlingo, Bantul to 37 community groups amounted Rp. 5.850.000.000,- (five billion eight hundred and fifty million dollars). The implementation of these funds leads to corruption. The relevant officials cut the funding of three million to seven million dollars each member. The total number of pieces is Rp. 1.6245 billion,- (one billion six hundred and twenty-four million five hundred thousand dollars). A bit odd discourse and thriving business when it is the act of cutting funds Bantul earthquake in 2006 that should belong to the corrupt is a form of local wisdom. In an attempt to justify the acts of corruption, the researchers looked at the process of how the criminals do not feel ashamed of corruption. Based on this background, the study was conducted. First is how shame political elite, bureaucrats, and community related to corruption of the 2006 earthquake in Bantul. Second, will be examined factors that lead to political elite and bureaucratic corrupt funds Bantul earthquake 2006 is not ashamed. The results showed that the political elites and bureaucrats do not feel ashamed related corruption Bantul earthquake fund in 2006. This is shown in the gestures and body language and the verbal statements expressed. The results found the factors that cause the political elites and bureaucratic have no shame corruption of Bantul earthquake of 2006. These factors can be grouped into three factors, namely the cultural, structural, and individual. The cultural factor is patrimonial bureaucracy (assume political power as part of a private property), which spawned a culture of corruption (corruption that is embedded in the culture), and the banality of corruption. The structural factor is corruption is part of the system, lack of supervision, there is no figure of the leader, the practice refund of losses to the state at the time of the investigation, and legal sanctions are too mild. While that is included in the individual factor is the low moral sense, the low integrity of personnel and key leaders, and economic motives. Based on these results, the study concluded that the absence of a sense of shame of the political elite and bureaucratic corruption related Bantul earthquake fund in 2006 uncovers the factors of corruption crime. Corruption of Bantul 2006 earthquake occurred because cultural, structural, and individual factors. These factors practiced by many people in various levels and result in feelings of no shame corruption. Based on these conclusions of this study recommend that people do not apathetic confront widespread corruption in the country. This study has limitations because it is only done in the village and corruption disaster fund in Temuwuh. Accordingly, it is suggested to further research to investigate on location and other corruption cases.

Kata Kunci : shame, political elites, bureaucrats, corruption, earthquake fund