Laporkan Masalah

Politik Representasi Serikat Pekerja Pasca Reformasi (SP-BUN PT. Madu Baru dalam Memperjuangkan Kepentingan Pekerja di PT. Madu Baru Yogyakarta)

DEWI, Melinda Paramitha Kusuma, Longgina Novadona Bayo

2012 | Skripsi | Politik dan Pemerintahan (dh. Ilmu Pemerintahan)

Politik representasi yang dilakukan oleh Serikat Pekerja (SP) sebagai mediator menjadi kajian yang menarik dan belum banyak diteliti terutama pasca perubahan paradigma hubungan industrial di era Reformasi yang mengubah Single Union menjadi Multi Union. Penelitian ini mengambil studi kasus pada SP-BUN PT. Madu Baru dalam memperjuangkan kepentingan para pekerjanya yang berjumlah kurang lebih 2000 orang. Penulis dalam hal ini akan mengunakan teori Kapitaliseme Ersatz (Yoshinara Kunio), teori politik representasi (Hanna Pitkin), tipe representator (Dickerson dan Flanagan), dan tipologi Serikat Pekerja (Vedi Hadiz), serta teori hukum Besi Oligarki (Robert Michel). Beberapa teori diatas berkesinambungan dan mampu menjawab mengenai praktek Politik Representasi SP-BUN-PT Madu Baru. Kapitalisme yang berkembang di Asia Tenggara mempengaruhi gerakan buruh yang bertransformasi dari politik akomodasi menjadi politik representasi. Politik representasi substantif diyakini sebagai cara yang paling cocok dan tepat bagi SP dalam melaksanakan tugasnya ditengah dominasi perusahaan yang menerapkan hukum besinya untuk terus memperoleh keuntungan dan menindas bahkan merampas hak-hak pekerja. Sebagai sebuah mediator, SP-BUN PT. Madu Baru memainkan dua peranan sebagai mediator internal dan eksternal perusahaan. SP-BUN PT. Madu Baru sebagai mediator internal akan berhadapan dengan pihak manajemen PT. Madu Baru, PT. RNI, dan GSP PT. RNI. Sementara sebagai mediator eksternal, SP-BUN PT. Madu Baru akan berhadapan dan menjalin relasi dengan SP lainnya seperti SPSI dan pemerintah lokal (disnaker Bantul). Respon-respon yang ditunjukkan SP-BUN PT. Madu Baru ini dapat menjadi potret nyata bagaimana praktek politik representasi pekerja di SP-BUN PT. Madu Baru. Sepuluh kasus akan dipaparkan dalam Penulisan ini untuk kemudian ditarik sebuah kesimpulan apakah SP-BUN PT. Madu Baru sudah benar-benar memperjuangkan kepentingan para pekerja secara substantif. Ternyata dalam praktiknya, SP-BUN PT. Madu Baru ini menunjukkan strategi yang berbeda saat menjadi mediator internal dan eksternal. Saat menjadi mediator internal, SP ini sangat aktif menjalin komunikasi dengan pihak manajemen dan sangat responsif dengan isu-isu yang berbau materi dan simbolisasi seperti upah minimum, penentuan besaran jasa produksi, dan seragam bagi para pekerja. Namun, kasus-kasus seperti kesepakatan penghapusan aksi mogok kerja, nasib PKWT, suara minoritas ternyata justru gagal dikawal oleh SP ini. Mengalah dan menerima menjadi bentuk nyata perwujudan sikap SP-BUN PT. Madu Baru dengan pihak manajemen. Sementara disisi lain saat menjadi mediator eksternal, SP-BUN PT. Madu Baru justru cukup menjaga jarak dengan SPSI dan Disnaker Bantul. SP ini tidak tergabung dengan SP lainnya karena instruksi dari GSP PT. RNI yang melarangnya. Hal tersebut juga ditunjukkan saat penentuan besaran UMK (Upah Minimum Kabupaten) di Disnaker Bantul karena merasa dirinya telah aman memiliki upah diatas UMP. Berbagai fakta temuan di lapangan tersebut setelah dianalisis ternyata menunjukkan suatu korelasi bahwa para mandate di SP-BUN PT. Madu Baru yang bertipe Korporatis Reformis ini justru menerapkan representasi simbolik dan gagal mempraktekkan representasi substantif. Kebebasan berserikat yang diberikan Pemerintah ternyata tidak dapat memberi banyak perubahan dalam gerakan buruh pasca era reformasi di PT. Madu Baru.

Kata Kunci : Sumber Daya Manusia; Pekerja


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.