PERDAGANGAN CANDU DI YOGYAKARTA PADA MASA REVOLUSI 1945-1949
MUHAMAD SOLEH, JULIANTO IBRAHIM M. HUM
2017 | Skripsi | S1 ILMU SEJARAHABSTRAK Perdagangan candu sudah berlangsung lama di Yogyakarta sejak masa kolonial. Jumlah keuntungan yang didapat Belanda tidak sedikit. Sejak kekalahan Jepang dengan sekutu, meninggalkan candu sejumlah 22 ton candu mentah sisa kolonial. Awal 1946 ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta, turut serta pula candu dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejak blokade ekonomi menguat, Indonesia memutuskan untuk menjual candu. Yogyakarta dalam hal ini sebagai ibukota sekaligus pusat dalam perancangan dan pengelolaan candu. Melalui monopoli dengan sistem Regie pemerintah menjual candu untuk mendanai perjuangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang meliputi pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi serta penulisan. Sebagai landasan dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data yang relevan dari arsip Djogja Documenten, arsip Kementrian Pertahanan, arsip kementrian Kepolisian, Koran-koran Belanda dan Australia, Koran lokal serta wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa candu telah memberikan dampak bagi masyarakat dan perjuangan. Pemerintah mengatur sedemikian rupa dengan cara sistematis dan melibatkan banyak pihak agar misi menjual candu sampai ke tangan pembelidan kembali dengan sukses membawa barang keperluan Republik. Yogyakarta menjadi tempat penting dalam misi penyelundupan candu. Di tempat ini candu kepemilikan Republik berada, dan menjadi tempat berangkat sekaligus kembali dalam misi penyelundupan. Dari perdagangan candu pemerintah mendapatkan senjata, baju, uang, pesawat, mobil, pilot, kapal, bahan pangan dan obat-obatan dan membiayai INDOFF. Meski masih dijumpai peredaran candu di masyarakat, candu milik pemerintah lebih diutamakan dijual ke luar negeri yaitu Singapura. Kata kunci: Candu, Masa Revolusi, Yogyakarta
ABSTRACT The opium trade in Yogyakarta has lasted since the colonial era. The profit that the Dutch get was not small. When allies defeated Japan, the colonial left 22 tons of raw opium. In the early 1946, the Republic of Indonesia's capital was moved to Yogyakarta, along with the opium that was moved from Jakarta to Yogyakarta. Since the economic blockade of the Dutch strengthened, Indonesia decided to sell opium. Yogyakarta was the capital as well as the center in planning and management of opium. Through the Regie system, the government sold opium to fund the struggle. The method used in this research is a historical method which includes selection of topics, collecting resources, verification, interpretation, and writing. As the cornerstone of this research, the data used is relevant data from Djogja Documenten’s archieve, archieve of the Ministry of Defense, archieve of the Ministry of Police, Dutch and Australian newspapers, local newspapers and interviews. This study shows that the income from opium trade gives great influence to fund Indonesia's struggle in the rrevolutionary era. In a systematic way-including involving many parties-to sell opium to the consumers, the government successfully brought the goods that were needed by the Republic. Yogyakarta became an important place in the smuggling opium mission. In this place, lied the Republic's opium. It also became the beginning and ending point of the smuggling mission. Indonesia got weapon, money, clothes, plane, car, education expenses for pilot, food, and medicine. Thus, it was also used for funding INDOFF. When there was found opium business in the society, the government's opium was prioritized to be sold abroad. That is to Singapore. Keywords: Candu, Revolutionary Era, Yogyakarta
Kata Kunci : Kata kunci: Candu, Masa Revolusi, Yogyakarta