Laporkan Masalah

Gambaran persepsi budaya padarang pada wanita postpartum di Puskesmas Rambangaru, Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur NTT

AFLYANA ANGGRENI RUNGA, DR.Dra.Sumarni, DW.,M.Kes ; dr. Rustamadji.,M.Kes

2015 | Skripsi | PENDIDIKAN DOKTER

Latar Belakang: Secara tradisional, masyarakat Sumba Timur memiliki budaya perawatan ibu postpartum yang disebut dengan budaya padarang. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Sumba Timur, jika seorang ibu yang baru melahirkan tidak melakukan budaya padarang berarti ibu postpartum tersebut telah melanggar kata Tuhan, dan akan mendapatkan hukuman. Selain itu, jika tidak melakukan budaya padarang dipercaya darah putih akan naik ke otak dan akibatnya bisa fatal. Metode: Menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi langsung pada 4 orang partisipan yang diambil secara purposive sampling di Puskesmas Rambangaru, Kecamatan Haharu. Teknik analisis data menurut Collaizi. Pemeriksaan keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Tujuan: Mengetahui gambaran persepsi budaya padarang pada wanita postpartum di Puskesmas Rambangaru, Kecamatan Haharu Kabupaten Sumba Timur NTT Hasil: Proses perawatan budaya padarang dibagi menjadi 3 yaitu padarang 3 bulan dan30-40 hari (sebelum Revolusi KIA) dan padarang modifikasi (setelah Revolusi KIA). Dalam budaya padarang 3 bulan dan 30-40 hari alat dan bahan yang digunakan masih sama, yang membedakan adalah tempatnya. Sedangkan pada padarang modifikasi, bahan yang digunakan masih sama, namun terdapat perbedaan alat dan tempat. Selama padarang ibu postpartum harus menjalani beberapa proses tertentu. Manfaat yang dirasakanpun berbeda. Kesimpulan: Adanya larangan untuk dilakukannya budaya padarang menyebabkan masyarakat setempat memodifikasi alat, tempat, bahan, prosedur, serta manfaat dari budaya padarang dikarenakan adanya modifikasi dari masyarakat setempat.

Background: Traditionally, East Sumba society has a culture postpartum maternal care called padarang culture. Based on public confidence in East Sumba, if a new mother did padarang culture means the postpartum mother had violated the word of God, and will get a penalty. And if it does not do culture padarang white blood believed to be up to the brain and can be fatal. Methods: Using qualitative research with phenomenological approach. Collecting data with in-depth interviews and direct observation at 4 participants who were taken by purposive sampling at the PHC Rambangaru, District Haharu. Data analysis techniques according to Collaizi. Examination of the validity of the data using triangulation source. Objective: To determine the cultural perceptions padarang in postpartum women in PHC Rambangaru, District Haharu NTT East Sumba Results: Treatment process padarang culture is divided into 3 padarang 3 months and 30-40 days (prior to the Revolution KIA) and padarang modification (after the Revolution KIA). In cultures padarang 3 months and 30-40 days tools and materials used are still the same, the difference is the place. While on padarang modification, the materials used are still the same, but there are differences in the tools and place. During padarang postpartum mothers must undergo certain proces. According to participants benefits of culture padarang that they get is different. Conclusion: There is a ban on the culture does padarang cause local communities to modify a tool, place, materials, procedures, as well as the benefits of culture padarang due to the modification of the local community.

Kata Kunci : Keywords: perception, culture padarang,postpartum women

  1. S1-2015-314143-abstract.pdf  
  2. S1-2015-314143-bibliography.pdf  
  3. S1-2015-314143-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2015-314143-title.pdf