Laporkan Masalah

KEKERASAN DAN RESISTENSI PEREMPUAN DALAM FILM INDONESIA PASCA ORDE BARU KARYA PEREMPUAN SUTRADARA

LIESTIANINGSIH DWI DAYANTI, Dr. Wening Udasmoro, DEA, M.Hum; Dr. Ratna Noviani; Dr. Budi Irawanto

2017 | Disertasi | S3 Kajian Budaya dan Media

Runtuhnya rezim Orde Baru membawa perubahan pada situasi sosial, politik dan budaya di Indonesia termasuk perfilman Indonesia. Perubahan ditandai dengan hadirnya film perempuan sutradara tentang kekerasan terhadap perempuan dan resistensi perempuan berperspektif perempuan (female gaze). Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena yang banyak terjadi di masyarakat. Hal ini menarik perempuan sutradara menjadikan sebagai tema film. Studi ini bertujuan untuk mengeskloprasi wacana kekerasan terhadap perempuan dan resistensi perempuan dalam film Perempuan Punya Cerita (2007), Mereka Bilang Saya Monyet! (2007) dan Jamila dan Sang Presiden (2009). Studi menggunakan metode analisis wacana kritis multimodal dari Gunter Kress & Theo van Leeuwen serta David Machin & Andrea Mayr. Metode ini menganalisis teks film yang memiliki lebih dari satu mode untuk menyampaikan pesan berupa tanda-tanda visual, verbal dan auditory. Hasil penelitian menunjukkan wacana yang dibangun adalah perjuangan perempuan merebut kuasa atas relasi gender yang tidak seimbang dalam struktur patriarkhi. Film merupakan medan kekerasan berbasis gender dengan menghadirkan kekerasan dari berbagai kelas sosial dengan setting lokasi di ranah privat, publik dan negara. Wacana kekerasan dilakukan dengan menempatkan dua kutub yang berseberangan antara laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban, tokoh antagonis dan protagonis dengan relasi pelaku dan korban dari semua kelompok kelas sosial. Laki-laki menjadi pemilik setiap domain dengan kuasa tak terbatas dan perempuan sebagi korban yang tidak berdaya. Film menghadirkan paradoks dalam mewacanakan kekerasan terhadap perempuan berupa kekerasan dalam pola yang tidak berbeda dengan film-film dengan perspektif laki-laki (male gaze), laki-laki kuat-perempuan lemah, laki-laki subjek-perempuan objek kekerasan. Wacana resistensi perempuan terhadap kekerasan menghadirkan perempuan dalam perspektif perempuan (female gaze) mewujud dalam bentuk upaya perempuan merebut kuasa atas relasi kuasa yang timpang. Perempuan sebagai sosok kuat, membunuh pelaku dan melawan secara verbal. Visualisasi perlawanan fisik merupakan reproduksi kekerasan dengan menggunakan darah dan senjata. Hal ini sebagai bentuk ketundukan sutradara pada logika dramatisasi dalam sinematografi dan keinginan menyesuaikan atau mengikuti "keharusan" gagasan dalam sinematografi yang mengedepankan dramatisasi sebagai daya tarik film. Dramatisasi ini menjadikan film perempuan sutradara mengulang kembali tampilan kekerasan dalam film-film male gaze.

The collapse of the New Order Regime has brought changes in the social, political, and cultural problems in Indonesia, including Indonesian movie. These changes are marked by the presence of women film director. The movie tells about violence against women and women resistance in the women perspective (female gaze). The violence against women is a phenomenon that is prevalent in society. It is a reason for women film director to make a movie theme. This study aims to explore the violence discourse against women and women resistance in the movie Perempuan Punya Cerita (2007), Mereka Bilang Saya Monyet! (2007), and Jamila dan Sang Presiden (2009). This study uses multimodal critical discourse analysis method by Gunter Cress & Theo van Leeuwen, and David Machin & Andrea Mayr. This method analysis film text that have more than one mode to convey a message in the form of visual signs, verbal, and auditory. The result of this study shows that the discourse constructed is women struggle to take control of unequal gender relations in patriarchal structure. Movie is the field of gender-based violence by presenting violence from various social classes in the private, public, and state area. The violence discourse carried out by placing two opposite poles between man as a perpetrator and woman as a victim, antagonist and protagonist with relation of perpetrator and victim from all social class groups. Men become the owner of each domain with unlimited power and women as a helpless victim. Movie presents paradox in discoursing the violence against women in the form of the same violence with the movie in men perspective (male gaze), strong men-weak women, subject men-violence object women. Women resistance discourse against violence presents women in women perspective (female gaze) in the form of women attempt to take control of unequal power relation. Women as a strong figure, killing the perpetrator and fighting verbally. Physical resistance visualization is a violence reproduction through blood and guns. It is as a form of film director submission toward dramatization logic in the cinematography and the desire to adjust or follow the of idea in the cinematography which prioritizing the dramatization of film attractiveness. This dramatization makes the women film director movie repeats the violence scene in the movies male gaze.

Kata Kunci : kekerasan, resistensi, film, perempuan sutradara/violence, resistance, movie, women film director

  1. S3-2017-295898-abstract.pdf  
  2. S3-2017-295898-bibliography.pdf  
  3. S3-2017-295898-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2017-295898-title.pdf