DARI JALAN PESISIR MENJADI JALAN RAYA PANTURA (Sejarah Jalan Raya di Pantai Utara Jawa Tengah Abad XX)
DRA.ENDAH SRI HARTATIK, M.HUM, Prof.Dr.Suhartono ;Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A
2016 | Disertasi | S3 SejarahDi Jawa dikenal jalan raya yang sangat fenomenal dengan sebutan Jalan Raya Pantai Utara Jawa atau sering di singkat Pantura. Begitu fenomenalnya banyak cerita tentang jalan raya ini, mulai dari kondisi fisik jalan hingga aspek-aspek sosial dari jalan raya tersebut. Jalan Raya Pantura telah menjadi ikon tersendiri dalam memori kolektif masyarakat di Jawa. Jalan raya mengalami pasang surut fungsinya seiring dengan kebijakan pemerintah dan kepentingan angkutan barang dan orang dalam sejarah di Indonesia. Penelitian disertasi ini mengungkap tentang menguatnya fungsi Jalan Raya di Pantai Utara Jawa Tengah sebagai angkutan darat sejak awal abad XX hingga tahun 1990-an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa entitas Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah jauh lebih tua dibandingkan dengan Jalan Raya Daendels yang melintasi Pulau Jawa. Jalan Raya Pantai utara Jawa Tengah memiliki akar pijakan sejak zaman perkembangan Mataram Islam dan berlanjut hingga masa Hindia Belanda serta masa Kemerdekaan Indonesia. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah mengalami revitalisasi fungsi terutama setelah krisis ekonomi dunia tahun 1930 dan mengalami perkembangan yang luar biasa sejak tahun 1980-an ketika orientasi ekonomi Pulau Jawa berubah dari tanaman perkebunan menjadi tanaman pangan dan industrialisasi yang merambah wilayah kota besar dan kota-kota kecil. Perkembangan jalan raya juga didorong oleh pertumbuhan kendaraan bermotor. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang melintas di jalan raya mendorong lahirnya tata aturan yang mengatur pengguna jalan raya dan institusi yang mengurus jalan raya tersebut. Peraturan ini telah memiliki akar yang kuat di zaman Hindia Belanda, tetapi implementasinya menjadi berbeda setelah kemerdekaan Indonesia. Pola pelanggaran lalu lintas dan dampak negatif kehadiran jalan raya lebih besar pada masa pascakemerdekaan dibandingkan dengan masa kolonial. Perkembangan jalan raya berkorelasi positif dengan perkembangan ekonomi lokasi-lokasi yang dilewati. Simpul-simpul jalan raya membawa pertumbuhan ekonomi kota-kota besar dan sedang di Jawa Tengah, yakni Semarang, Kudus dan Pekalongan. Kehadiran jalan raya yang semakin berkembang juga memiliki dampak sosial budaya. Jalan raya melahirkan budaya jalanan yang sebagian berdasarkan tata aturan berlalu lintas, tetapi juga melahirkan budaya yang menyimpang seperti korupsi di jalan raya, premanisme, dan prostitusi.
Java is known with its fenomenal highway, namely The North Coast of Java highway abbreviated to Pantura (Pantai Utara Jawa). Therefore, there are many stories about the highway, from the physical condition to the social aspects of the highway. Pantura highway has become a particular icon in collective memory in Javanese society. The highway has up and down of its function together with the government policy and the interest of goods and people transport in Indonesia history. This research reveals in strengthening the function of highway as land transportation since the beginning of twentieth century to 1980s. The result of this research shows that the entity of Pantura highway in Central Java is older than the Daendels highway crossing Java. Pantura highway in Central Java has treading root since the development of Mataram Islam era and continues to Dutch-Indies era and The Independence of Indonesia. The Pantura highway in Central Java has revitalitation of function especially after the world economy crisis in 1930 and develops remarkably since 1980s when the economics orientation of Java changes from plantation plants into crop plants, and industrialization reaching the big and small cities. The development of highway is also supported by the development of motor vehicles. The development of motor vehicles passing the highway encourages the appearance of rules governing the highway users and institutions which manage the highway. This rules has strong roots in the Dutch-Indies era, but its implementation becomes different after the independence of Indonesia. Patterns of traffic violences, and negative effects of the presence of highway are bigger in post-independence era than the colonial era. The development of highway correlates positively with economy development in the passed locations, the highway knots make the economy development in big and fairly big cities in Central Java, that is Semarang, Kudus, Pekalongan, and Tegal. The appearance of highway which is more developed also has socio-cultural effect. The highway creates street culture mostly based on the traffic rules, but it also creates the deviant culture such as street corruption in highway, thuggery and prostitution.
Kata Kunci : Pantura, jalan raya, simpul , Pantura, highway , knots