Laporkan Masalah

Penerapan Collective Disengagement Dalam Deklarasi Definitive Ceasefire ETA Pada 20 Oktober 2011

SANDRINA, Arin, Samsu Rizal Panggabean

2012 | Skripsi | Ilmu Hubungan Internasional

Keberadaan nationalist-separatist terrorists sangat bergantung pada dukungan masyarakat. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tujuan politik dan teritori sebuah kelompok nationalist-separatist terrorist membentuk dukungan masyarakat lokal. Hal ini menyebabkan kelompok terorisme yang bergerak atas motivasi etnonasionalisme/nasionalisme-separatisme memiliki jangka hidup yang paling lama. Oleh karena itu, menurunnya dukungan masyarakat lokal akan sangat mempengaruhi eksistensi dari sebuah nationalistseparatist terrorist. Dalam kasus ETA, yang menyebabkan ETA memutuskan untuk mendeklarasikan definitive ceasefire dapat dijelaskan dengan kerangka collective disengagement yang meliputi menurunnya dukungan masyarakat dan transisi politik di tingkat elit. Dengan mengadaptasi konsep Bjorgo (2005) dalam memahami proses berubahnya kelompok nationalist-separatist menjadi organisasi nationalist-separatist terrorism, penulis merumuskan prasyarat (preconditions) dan pemicu (precipitant) sebuah organisasi nationalist-separatist terrorism tidak lagi melakukan tindakan terorisme. Prasyarat dari keputusan ETA untuk tidak lagi melakukan tindakan kekerasan dan mendeklarasikan definitive ceasefire meliputi (1) adanya apatisme masyarakat terhadap keberadaan ETA, (2) irrelevansi isu yang diperjuangkan, (3) penurunan dukungan masyarakat akibat penggunaan kekerasan, (4) kontraterorisme dan transisi politik di tingkat elit, serta (5) signifikansi gencatan senjata yang terjadi sebelum deklarasi definitive ceasefire. Adapun pemicu dari deklarasi definitive ceasefire adalah berlangsungnya Donostia-San Sebastian International Peace Conference tiga hari sebelum deklarasi. Adanya apatisme dari masyarakat terhadap keberadaan ETA timbul karena adanya pergeseran aspirasi. Kebutuhan ekonomi menjadi alasan paling kuat untuk mengalihkan aspirasi masyarakat dari tujuan politis, termasuk perjuangan kemerdekaan Basque. Terkait dengan adanya pergeseran aspirasi masyarakat, irrelevansi isu yang diperjuangkan selama ini juga menyumbang penurunan dukungan masyarakat terhadap ETA. Desentralisasi Komunitas Otonomi Basque telah menciptakan kondisi yang selama ini diperjuangkan oleh mayoritas masyarakat Basque, yaitu kebebasan mengatur dirinya sendiri serta kebebasan menggunakan Bahasa Basque dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tidak adanya definisi teritori yang jelas dalam tuntutan kemerdekaan Basque, hal tersebut hanya menambah apatisme masyarakat terhadap perjuangan kemerdekaan Basque. Dengan terpenuhinya tuntutan mayoritas masyarakat Basque melalui kebijakan desentralisasi, perjuangan kemerdekaan menjadi tidak lagi relevan dan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan tersebut hanya menambah rasa tidak simpatik masyarakat terhadap Basque. Berbagai demonstrasi banyak dilakukan masyarakat untuk mengutuk tindakan kekerasan dan terorisme yang dilakukan oleh ETA. Jika tiga alasan yang telah disebutkan sebelumnya merupakan faktorfaktor yang timbul dari masyarakat umum dan konstituen, maka faktor berikutnya merujuk pada fungsi pemerintah dalam menekan penggunaan kekerasan dan terorisme dalam aksi-aksi ETA. Kontraterorisme yang dilakukan atas dasar hukum yang jelas ternyata mampu melemahkan keberadaan organisasi nationalist-separatist terrorism secara sistemik. Pelarangan partai politik yang terbukti mempunyai hubungan, baik politis maupun ekonomi, dengan ETA mampu menurunkan kemampuan ETA untuk menyokong keberadaannya sendiri. Selain itu, transisi politik di tingkat elit, baik nasional maupun regional, mampu menciptakan terobosan pendekatan yang selama ini tidak diimplementasikan oleh pemerintahan sebelumnya. Pendekatan-pendekatan tersebut terbukti mampu menjadi katalisator untuk bernegosiasi. Gencatan senjata yang dideklarasikan sebelum definitive ceasefire juga memainkan peran penting dalam hal ini. Dari sekian gencatan senjata yang pernah dideklarasikan oleh ETA, gencatan senjata pada 5 September 2010, walaupun pada awalnya ditanggapi skeptis oleh Pemerintah Spanyol, mampu menjamin tidak adanya korban jiwa selama dua tahun terakhir. Hal tersebut terbukti menimbulkan kepercayaan masyarakat dan pemerintah terhadap komitmen ETA terhadap upaya penghentian tindakan terorisme. Terakhir, upaya negosiasi dalam kerangka Donostia-San Sebastian International Peace Conference yang berlangsung pada 17 Oktober 2011 mampu menciptakan tuntutan terhadap ETA dan menjadi pemicu dideklarasikannya definitive ceasefire pada 20 Oktober 2011. Negosiasi menjadi sangat krusial dalam konteks ini, mengingat bahwa perundingan perdamaian mampu menciptakan kondisi, baik positif maupun negatif, bagi organisasi nationalistseparatist terrorism untuk melanjutkan ataupun menghentikan tindakan terorisnya. Dari penjelasan di atas, definitive ceasefire menjadi kongruen dengan collective disengagement karena dua faktor penyebab lepasnya sebuah kelompok dari tindakan terorisme terbukti pada kasus ETA. Menurunnya dukungan masyarakat dan adanya transisi politik yang legitimate di tingkat elit menjadi dua alasan utama ETA memutuskan untuk mendeklarasikan definitive ceasefire. Merujuk pada konsep yang diadaptasi dari Horgan (2008), faktor-faktor yang menyebabkab ETA mendeklarasikan definitive ceasefire keseluruhannya merupakan faktor involuntary. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan kembali merujuk pada keberadaan ETA sebagai organisasi nationalist-separatist terrorism yang bergantung pada dukungan masyarakat umum dan konstituennya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa organisasi nationalist-separatist terrorism menjadi sangat rentan dan sensitif terhadap segala bentuk respon dari masyarakat umum dan konstituennya. Deklarasi definitive ceasefire ETA juga menunjukkan bagaimana tekanan dari grass root yang bersifat psychological dan dikombinasikan dengan tekanan elit yang bersifat physical mampu menciptakan konsekuensi logis bagi ETA untuk secara kolektif menghentikan tindakan armed struggle. Walaupun begitu, salah satu prasyarat yang diajukan Cronin tidak berlaku dalam studi kasus ETA. Dalam studi kasus ini, tidak ada suatu perbaikan keadaan, baik keadaan sosial maupun ekonomi yang terbukti mampu menggeser aspirasi dan dukungan masyarakat terhadap ETA. Hal tersebut disebabkan oleh fakta bahwa keadaan ekonomi Basque jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi Spanyol secara keseluruhan. Permasalahan krisis ekonomi dan finansial yang melanda Eropa memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap Spanyol yang pemasukan nasionalnya di dominasi dari sektor jasa, terutama pariwisata. Sedangkan Komunitas Otonomi Basque mempunya fondasi ekonomi yang jauh lebih kuat karena ditopang oleh kegiatan industri dan manufaktur. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sebagai organisasi nationalistseparatis terrorism ETA menjadi sangat rentan dan sensitif terhadap segala bentuk respon masyarakat dan konstituennya. Akan tetapi, sebenarnya kecenderungan menurunnya dukungan masyarakat sudah terlihat sejak diberlakukannya Statuta Otonomi Basque sejak 1979. Statuta 1979 menciptakan keleluasaan bagi Komunitas Otonomi Basque untuk mengatur dirinya sendiri dalam kerangka teritori Spanyol. Hal tersebut menciptakan status quo bagi mayoritas masyarakat Basque sehingga dukungan terhadap kekerasan pun tergerus. Selain itu, konteks politik pasca-Franco telah menciptakan kebebasan bagi Basque terhadap upaya pelestarian budaya dan bahasanya. Hal tersebut, bersama dengan fakta bahwa tidak ada kesenjangan ekonomi dan definisi teritori yang kabur menciptakan sebuah kondisi yang membuat nasionalisme Basque sudah tidak lagi relevan untuk diperjuangkan. Kondisi tersebut membuat ETA sebenarnya tidak lagi memiliki dasar yang kuat dalam melakukan aksi terorismenya. Pihak yang harus dilawan bukanlah lagi rezim Franco yang merampas kebebasan bahasa dan budaya Basque. Spanyol yang demokratis – pasca-kematian Franco– menjadikan Basque sebagai daerah otonomi. Sehingga perlawanan yang selama ini dilakukan ETA pasca-rezim Franco hanyalah bentuk perlawanan yang gamang. Alasan ETA untuk tetap melakukan tindakan terorisme adalah sebagai akibat dari spiral kekerasan yang timbul karena kebijakan kontraterorisme yang salah sasaran. Walaupun begitu, diperlukan waktu hampir 40 tahun bagi ETA dan berbagai prasyarat, termasuk tekanan dari grass root maupun dari elit, serta sebuah negosiasi untuk menjadi pemantik untuk akhirnya memutuskan untuk menghentikan segala tindakan terorismenya.

Kata Kunci : Konflik Eropa


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.