REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM BIROKRASI DI PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
NOVA Y.P SIPAHUTAR, Dr. Ambar Widaningrum, MA
2017 | Tesis | S2 Administrasi PublikBirokrasi di Indonesia masih didominasi oleh laki-laki baik di tingkat pusat maupun daerah. Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Negara, jumlah pejabat struktural perempuan pada tahun 2012 hanya 25,90%. Secara khusus di Yogyakarta perempuan masih sangat minim dalam jabatan struktural terutama di eselon 2 dan 3. Selain itu, kepala SKPD di Kota Yogyakarta juga mayoritas dipegang oleh laki-laki. Padahal kota Yogyakarta mendapatkan peringkat Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender kota Yogyakarta sangat tinggi bahkan pada tahun 2014 merupakan IDG tertinggi di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis representasi perempuan dalam birokrasi di kota Yogyakarta. Teori feminis terutama feminis liberal dan eksistensialis merupakan teori yang digunakan sebagai alat analaisis ketidakseimbangan perempuan dan laki-laki dalam birokrasi. Teori Birokrasi dalam perspektif netral dan birokrasi representasi sebagai ruang untuk melampaui kenetralan birokrasi. Representasi dalam birokrasi terdiri dari dua jenis, yaitu representasi pasif dan representasi aktif. Perempuan dalam administrasi publik melalui tiga paradigma yaitu paradigma politik, pskikologi, dan sosiologi.Tiga paradigma tersebut digunakan untuk menganalisis realita yang dihadapi oleh PNS perempuan dalam mewujudkan representasi perempuan dalam birokrasi. Pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan penelitian kualitatif dimana peneliti adalah instrumen kunci. Peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap informan dan menganalisis dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa representasi pasif perempuan dalam hal komposisi perempuan dan laki-laki di birokrasi kota Yogyakarta masih belum seimbang. Realita yang dihadapi oleh PNS perempuan adalah tidak ada affirmative action yang dilakukan oleh negara termasuk di kota Yogyakarta melalui produk hukum untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam jabatan struktural. Padahal banyak tantangan yang dihadapi oleh PNS perempuan tetapi tidak dihadapi oleh PNS laki-laki. PNS Perempuan yang sampai pada jabatan karir tertinggi di kota Yogyakarta dalam birokrasi harus bekerja ganda, sebagai pemimpin, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus suami dan anak. Dan paradigma sosiologi tentang kondisi kantor. Birokrasi di Kota Yogyakarta cukup sehat lingkungannya dalam hal hubungan kerja perempuan dan laki-laki Representasi aktif yang dianalisis melalui mentoring dan program kerja. Pejabat struktural perempuan yang ada di kota Yogyakarta tidak merasa mewakili kelompok perempuan karena perjuangan diperoleh sendiri. Mentoring untuk mempersiapkan pemimpin perempuan dalam birokrasi tidak dilakukan dengan maksimal. Program kerja di setiap SKPD sudah menggunakan perspektif gender, tugas kepala SKPD mengingatkan dan melakukan monitoring agar setiap program kerja bisa berjalan dengan baik. Saran dari penelitian adalah pemerintah dari tingkat pusat dan daerah membuat kebijakan yang progresif sehingga bisa mempercepat keseimbangan jumlah dan peran perempuan dan laki-laki di birokrasi. Saran lainnya adalah pelatihan gender tetap dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang perempuan dan laki-laki di keluarga, masyarakat dan kantor. Serta, semua program seharusnya menggunakan perspektif gender agar manfaatnya bisa dirasakan oleh semua masyarakat terutama lima kelompok rentan (orang tua, anak-anak, orang miskin, perempuan, dan penyandang disabilitas).
Bureaucracy in Indonesia is dominated by men both in national level and local level. According to National Civil Service Agency, numbers of women civil servants in the structural/ echelon official is only 25,90%. Particularly in Yogyakarta city, number of women civil servants in 2nd and 3rd echelon official is very limited. The head offices in Yogyakarta city are dominated by men as well. But in the other hand Yogyakarta city got the high rank both in Gender Development Index and Gender Empowering Index even the rank of Gender Empowering Index of Yogyakarta city in 2014 was the highest rank in Indonesia. The purpose of this research is to analyze women representative in bureaucracy in Yogyakarta city. The feminist theory particularly liberal feminism and exitensialist feminism were used as anaysing tool for unbalance of women and men in bureaucracy. Theory of bureaucracy that used neutral perspective and representative bureaucracy which go beyond that neutrality.There are two kind of representation in bureaucracy, passive representation and active representation. Women in public administration in three paradigms, political paradigm, psychology paradigm, and sosiological paradigm. Those theree paradigms were used to analyzed the reality of women public servants in bureaucracy. This research use qualitative approach and researcher is the main instrument. Researcher interviewed deeply the informants and analyzed the documents which related to this research. The finding of this research show us that passive representative of women in terms of compositon women and men in bureaucracy is unbalance. There is no affirmative action from the state particularly from local government of Yogyakarta city which aimed to increase women participation in echelon/ structural position. Researcher found that there are some obstacles that faced by women public servants only not including men public servants. Women on the top leadership in Yogyakarta bureaucracy should be ready for the double burden, she should be a good leader in the office, doing domestic duties, taking care of her husband and children as well. The next finding is the working relation of men and women in Yogyakarta city is healthy enough. There is no envy from men toward women if women got oppurtunity to develop their skills. Active Representative is found through mentoring and the program of the office. The women echelon officials do not feel that they are women representative in bureaucracy beacuse there is no affirmative action for woman. Therefore, the mentoring which aimed to prepare the women leader is not going well. The programs in the office have used gender perspective and the instrument is Gender Analysis Pathway. The duties of the head offices are reminding and monitoring all the programs to make sure all the programs are going well. The main suggestion of this research is government should make progressive policy to increase the numbers and role of women civil servants in structural/ echelon official. Training about gender should be done every year to give a clear and right understanding about the role of women and men in family, society and office. All the programs should have gender perspective so that the benefits of the programs go to all the society particularly five vulnerable groups ( old people, children, poor people, women, and people with disability).
Kata Kunci : Birokrasi, Representasi, Perempuan/ Bureaucracy, Representative, Women