Laporkan Masalah

“THE TENTH SAINT”: THE CONSTRUCTION OF GUS DUR’S SAINTHOOD

anwar masduki, Samsul Maarif, Ph.D.

2014 | Tesis | S2 Agama dan Lintas Budaya

Tesis ini menyoroti apa yang terjadi pasca kematian dan pemakaman KH. Abdurrahman Wahid, yang dikenal sebagai Gus Dur, di Tebuireng. Beliau adalah mantan pemimpin agama (Nahdlatul Ulama) dan Presiden Indonesia yang wafat pada akhir tahun 2009 lalu. Segera setelah pemakamannya, peziarah mulai berdatangan untuk memberikan penghormatan . Sejak itu, jumlah peziarah ke situs telah meningkat secara signifikan sekitar 5000 - 7000 peziarah setiap hari selama 24 jam. Fenomena ini telah memicu banyak perubahan di Tebuireng seperti pembangunan infrastruktur jalan, lokasi ziarah yang diperluas, perluasan parkir dan munculnya kelas baru pedagang yang menawarkan berbagai barang dagangan. Menariknya, beberapa orang membenarkan fenomena ini sebagai tanda kewalian Gus Dur dengan mengatakan bahwa Gus Dur adalah Wali Kesepuluh di Jawa . Untuk memahami fenomena di atas, thesis ini meneliti pemahaman sosial baru kewalian di Jawa sehubungan dengan fenomena ziarah di makam Gus Dur di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Menggunakan teori konstruksi sosial, teori strukturasi dan konsep tambahan karisma, tesis ini membahas pemahaman sosial tentang wali dan bagaimana kaitannya dengan persepsi masyarakat tentang Gus Dur sebagai Wali Kesepuluh di Jawa. Secara umum, pengakuan kewalian di Jawa biasanya dapat ditelusuri dari kontribusi seseorang dalam penyebaran Islam, serta pengakuan akan tingkat spiritualitas yang tinggi. Spiritualitas ini bisa dilihat melalui kesalehan yang tinggi dan kekuatan magis seseorang. Dalam kasus Wali Songo, orang mengenali mereka sebagai wali karena kombinasi dari dua hal; peran mereka sebagai dai Islam dan kemampuan mereka terhadap kekuatan magis. Penelitian ini menunjukkan bahwa para peziarah dan orang-orang di sekitar Tebuireng berbagi pemahaman umum tentang kewalian Gus Dur. Namun, mereka memiliki pendapat dan penalaran yang berbeda mengenai status Gus Dur sebagai Wali Kesepuluh di Jawa. Perbedaan ini muncul ketika mereka mencoba untuk memperluas konsep Wali yang berjumlah sembilan menjadi berjumlah sepuluh dan peran-peran apa saja yang bisa disamakan antara keduanya.

This thesis highlights what transpired in the aftermath of the death and funeral of K.H. Abdurrahman Wahid, who is well known as Gus Dur. He was one of the charismatic religious leaders of Nahdlatul Ulama (NU) and the fourth Indonesian President who died in the end of 2009. Immediately after his funeral, pilgrims began to arrive to pay their respects. Since then, the number of pilgrims to the site has significantly increased to currently 5000 – 7000 pilgrims everyday around the clock. This phenomenon has initiated many changes in the area such as the development of road infrastructure, the expanded pilgrimage location, parking lot expansion and the emergence of a new class of merchants offering wide range of goods. Interestingly, some people justify this phenomenon as a sign of Gus Dur’s sainthood say that Gus Dur deserves to be the tenth saint (Wali Kesepuluh) in Java. To understand the above phenomena, this paper examines the new social understanding of sainthood in Java regarding to the pilgrimage phenomenon at Gus Dur’s grave in Tebuireng, Jombang, East Java. Using the theory of social construction, theory of structuration and the additional concept of charisma, this thesis discusses the social understanding of wali and how it relates to the perception of Gus Dur as the Tenth saint. Generally, the recognition of sainthood can usually be traced to someone's contribution in the spread of Islam, as well as the recognition of a high level of spirituality. Spirituality can be discerned through a high level of piety and the magic power of a person. In the case of Wali Songo (Nine saints), people recognized them as saints by a combination of two things; their roles as propagators of Islam and their possessions of magical power. The research suggests that the pilgrims and the people around Tebuireng share common understanding of the Gus Dur’s sainthood. However, they have different opinions and reasoning about Gus Dur’s status as the Tenth saint in Java. This difference emerges when they attempt to extend the concept of nine saints into ten and what similar roles that can be drawn from both term.

Kata Kunci : Gus Dur, wali, kewalian, Islam, Jawa, konstruksi sosial, Wali kesepuluh, Tebuireng.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.