KONFLIK MASYARAKAT LOKAL VERSUS PERUSAHAAN SAWIT DI DESA BAJAYAU KECAMATAN DAHA BARAT KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN

ZAHRA IKHSANDA, Dr.Suharko, M.Si

2017 | Tesis | S2 Sosiologi

Abstrak Kebijakan pemerintah mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) sebagai altenatif bahan bakar minyak (BBM) memberi peluang besar bagi industri kelapa sawit untuk lebih berkembang. Di lain pihak adanya otonomi daerah yang memberikan kewenangan daerah untuk mengelola kekayaan alamnya maka daerah berlomba untuk menarik investor sawit, termasuk di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, tepatnya di Kecamatan Daha Barat, Desa Bajayau, lahan lebak dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit oleh pabrik Crude Palm Oil (CPO) milik PT Subur Agro Makmur (SAM). Namun dalam pelaksanaannya selama ini, interaksi perusahaan sawit dengan masyarakat Desa Bajayau menimbulkan hubungan konfliktual yang masif. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan konfliktual tersebut dengan pendekatan konflik yang terjadi di Desa Bajayau, Kecamatan Daha Barat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informan dalam penelitian ini terdiri dari semua pihak yang terlibat dalam konflik, yaitu: tokoh pemerintahan desa, bapak camat, masyarakat dan tokoh lokal, pihak humas perusahaan, pihak kabupaten, DPRD dan LSM Walhi. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi partisipasi dan dokumentasi. Analisis yang digunakan adalah analisis konflik. Hasil penelitian ini menghasilkan pemetaan dengan model pohon konflik yang terdiri dari akar yaitu yang melatarbelakangi konflik, batang yaitu masalah-masalah penyebab konflik dan daun yaitu akibat atau dampak konflik yang ada. Akar persoalan konflik adalah adanya perubahan lingkungan dan perubahan sosial. Pada masa pra-konversi Root causes disebabkan karena adanya penolakan sebagian warga atas kehadiran perusahaan. Proximate disebabkan sosialisasi tidak melibatkan semua warga. Trigger faktor disebabkan ketika munculnya konflik pembebasan tanah atau lahan. Masa konversi, akar dari konflik adanya janji penyerapan tenaga kerja sebesar 60%-70% tidak ditepati. Kemudian didorong oleh adanya penggantian tenaga kerja dengan peralatan berat yang ada, sedikit demi sedikit warga dikeluarkan. Pemicu konflik sendiri adalah ketika sebagian warga dikelurkan dari perusahaan dan andanya tenaga-tenaga dari desa lain atau dari luar daerah. Masa paskah konversi akar konflik karena adanya pencemaran lingkungan, kemiskinan dan kesenjangan. Faktor pendukung (Proximate) adalah karena menurunnya bantuan CSR. Kemudian konflik dipicu (Trigger) oleh peristiwa penembakan warga yang berujung kematian dan pencemaran mengakibatkan ratusan kerbau sungai mati. Masalah-masalah tersebut mengakibatkan dampak 1) Kesejahteraan tidak meningkat 2) Kemiskinan dan pengangguran bertambah. 3) Kehidupan sosial kurang harmonis.

Abstract The government's policy on developing biofuels as an alternative fuel oil (BBM) provides a great opportunity for the palm oil industry to further develop. On the other hand, the existence of regional autonomy which gives regional authority to manage its natural wealth then encourages regions to compete; which attracts palm investors including in Hulu Sungai Selatan Regency, South Kalimantan. In Hulu Sungai Selatan district, precisely in Daha Barat Subdistrict, Bajayau Village, Lebak land is converted to oil palm plantation by Crude Palm Oil (CPO) factory owned by PT Subur Agro Makmur (SAM). However, in its implementation all this time, the interaction of oil companies with the community of Bajayau village brings about a massive conflictual relationship. This study aims to examine the conflictual relationship with the approach of conflict that takes place in Bajayau Village, West Daha District, Hulu Sungai Selatan Regency. The research method employed is qualitative research with descriptive approach. The informants in this study consisted of all the parties involved in the conflict, namely; village government leaders, sub-district heads, local people and leaders, firm�s public relations, district parties, parliament (DPRD) and Walhi NGO. Data collection was conducted through in-depth interviews, participant observation and documentation. The analysis used is conflict analysis. The findings of this research resulted mapping with conflict tree model�consisting of root that is background of conflict, stem that is problem causing conflict, and leaf that is result or impact of conflict occurred there. The root of the conflict issue is environmental change and social change. In the pre-conversion period, Root causes was triggered due to the rejection of some citizens against the presence of the company. Proximate was triggered due to unfinished socialization which involved no citizen. Trigger factors was triggered due to the emergence of land or land acquisition dispute. Conversion period, the root of the conflict, was caused by the violated pledge over 60% -70% employment absorption. It was as well driven by the replacement of labours with existing heavy equipments and then residents were one on one discharged. The conflict itself was triggered since some citizens had been expelled from the company and employed labours from other villages or outside the region. Post-conversion period, the root of the conflict, was caused due to environmental pollution, poverty and inequality. The supporting factor (Proximate) led to the decrease of CSR aid. Then, the conflict brought about (Trigger) because of the firing that led to death and pollution resulted in hundreds of dead river buffalo. These issues give the impact 1) poor Welfare 2) increasing Poverty and unemployment. 3) and inharmonious social life.

Kata Kunci : Kata Kunci: Konflik Sosial, Perkebunan Sawit, Analisis Konflik, Lahan Lebak.