SETELAH 5,9 Studi Kasus Pembuatan “5,9 Scala Richter Video Project” Dalam Situasi Krisis Pasca Bencana Gempa Bumi di Jogja
Asa Rahmana, Budhy Komarul Zaman
2009 | Skripsi | Ilmu KomunikasiSebagai sebuah video project, 5,9 SRVP berlangsung dalam kondisi yang tidak normal, oleh karena itu proyek ini juga menggunakan metodemetode yang tidak baku. Hal ini dapat diamati mulai dari perencanaan, pendanaan, struktur organisasi, pola kerja, hingga model produksi yang berada di luar standar umum. Semua ini, baik disengaja maupun tidak, merupakan suatu langkah strategis yang dilakukan untuk mengakali situasi krisis pasca gempa ketika proyek ini diadakan. Dalam strategi tersebut, keterbatasan demi keterbatasan justru coba untuk disikapi sebagai sebuah treatment yang kemudian membawa 5,9 SRVP pada cara-cara yang lebih kompromis dibandingkan dengan cara-cara konvensional. Dilihat dari proses awalnya, maka perencanaan project ini sebenarnya masih jauh dari matang. Seperti apa video project ini akan dilangsungkan hanya berupa gambaran sebatas wacana tanpa diaplikasikan ke dalam metode pembuatan participatory video project yang baik. Jelas ini merupakan sebuah kekurangan, dan jelas pula hal ini disebabkan oleh adanya keterbatasanketerbatasan dari pihak penyelenggara, yang tentu saja juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada saat itu. Krisis yang ditimbulkan oleh bencana gempa bumi belum berakhir sementara video project ini harus segera dilaksanakan, mereka berpacu dengan waktu. Namun demikian, melihat bagaimana semangat yang mereka miliki untuk tetap melangsungkan proyek ini, dapat disimpulkan bahwa 5,9 SRVP ini terbangun dari motif-motif yang sifatnya sosial. Sebagaimana ditekankan pada awal proyek, benar adanya bahwa proyek ini dimaksudkan untuk mengajak para pesertanya memberikan sumbangsih dan bantuan kepada masyarakat sesuai dengan kapabilitas dan skill yang mereka miliki. Hal ini dapat memaksimalkan peran masing-masing individu baik di dalam kelompok maupun di dalam masyarakat. Pada kasus 5,9 SRVP, para pelaku yang terlibat dapat memainkan peran mereka selaku seniman dan filmmaker untuk membantu dan menunjukkan kepeduliannya kepada masyarakat. Maka dari itu, dalam 5,9 SRVP, tingkat kompromi yang tinggi dalam proses yang berlangsung sebenarnya juga merupakan bentuk apologi dari penyimpangan-penyimpangan yang ada. Indikasi tersebut di lain pihak merefleksikan sebuah kebijaksanaan lokal masyarakat Jawa untuk lebih berpasrah diri, atau dengan kata lain tidak ngoyo, atau sebisanya dalam melakukan sesuatu. Sebagai sebuah respon, maka proyek ini juga memunculkan karakter lokal pada sudut pandangnya terhadap bencana gempa bumi. Hal ini bisa kita temui pada video-videonya yang sarat dengan humor atau gojek ala Jogja, yang dengan cerdas mengajak audiens untuk menyikapi bencana dengan lebih positif. Dengan kata lain, latar belakang para pelaku sebagai bagian dari masyarakat Jogja telah mempengaruhi sikap dan cara pandang mereka. Sebagai sebuah participatory project, maka keterlibatan partisipan sangat diutamakan. Daripada mementingkan hal-hal teknis, workshop yang diadakan justru lebih memberikan penekanan terhadap isu bencana gempa bumi yang ingin mereka bawa. Dalam hal ini, para partisipan diajak duduk bersama, membangun visi, sekaligus situasi yang kondusif untuk berkarya. Sambil tentu saja menggali lebih dalam tema-tema tentang gempa bumi dengan sudut pandang mereka sendiri. Proses ini berlangsung sangat komunal, yang mana kekomunalan tersebut tetap terbawa hingga ke tahap kerja produksi video. Pada sisi lain, project ini menunjukkan bahwasanya terdapat cara-cara lain yang lebih bersifat komunal dalam menggarap sebuah proyek video, dimana dengan bermodalkan relasi, tanpa hirarki struktural organisasi yang tegas, dan pembagian kerja yang jelas project ini tetap dapat berjalan. Pun dalam hal pendanaan, project ini menggunakan cara-cara serupa, dimana ketiadaan budget dan sponsor mereka siasati dengan pendayagunaan modal-modal sosial yang lebih maksimal. Seperti terlihat dari sistem urunan dan pengusahaan alat dari peserta dan relasi lainnya. Sekalipun belum final dan masih berada dalam tahap trial and error, namun metode-metode tersebut telah melahirkan wacana baru dalam manajemen proyek dan produksi video yang lebih kompromis terhadap situasi dan kondisi lingkungan. Pada dasarnya hal ini juga dapat diterapkan dalam proyek-proyek video berskala kecil yang melibatkan komunitas seperti halnya 5,9 Scala Richter Video Project. Adapun kesimpulan dari penelitian ini terangkum pada poin-poin berikut ini: 1. Sebagai sebuah participatory video project yang dibuat pada masa krisis, 5,9 SRVP menyikapi situasi dengan menggunakan cara-cara yang lebih kompromis dan komunal daripada cara-cara konvensional. 2. Perencanaan 5,9 SRVP yang tidak matang akibat keterbatasan pihak penyelenggara dan kondisi pada saat itu, merupakan sumber permasalahan utama yang menimbulkan banyak kekurangan dalam project ini. 3. Tingkat kompromi yang tinggi merupakan bentuk apologi dari kekurangan-kekurangan dalam project ini, yang secara tidak langsung juga merefleksikan sebuah kearifan lokal (Jawa) untuk pasrah, atau dengan kata lain tidak ngoyo dalam melakukan sesuatu. 4. Daripada mementingkan hal-hal teknis video, 5,9 SRVP justru lebih memberikan penekanan terhadap isu bencana gempa bumi yang ingin disuarakan melalui media video. 5. Bahwa 5,9 SRVP bersifat sangat komunal dan dibuat dengan mengandalkan modal sosial.
Kata Kunci : Sinematography