Liberalisasi :: Ekonomi-politik perbankan masa orde baru

SUKARMAN, Widigdo, Promotor Prof.Dr. Ichlasul Amal

2003 | Disertasi | S3 Ilmu Politik

Studi tentang liberalisasi perbankan di masa Orde Baru, terutama Pakjun 1983 dan Pakto 1988, ini dimulai dengan asumsi bahwa proses liberalisasi itu merupakan salah satu akar penyebab krisis ekonomi yang dialami negeri ini sejak 1997 dan kemerosotan kapasitas pemerintah untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan. Mengingat bahwa pada dasawarsa 1980-an pemerintah Orde Baru berada dalam posisi kekuasaan politik yang sangat kuat tak tertandingi di dalam negeri, menarik untuk mendiskusikan mengapa pemerintah yang sekuat itu menerapkan kebijakan ekonomi yang memberi wewenang cukup besar pada mekanisme pasar, yang berpotensi menggerogoti wewenangnya. Dengan menerapkan pendekatan ekonomipolitik, studi ini mengajukan pertanyaan: Konteks politik internasional dan domestik apakah yang melingkupi dan mempengaruhi proses kebijakan liberalisasi perbankan tersebut? Apa dampak distributif kebijakan tersebut terhadap aktor-aktor ekonomi? Golongan mana yang diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan tersebut? Untuk memahami kebijakan liberalisasi perbankan itu, studi ini mengajukan argumen berikut: kebijakan itu mesti dilihat dalam konteks ekonomi-politik eksternalnya. Resesi 1980-an dan kemerosotan pendapatan negara dari ekspor minyak dan gas bumi memunculkan krisis fiskal. Krisis itu menghadirkan ancaman sekaligus peluang yang datang dari arena internasional. Salah satu ancaman itu adalah keengganan negara-negara donor untuk memberi pinjaman lunak. Dalam praktek mereka mendorong Indonesia memanfaatkan sumber dana dalam pasar finansial internasional yang semakin besar. Pasar internasional itu merupakan “peluang” untuk memperoleh sumber dana alternatif. Tanggapan pemerintah terhadap tantangan dan peluang itu, yang mencerminkan “ortodoksi” yang dominan waktu itu, yaitu paham anti-Keynesianism dan promonetarism, melahirkan usulan kebijakan yang diproses dengan mekanisme politik yang umumnya “otoriter”, tidak banyak bisa dipengaruhi oleh politisi di luar pemerintah. Melalui proses yang serba tertutup itu lahirlah berbagai paket kebijakan liberalisasi ekonomi. Proses pembuatan kebijakan itu berlangsung penuh kerahasiaan dan kejutan. Semua itu dibenarkan dengan alasan suasana psikologis “urgency,” “emergency” dan keterdesakan. Kebijakan perbankan yang liberal itu ternyata tidak dilengkapi dengan mekanisme pendisiplinan yang berwibawa. Prinsip kehati- hatian diabaikan. Akibatnya, kebijakan liberalisasi perbankan itu membuat ekonomi nasional rentan terhadap guncangan pasar finansial internasional yang memang pada dasarnya sangat “volatile”.

A study on banking liberalization in the New Order era, particularly the Pakjun 1983 and Pakto 1988, was initially assumed that the liberalization process is one of the roots of economic crisis that this country has undergone since 1997 and the decline of government ability to formulate and to apply policy. In the decade of 1980s, the New Order government was very powerful and had unchallenged political power position in the country. So it is interesting to analyze why that powerful government would apply economic policy that gave a great deal of power to market mechanism,which had the potential to undermine government’s influence. By applying political-economy approach, questions arise: In the contexts of international and domestic politics, what has influenced the process of banking liberalization? What is the impact of that distributive policy towards economic actors? Which group has been benefited and suffered a loss by that policy? To understand that banking liberalizaton policy, this study submits arguments as follow: that policy must be seen in the context of external political-economy. Recession of 1980s and the decline of the state’s income from oil and natural gas exports had provoked a fiscal crisis. That crisis brought a serious threats including an opportunity for those who came from international arena. One of threats was the reluctance of the international creditors to provide loan. In practice, they encourage Indonesia to make use of source of fund in the growing international financial market. International market is an “opportunity” to gain alternative source of fund. The government response to that challenge and opprtunity, which reflected a dominant “orthodoxy” at the time, ideologies of anti-Keynesinism and promonetarism, brought policy suggestion that had been processed with political mechanism which was generally “authoritarian”, there were not much could be influenced by politicians outside the government. With rigid process, various economic liberalization policy packages were promulgated. The process of policy making was carried out with secrecy and suprises. All that had been justified with the reason of psychological situation for “urgency”, “emergency” and pressure. In fact, that liberal banking policy was not equipped with highly- respected discipline mechanism. Prudential regulation were neglected. As a result, banking liberalization had weakened the national economy, and made it prone to shocks from international “volatile” financial market.

Kata Kunci : Liberalisasi Perbankan,Ekonomi Politik Orba,banking liberalization, Pakjun 1983, Pakto 1988