Dinamika hubungan Korea Selatan-Indonesia 1966-2000 :: Kajian tentang saling ketergantungan

YANG, Seung-Yoon, Promotor Prof.Dr. Ichlasul Amal, MA

2002 | Disertasi | S3 Ilmu Politik

Karya tulis ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertarna, bagaimana karakteristik hubungan antara Korea Selatan- Indonesia pada periode 1966-2000? Bidang-bidang apa saja yang diliputnya? Sejauh mana dan seberapa intens hubungan tersebut?; Kedua, Faktor-faktor apa yang menentukan perkembangan dinarnik hubungan tersebut?; Ketiga, masalah-masalah apa yang dihadapinya? Bagaimana masalah-rnasalah tersebut diatasi?; Keempaf, bagaimana prospek hubungan tersebut di masa depan? Apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan hubungan yang lebih baik di masa mendatang? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, diajukan kerangka berpikir yang dikernbangkan dalam ekonomi politik internasional, terutama konsep “saling ketergantungan horisontal.” Konsep ini menggambarkan saling ketergantungan horisontal sebagai suatu keadaan yang dua negara atau lebih saling bertukar pengaruh, yang bisa diukur berdasar indikator intensitas kontak bilateral, seperti perdagangan, investasi, hubungan finansial, transportasi, komunikasi, dan berbagai bentuk transaksi lain. Bagaimana dan mengapa saling ketergantungan itu terjadi? Pertama, saling ketergantungan terjadi sebagai akibat dari proses modernisasi sosial-ekonomi yang didukung oleh perkernbangan teknologi transportasi dan komunikasi. Kedua, proses itu dipermudah oleh meredanya konflik ideologis yang rnewarnai “Perang Dingin” dan berkembangnya sikap pragmatis dalarn pelaksanaan hubungan luar negeri berbagai negara. Berdasar kerangka pemikiran itu dan ternuan penelitian, disertasi mengajukan argumen sebagai berikut: Perfama, hubungan Korea Selatan-Indonesia dalam periode 1 966-2000 berkembang rnenjadi hubungan saling-ketergantungan. Kedua, hubungan sating-ketergantungan itu dipermudah oleh adanya peluang yang muncul dalarn konteks politik internasional, yaitu meredanya konflik ideologis antarnegara adidaya, dan dalam konteks politik dalam negeri tiap-tiap negara, yaitu berkembangnya pragmatisme dalarn politik luar negeri. Selarna hubungan antara kedua negara tidak melibatkan persoalan ideologis dan berpegang kuat pada tujuan pemenuhan kepentingan timbal-balik dan saling-rnenguntungkan, maka hubungan yang positif akan terus berkernbang di antara dua negara. Ketiga, hubungan yang positif dan saling-menguntungkan di antara Korea Selatan-Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan kedua bangsa untuk mengembangkan hubungan sosial-budaya yang sehat karena hubungan yang terlalu menekankan dimensi politik dan ekonorni teknis dan mengabaikan dimensi sosial-budaya ternyata rapuh.

This work seeks to answer the following questions: First, what is the nature of South Korea-Indonesia relations in the period of 1966-2000? What sectors are covered in the effort? What is the magnitude and intensity of the relations? Second, what are the factors determining its dynamics? Third, what problems are facing the process? How are the problems dealt with? Fourth, what is its future prospect? What is to be done to develop better relations in the future? A conceptual framework based on the international political economy, especially the "horizontal interdependence", is employed to answer the deal with the question. The concept depicts interdependence as a condition in which two or more nation-states are involved in such a relations so as to make them mutually vulnerable. A phenomenon that can be discerned by the indicators of bilateral contacts, such as international trade, investment, financial relations, transportation, communication and other forms of transactions. How and why does interdependence occur and evolve? First, interdependence is resulted from the greater process of social-economic modernization, which is made possible by the technological advances, such as in transportation and telecommunication. Second, it is also facilitated by the "detente" or the decrease of ideological conflict of the "Cold War" and the development of pragmatism in the foreign policy postures of many countries. On the basis of such conceptual framework and the research findings, this dissertation advances the following argument: First, the South Korea-Indonesia relations in the period of 1966-2000 developed into a "horizontal inter-dependence." Second, the interdependent relations is made easy by the opportunities accorded by the international political context of the time, i.e. the "detente" among the superpowers, and by the domestic political circumstances of both countries, i.e. the development of pragmatism in their foreign policy stances. To the extent that the relations do not impinge upon touchy issues, such as ideology, and focuses on the mutually beneficial issues, the prospect for constructive relations is great. Third, cordial and mutually beneficial relations between South Korea and Indonesia is contingent upon the ability and the commitment of the two nations to engage in healthy social-cultural contacts, since the relations that is dominated by political and economic interest and ignores the sociocultural dimensions proves to be fragile

Kata Kunci : Hubungan Korea Selatan dan Indonesia,1966,2000