Laporkan Masalah

KEBIJAKAN DISTRIBUSI DAN KETERLEKATAN DOKTER SPESIALIS DI INDONESIA

ANDREASTA MELIALA, DR.,DPH.M.KES.MAS., Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

2015 | Disertasi | S3 Ilmu Kedokteran

Latar belakang. Dokter spesialis adalah tenaga kesehatan strategis yang menjalankan peran penting dalam pelayanan kuratif. Namun demikian, data menunjukkan, bahwa sampai saat ini masih banyak rumah sakit yang kekurangan dokter spesialis atau tidak memiliki tim dokter spesialis yang lengkap. Banyak wilayah yang belum memiliki dokter spesialis walaupun telah memiliki rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan keterlekatan dokter spesialis, menjelaskan faktor-faktor yang yang berhubungan dengan keterlekatan tersebut. Tujuan berikutnya adalah menguraikan kebijakan pengelolaan, terutama pada aspek distribusi dokter spesialis, pada tingkat pusat dan daerah, yang juga berkaitan dengan keterlekatan dokter spesialis di tingkat rumah sakit. Metode. Penelitian ini menggunakan case study explanatory dengan rancangan holistik multi kasus (tipe 3). Data kualitatif diperoleh dengan berbagai diskusi kelompok terarah, wawancara dan observasi. Data kuantitatif diperoleh dari basis data sekunder yang diolah untuk menguji hubungan antar variable. Model mixed method yang dipergunakan adalah kualitatif melengkapi kuantitatif. Hasil. Keterlekatan dokter spesialis di rumah sakit pemerintah sangat rendah, terbukti dengan banyaknya jumlah tempat praktek dan rendahnya jam kerja. Kebijakan pemerintah daerah untuk merekrut dan mengembangkan kompetensi dokter spesialis belum sesuai dengan harapan dokter spesialis. Tersedianya institusi pelayanan kesehatan swasta dan kesempatan kerja rangkap adalah faktor yang berperan besar untuk dalam membangun keterlekatan dokter spesialis. Faktor alamiah yang berperan dalam membentuk pola ketersediaan dokter spesialis adalah jumlah penduduk dan jumlah institusi pelayanan kesehatan swasta. Produksi dokter spesialis belum memenuhi kebutuhan di lapangan. Produksi yang bervariasi untuk masing-masing spesialisasi menimbulkan masalah dalam pembentukan tim di lapangan. Distribusi dokter spesialis tidak merata dan masih banyak institusi pelayanan kesehatan yang tidak memiliki dokter spesialis sesuai dengan standar. Kebijakan distribusi dokter spesialis belum harmonis pada tingkat pusat dan daerah. Indonesia terbagi menjadi 3 model distribusi, yaitu distribusi normatif, distribusi dinamis, dan distribusi statis. Namun hanya tersedia satu kebijakan untuk mengelola dokter spesialis. Akibatnya kebijakan tersebut hanya efektif untuk satu wilayah dan tidak berjalan untuk daerah lain dengan katakteristik yang berbeda. Kesimpulan. Keterlekatan dokter spesialis dengan rumah sakit dan di wilayah kerjanya berkaitan dengan fasilitas profesional serta kebijakan distribusi tingkat lokal dan nasional. Peran pemerintah dalam mengatur produksi dan distribusi dokter spesialis masih dapat ditingkatkan.

Background. Medical specialist is a strategic health worker in the curative care. However, many of hospitals have inadequate medical specialist compare to national standard. In terms of area, many regions in Indonesia experience the problem of lacking medical specialist. The aims of this research were to describe the engagement of medical specialist in public hospital and to explain the roles of related factors to it. In national and local level, the aim of this study were to describe the policy on medical specialist management (production and distribution) and its relation to the engagement of medical specialist to the hospital. Method. This was an explanatory case study and employed type 3 design, which had a holistic and multiple case in different level of context. Qualitative data collected from various interviews, focus group discussion, and observation. Quantitative data collected from secondary sources and they were used to analyze relationship among variables. Result. Medical specialists engagement to public hospital was low since their practice place and working hours were not comply with particular regulation. Policies of local government to manage medical specialists in terms of capacity building and competency development, were not meeting their expectancy. The availability of private institutions and possibility to conduct dual practice, played a major role to define medical specialist engagement level. Demand factors to influence the pattern of medical specialist distribution were: number of population and number of private hospitals. In the other hand, production of medical specialist were low and the systematic program to produce team-based specialist was not found. It led to the lacking of medical specialist in hospital level and regional level. Indonesia had 3 models of distribution: normative, dynamic, and static. However there was a single policy to address those models which was needing specific treatment for each model. The impact was closely related to effectiveness of the policy in various type of area in Indonesia. Conclusions. Medical specialist engagement was related to professional facilities and the distribution policy in local, as well as in national level. Government role to manage the distribution of health workers was not utilized properly and there were plenty of room to use it effectively.

Kata Kunci : Dokter spesialis, keterlekatan, kebijakan, produksi-distribusi