Penghapusan Rukun Warga dan Implikasinya Terhadap Civil Society di Kabupaten Bantul
ASMARA, Dwi Wirawan, Wirawan Dwi Asmara
2007 | Skripsi | Politik dan Pemerintahan (dh. Ilmu Pemerintahan)Masyarakat Indonesia sudah sangat familiar dengan istilah lembaga Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW) dalam kehidupan masyarakat di lingkungan tempat tinggal. RT – RW merupakan sebuah lembaga sosial yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang di Indonesia dengan mengadopsi sistem kekerabatan yang ada di Jepang yang bernama Tonarigumi dan Azazyookai. Pada awalnya pembentukan lembaga ini hanya terjadi di daerah Kasultanan Yogyakarta. Setelah kemerdekaan keberadaannya masih tetap dipertahankan dengan alasan bahwa dengan adanya lembaga ini pemerintah, khususnya Pamong Praja, merasa terbantu dalam hal pelaksanaan tugas-tugas birokratis. Pada masa Orde Lama lembaga ini dikukuhkan sebagai organisasi masyarakat yang berasaskan gotong royong dan bertujuan mencapai kesejahteraan di bidang sosial, kemakmuran dan keamanan lingkungan, serta bersifat non-politis dan bukan merupakan tingkatan atau alat pemerintah. Artinya, lembaga ini merupakan organisasi warga dimana di dalamnya terdapat nilai- nilai kemandirian, otonomi, wahana bagi masyarakat untuk berpartisipasi, kebebasan untuk berpendapat dalam sebuah musyawarah, serta melalui ketua RT / RW mereka dapat mengakses negara. Hal ini merupakan tunas-tunas dari civil society di Indonesia. Kemampuan memobilisasi warga yang dimiliki oleh RT – RW dimanfaatkan oleh penguasa Orde Baru untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasannya dengan menjadikannya sebagai salah satu agen korporasi negara dan memberlakukannya secara nasional. Hal ini membuat fungsi- fungsi civil society digantikan oleh tugas-tugas sebagai aparat. Dan ketika reformasi bergulir yang memungkinkan organisasi tersebut kembali pada fungsinya semula, pemerintah kabupaten Bantul mengeluarkan lembaga RW dari susunan Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). Penelitian ini bertujuan mengetahui perkembangan civil society di daerah Kabupaten Bantul dilihat dari tanggapan warga masyarakat terhadap kebijakan pemerintah kabupaten untuk menghapus keberadaan RW. Dengan demikian diketahui apakah kebijakan tersebut merupakan sebuah kebijakan ya ng tepat dan aspiratif. Selain itu seiring perkembangan civil society tidak ketinggalan adalah perkembangan demokrasi masyarakat Bantul. Dari hasil penelitian dengan mengambil sampel desa Bantul dan Banguntapan terlihat perbedaan di kedua daerah. Di desa Bantul yang penulis kategorikan sebagai daerah pedesaan, menerima penghapusan tersebut. Justru mantan ketua RW berfungsi kembali sebagai tokoh masyarakat yang diteladani. Perkembangan civil society didaerah pedesaan di Bantul lebih dipengaruhi oleh kultur kabudayaan Jawa yang kompatibel dengan nilai- nilai civil society. Berbeda dengan Desa Banguntapan yang penulis ketegorikan sebagai daerah perkotaan. Penghapusan RW tidak aspiratif bagi mereka karena masyarakat masih membutuhkan keberadan RW sebagai lembaga sosial yang mengkoodinasikan lembaga dibawahnya (RT). Hal ini mendorong mereka menuntut pemerintah daerah untuk memunculkan kembali RW, yang kemudian ditanggapi secara positif oleh pemerintah kabupaten. Terbentuk kemudian Lembaga RW yang baru yang terbentuk oleh masyarakat dengan semangat demokrasi dan civil society. Hal ini berarti kebijakan penghapusan RW positif bagi berkembangnya civil society dan demokratisasi di desa Banguntapan.
Kata Kunci : Lembaga Sosial; Civil Society