Laporkan Masalah

Kebijakan Pengentasan Kemiskinan : Obat Atau Racun : Studi Tentang Bentuk Hegemoni Negara Dalam Implementasi Program Penangulangan Kemiskinan PNPM Mandiri Pedesaan di Mangir Kidul

MARDAYANTI, Rosita , Suparjan

2014 | Skripsi | Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (dh. Ilmu Sosiatri)

Kemiskinan, sebuah masalah yang tak pernah selesai dipermasalahkan hingga menciptakan sebuah masalah baru, ungkapan tersebut bisa jadi tidak berlebihan mengingat masalah ini tidak kunjung selesai. Kesadaran global tentang kemiskinan muncul sejak tahun 1990an sebagai respon terhadap memburuknya situasi kemiskinan didunia pada dekade 1980an dan 1990an yang dikatakan sebagai dekade-dekade yang hilang (the lost decades). Kemiskinan memang merupakan sebuah konsep abstrak yang dapat dijelaskan secara berbeda tergantung dari pengalaman, perspektif, sudut pandang yang diambil, atau ideologi yang dianut. Pada dekade-dekade tersebut rata-rata negara berkembang mengalami situasi kemiskinan yang lebih memburuk, dalam hal indikator kesehatan dan pendidikan dasar, angka perbaikan dirata-rata negara berkembang mengalami perlambatan antara dekade 1980an dan 1990an dibanding antara dekade 1960an dan 1970an, dan kesenjangan distribusi pendapatan dunia melebar secara tajam sejak tahun 1978 (Islam, 2002:4). Di Indonesia sendiri jika bicara masalah kemiskinan kita akan kembali lagi melihat berbagai upaya yang dilakukan Indonesia sejak masa kemerdekaannya, baik upaya secara langsung ataupun tak langsung untuk menangulangi kemiskinan. Sejumlah rencana pembangunan pernah dicanangkan, kebijakan pembangunan di Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan, mengalami pergeseran paradigma dari masa ke masa. Konsep pertumbuhan yang menjadi ujung tombak Orde Baru kini telah digantikan dengan konsep 10 pemberdayaan. Pergeseran kebijakan pembangunan ini didukung oleh fenomena kemiskinan yang terus bermunculan di negeri ini. Pengangkatan isu kemiskinan kedalam pembangunan, disuarakan ketika IDT (Impres Desa Tertinggal) diterbitkan pada era Orde Baru (Adiyoso, Wignyo. 2009 ). Setelah program IDT diimplementasikan selama dua tahun dan dianggap sebagai program yang cukup berhasil, kemudian pemerintah mengeluarkan proyek pembangunan sarana dan prasarana desa yang lebih dikenal dengan P3DT (Program Pembangunan Prasarana dan Sarana DesaTertinggal). P3DT ini lebih fokus pada pembangunan sarana prasarana/infrasturktur serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Adiyoso, Wignyo. 2009 ). Perkembangan, dari kedua program ini (IDT dan P3DT) disempurnakan menjadi PPK (Program Pengembangan Kecamatan, 1998) yang terbagi dalam tiga fase, yaitu fase pertama pada tahun 1998/1999- 2002 (transisi dari Orde Baru ke Reformasi), fase kedua dimulai pada periode 2003-2006, lalu fase ketiga pada tahun 2006 dan kemudian diintegrasikan dalam PNPM Mandiri pada tahun 2007 (PNPM-PPK). Tujuan dari adanya program PPK yang diintegrasikan dengan PNPM Mandiri ini adalah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pelestarian pembangunan (Adiyoso, Wignyo. 2009 ). PNPM Mandiri memang baru diimplementasikan pada tahun 2006 dan dijadikan sebagai program nasional pembangunan masyarakat. Program ini didesain oleh pemerintah sebagai upaya penyelesaian masalah kemiskinan dan 11 bentuk respon atas MDGs (Millenium Development Goals) merupakan hasil dari Deklarasi Johannesberg (PBB) yang memiliki delapan tujuan disertai target dan indikator. MDGs (agenda 21) berlaku bagi negara maju maupun berkembang dengan jangka waktu pencapaian target tahun 2015. PNPM Mandiri yang dibawahi oleh Departemen Dalam Negeri ini memiliki dua program inti, yakni PNPM Mandiri Perkotaan dan PNPM Mandiri Perdesaan. PNPM Mandiri Perkotaan dan Perdesaan diimplementasikan berdasarkan kondisi setiap kabupaten dan kecamatan setiap daerah. Kedua program inti PNPM Mandiri ini dibedakan tidak hanya dari implementasi berdasarkan wilayah (desa dan kota), namun juga proses perencanaan program dan pengambilan keputusan yang disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. PNPM Mandiri ini memiliki ciri yang berbeda dengan program penanggulangan kemiskinan yang lain, inilah tiga ciri utama dari program tersebut adalah partisipasi masyarakat, penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan pemberian BLM (Bantuan Langsung Masyarakat). Penekanan dari program PNPM Mandiri ini adalah penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat melalui pendekatan partisipasi dan swakelola bantuan langsung masyarakat (BLM) agar tercipta pola keajegan yang berujung pada keberlanjutan. Selain itu PNPM MPd mengedepankan konsep tridaya yang terdiri dari pembangunan infrastruktur, bidang sosial, dan ekonomi dimana dimasukkan dalam tiga program utama dengan skala prioritas tertentu. Pembangunan sarana prasarana/infrastruktur 12 mendapat prioritas 70% untuk didanai dan diimplementasikan, sedangkan PKH dan SPP hanya 30%. Kegiatan PKH (Peningkatan Kualitas Hidup) terdiri dari bidang pendidikan yang terfokus pada pendidikan anak usia dini dan kesehatan masyarakat untuk balita dan lansia. Sektor ekonomi yang dikembangkan melalui Simpan Pinjam Perempuan (SPP) ini memberikan peluang dan akses bagi perempuan untuk ikut andil dalam program pemberdayaan ini. Sayangnya kemiskinan memang tidak dapat terdefinisikan dengan baik, tergantung siapa yang memaknai kemiskinan itu sendiri. Jika mengingat kurun waktu pengimplementasian progam, kelembagaan PNPM Mandiri Perdesaan yang selama ini dikembangkan seharusnya sudah mampu mengantar masyarakat pada kemandirian dan keberlanjutan mengingat upaya yang dilakukan dalam menyiapakan masyarakat yang terdiri dari tiga tahapan strategi operasional terdiri dari tahap pembelajaran, tahap kemandirian, dan tahap keberlanjutan. Deretan angka yang menunjukkan jumlah penduduk miskin masih saja berjejer dengan rapi, tercatat pada tahun 2012, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin, baik di desa maupun kota mencapai 28 juta lebih atau sekitar 11, 66% di seluruh Indonesia (BPS, 2013) . Hal ini dipicu oleh angka kemiskinan yang selalu mendekati angka inflasi setiap tahunnya. Di Yogyakarta sendiri tercatat jumlah penduduk miskin di area pedesaan yang masih 13 berkisar 21, 29% (BPS, 2012) sehingga PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM MPd) di wilayah DIY difokuskan untuk mengurangi jumlah tersebut. Garis besar pelaksanaan PNPM Perdesaan itu sendiri terbagi dalam enam regional, untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri masuk ke dalam regional ke-IV dengan 4 kabupaten dan 36 kecamatan. Jika dibandingkan dengan propinsi lain di regional empat, DIY memiliki kebupaten dan kecamatan paling sedikit sehingga dalam pelaksanaannya tidak serumit propinsi lain. Di Kabupaten Bantul sendiri, PNPM Mandiri telah diimplementasikan sejak tahun 2006 (masa transisi dari PPK menuju PNPM MPd). Pada tahun itu, PNPM Mandiri difokuskan pada rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi pada 27 Mei 2006, namun angka kemiskinan masih saja pada kisaran yang tinggi. Kemiskinan memang bukan saja masalah angka-angka, namun merupakan masalah yang kompleks yang juga menuntut penanganan yang serius. Masalah kemiskinan tidak dapat direduksi secara sederhana sebagai masalah kurangnya pendapatan, dan diberi solusi sederhana, misalnya dengan memperluas kesempatan, kemiskinan juga dapat mengambil bentuk lain, seperti lemahnya kapasitas, lemahnya kelembagaan,kerentanan dan lemanya suara. Kelima bentuk kemiskinan tadi saling berhubungan dan merupakan suatu sistem kemiskinan. Artinya masing-masing bentuk kemiskinan dapat melekat pada orang yang sama atau berbeda. Dapat juga dijelaskan adanya hubungan ketergantungan antara kelimanya. Artinya masing-masing kelima bentuk atau elemen, secara sendiri-sendiri atau 14 secara bersama-sama dapat menjadi sebab atau akibat dari lainnya. Pendapatan yang rendah menjadi penyebab dari lemahnya kapabilitas, sebaliknya lemahnya kapabilitas menjadi sebab tidak mampunya orang untuk memperoleh atau meningkatkan pendapatan. Rendahnya pendapatan dan kapabilitas terjadi karena tidak adanya dukungan kelembagaan yang dapat melindungi dan memfasilitasi orang miskin. Sebaliknya orang miskin yang rendah pendapatannya dan mempunyai kapabilitas yang terbatas tidak mampu mengambangkan institusi yang kuat bagi kemajuan mereka. Karena absennya ketiga hal tersebut seseorang atau suatu masyarakat menjadi rentan. Sebaliknya ketiga faktor tersebut terjadi karena seseorang atau suatu keluarga, atau masyarakat berada dalam posisi/ kondisi rentan baik dalam arti alam, (hidup dalam daerah terpencil atau tandus), biologis (cacat fisik, jompo, gangguan mental), atau sosial (mengalami marginalisasi sosial karena latar belakang etnisitas, agama, dll) kombinasi dari keempatnya menjadi sebab dari lemahnya suara atau representasi politik, dimana masyarakat yang berpeghasilan rendah, kapabilitas terbatas, tidak didukung institusi yang kuat, dan berada dalam kondisi yang rentan cenderung mempunyai akses yang rendah untuk menyuarakan kepentingannya atau terlibat dalam proses politik. Fenomena kemiskinan yang sistemik tersebut terjadi karena kedua faktor yang juga saling mempengaruhi, yaitu struktur sosial dan kultur sosial. Artinya didalam masyarakat dapat terbangun suatu struktur yang menempatkan sebagian anggotanya pada situasi miskin dalam artian tersebut, dan sulit keluar dari kondisi 15 tersebut karena belenggu struktur yang ada. Termasuk dalam pengertian struktur adalah sistem pasar yang dikuasai kaum pemodal, struktur sosial feodalistik yang cenderung memarginalkan kelompok masyarakat lapisan bawah, atau kebijakan publik yang tidak berpihak pada kelompok miskin. Disinilah PNPM Mandiri Perdesaan, hadir merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan PNPM Mandiri dalam upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan. Program ini dilakukan untuk lebih mendorong upaya peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat di pedesaan. PNPM Mandiri Perdesaan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari PNPM Mandiri dan telah dilakukan sejak 1998 melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Jelas bahwasanya PNPM Mandiri bukan merupakan barang baru sebagai alteratif kebijakan penangulangan kemiskinan, hanya saja pada pelaksanaannya program ini banyak disoroti dan mendapatkan tempat. Bukan saja karena mamang tujuan programnya yang bagus, namun karena arah kebijakannya yang bersifat top-down dan dijadikan program nasional sehingga memang program ini dilakukan diseluruh profinsi di Indonesia. Jelas bahwa potensi yang dimiliki dimasing-masing darah berbeda. Sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumberdaya sosial (lokalitas, modal sosial) masyarakat berbeda. Yang bisa jadi tidak cocok dengan arah program nasional tersebut. 16 Namun yang terjadi dalam teori hegemoni Gramsci Negara menjadi mekanisme untuk melakukan ini: kebijakan dihasilkan dan ditegakkan untuk memungkinkan kelompok hegemonik mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan menciptakan simetri antara tujuannya dan tujuan kelompok-kelompok lainnya. Meskipun tujuan-tujuan ini diformulasikan dengan pemikiran untuk memajukan kepentingan satu kelompok, walau demikian tujuan-tujuan tersebut harus dialami oleh penduduk sebagai kepentingan semua orang. Agar ini berjalan efektif, kelompok hegemonik harus memiliki suatu bentuk tertentu dalam menangani kepentingan kelas-kelas yang tersubordinasi. Singkatnya, Hegemoni satu kelompok terhadap kelompok lain bukan berdasarkan paksaan, tapi melalui konsensus. Dia juga mengatakan bahwa secara esensial hegemoni bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi relasi kesepemahaman antara negara dan masyarakat dengan menggunakan politik dan idiologi (Simon, 1999; Soetomo 1997). Dalam teori Hegemoni Gramsci tidak ada dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya namun lebih ditentukan karena adanya relasi kesepahaman antara kelompok yang menghegemoni dan yang terhegemoni. Lantas masyarakat mengikuti begitu saja, tanpa merasa bahwa yang mereka lakukan ini bukan merupakan sebuah paksaan, masyarakat menikmati program yang ada karena merasa kepentingannya dalam menyelesaikan masalah kemiskinan terakomodir. Dalam banyak hal hasil dari kebijakan akan melahirkan program-program pembangunan dirancang dari atas, masyarakat cenderung hanya berperan dalam 17 pelaksanaannya saja, tidak dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Instrumen yang dibangun biasanya dibuat secara seragam untuk mendukung pendekatan ini. Kemudian yang sering terjadi instrumen ini justru mematikan, atau paling tidak mengabaikan peranan institusi lokal yang sebenarnya merupakan sebagian dari energi sosial (Sunartiningsih, 2004). Pendekatan pembangunan yang demikian ini tanpa disadari oleh masyarakat sendiri akan menghasilkan sifat ketergantungan bagi sebagian besar masyarakat desa. Di desa Sendangsari yang peneliti gunakan sebagai lokasi penelitian sendiri melaksanakan program PNPM Mandiri pedesaan sejak tahun 2006 jumlah penduduk miskin menurut data BPS di Kelurahan Sendang sari mencapai 1.749 KK dari jumlah KK keselurahan 3.190 KK. Dan di dusun Mangir sendiri dari 150 KK, 58 KK termasuk dalam keompok masyarakat miskin. Jika program-program pemerintah didasarkan pada kekayaan lokalitas masyarakat maka masyarakat mampu mencapai kemandiriannya, karena selama ini yang terjadi dalam upaya pembangunan memisahkan pembangunan ekonomi dari pembangunan sosial. Proses penghegemonian negara terhadap program pengentasan kemiskinan ini memang menyisakan persoalan di level lokal. Dalam implemetasinya terhadap beberapa program mensyaratkan terbentuknya institusi baru, bukan di dasarkan pada institusi yang sudah ada, hal inilah yang kemudian ditakutkan akan merusak lokalitas yang sudah ada. Dalam program SPP yang menjadi bagian dari PNPM Mandiri misalnya saja, mensyaratkan, penerima program adalah kelompok perempuan dari keluarga miskin. Ini jelas bahwasannya dalam pelaksanaan 18 programnya akan membentuk kelompok baru, bukan berdasarkan institusi lokal yang ada. Institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat (Esman dan Uphoff, 1982:9), seperti rukun tetangga, arisan, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya. Yang jelas institusi ini memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang-menyilang (cross-cutting affiliation) dan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/ individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki pada posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (sosial capital). Namun yang terjadi peran negara untuk tampil dan menentukan arah kebijakan yang menghegemoni dalam program pengentasan kemiskinan ini sering mengesampingkan atau mematikan institusi lokal yang ada, yang sebenarnya merupakan bagian dari energi sosial.

Kata Kunci : Kemiskinan


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.