Laporkan Masalah

Benteng-benteng kolonial Eropa di Pulau Ternate :: Dalam peta pelayaran dan perdagangan Maluku Utara

IRIYANTO, Nurachman, Dr. Daud Aris Tanudirjo

2010 | Tesis | S2 Arkeologi

Pulau Ternate adalah salah satu daerah penghasil rempah-rempah yang amat penting, terutama cengkeh yang merupakan tanaman endemik di pulau tersebut. Karena itu, Pulau Ternate menjadi salah satu daerah tujuan para pedagang Melayu, Cina, Persia, dan Arab yang ingin datang langsung untuk mendapatkan rempah-rempah itu di tempat asalnya dan mendistribusikan ke Eropa. Sejak awal abad XVI, bangsa Eropa pun tertarik untuk mendapatkan cengkeh dan juga pala dari Maluku. Ketika itu. mereka menyadari akan potensi penting cengkeh dan pala dalam perdagangan dunia dan mereka ingin melepaskan ketergantungannya dalam pemenuhan akan kebutuhan rempah-rempah pada pihak lain. Setelah menaklukkan Goa dan Malaka, bangsa Portugis tiba di Maluku pada tahun 1511. Kejadian ini merupakan awal campur tangan Eropa dalam perdagangan rempah di Kepulauan Nusantara. Kehadiran bangsa-bangsa Eropa telah berdampak pada persaingan dalam memperebutkan monopoli perdagangan rempah. Dengan memanfaatkan kekuasaan setempat dan untuk melindungi kepentingannya, mereka membangun benteng pertahanan yang sebagian juga difungsikan sebagai permukiman bagi komunitas Eropa awal di Nusantara. Portugis, Spanyol, dan Belanda membangun bentengnya di pulau kecil Ternate. Tercatat setidaknya ada lima belas benteng dengan berbagai variasi bentuknya yang pernah didirikan di pulau ini. Keletakan benteng-benteng di pulau ini menjadi petunjuk betapa Ternate memiliki peran penting dalam percaturan ekonomi dunia saat itu. Berbagai benteng yang memiliki elemen arsitektur sederhana hingga kompleks didirikan dengan dilengkapi persenjataan yang mendukung kepentingan pertahanan di lokasi tersebut. Kini masih terdapat tujuh benteng yang dapat menjadi bukti tarik menarik kekuasaan dalam konteks ekonomi kapitalistik yang eksploitatif di wilayah itu, di antaranya melalui jalan peperangan guna memperebutkan sumberdaya alam yang berpotensi sebagai komoditi ekonomi. Karya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang penempatan benteng-benteng yang ada di Pulau Ternate serta mengetahui peran dari masing-masing benteng dalam mendukung pelayaran Eropa di Maluku Utara. Untuk itu, observasi di lapangan dan studi kepustakaan dalam kerangka arkeologi kesejarahan pun dilaksanakan. Analisis keruangan yang dilakukan menunjukkan keletakan benteng-benteng di Pulau Ternate ternyata menyebar tidak merata. Lingkungan fisik bukan faktor yang menentukan dalam penempatan benteng Eropa di pulau ini. Sebaliknya, penempatan benteng-benteng Eropa tersebut lebih dilatarbelakangi oleh faktor politik dan ekonomi, khususnya sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan perdagangan (armed trade). Saat ini keberadaan benteng-benteng Eropa di Pulau Ternate dalam kondisi yang memprihatinkan. Nilai-nilai pentingnya sebagai bukti sejarah dunia, nasional, maupun lokal tidak dihargai. Upaya pelestariannya dilakukan dengan cara-cara yang salah dan terbukti bersifat fisik untuk kepentingan kepariwisataan. Untuk itu perlu dicarikan alternatif pengelolaan benteng yang lebih berbasis pada pelestarian. Beberapa strategi pengelolaan warisan budaya benteng dibahas dalam karya tulis ini, baik yang berupa kebijakan umum maupun khusus pada setiap benteng. Diharapkan, strategi yang ditawarkan, antara lain dengan melibatkan masyarakat secara aktif, dapat meningkatkan pemanfaatan warisan budaya ini bagi kemajuan kebudayaan nasional. Selain itu, kelestarian benteng-benteng itu dapat terjamin secara berkelanjutan.

The Island of Ternate was one of important sources of spices, especially for cloves which was endemic to this island. For this reason, Malay, Chinese, Persian and Arabian traders sailed to this island to acquire cloves directly and distributed them to Europe. Since the end of 16th Century, European had been fascinated to acquire cloves and nutmeg directly from their sources of Mollucas. They were aware of the potential of these spices as world trade commodities and they tried not to rely on other parties to supply their need for the spices. After conquering Goa and Malaca, Portugese arrived in Moluccas in 1511. This was the beginning of their involvement in spices trading in the Indonesian archipelago. Their involvement had resulted in rising rivalry among the traders to monopolize spices trading. With the help of local authority and to protect their interest, Europeans built their fortifications as a means to defend their control on spices trading. Some fortifications were also functioned as early settlement for European communities in the archipelago. Portugese, Spaniards, and Dutch built their fortification in the small island of Ternate. At least there were eleven forts with various forms were noted to be built in this island. The existence of these fortifications had proved the importance of Ternate in the world economy at that time. The fortifications were built with various architectural elements, from simple to complex ones, and all were equiped with heavy armory to protect its strategic location. Nowadays seven of them are still survived to be evidence of the struggle of power within the contexts of the early exploitative capitalistic economy in this region to compete each others, e.g through armed confrontations to defend the natural resources potential for commodity. This study is carried out to reveal the reasons for the building of those fortifications on each strategis places in Ternate island and to know the role of each fortification to support European existence in North Moluccas. Field observation as well as library study within historical archaeology framework were conducted to answer these research questions. Spatial analysis on the available data shows that the locations of fortifications in the Ternate Island is not random or evenly distributed. Physical environment was not the main consideration. Rather, their locations were chosen for politic and economic reasons, as ameans to protect their strategic positions in the socalled armed trade. Most of the European forticifactions are now in poor condition. Their international, national, and local historical values are neglected. Conservation efforts conducted are mainly based on tourism interest. Therefore, there should be an alternative conservation-based management for the historical remains. Some posssible management strategies are discussed in this thesis, both at policy level as well as a more detail strategy for each fortification. Hopefully, the strategies offered in this thesis, e.g. through the involvement of local people in conservation efforts, could enhance the use of these cultural resource for the national culture development. In addition, the conservation of these important fortifications will be sustainable.

Kata Kunci : benteng, cengkeh, rempah-rempah, pelayaran, perdagangan, monopoli, Ternate, Eropa, pelestarian, pemanfaatan, fort, cloves, spices, shipping, trade, monopoly, Ternate, Europe, conservation, utilization


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.