Laporkan Masalah

The Controversy of Bhikkhuni Ordination (Upasampada) within Theravada Buddhism in Indonesia

EKOWATI, Wilis Rengganiasih Endah, Eve Mullen, Ph.D

2006 | Tesis | S2 Ilmu Perbandingan Agama

Studi ini mengkaji kontroversi pentahbisan bhikkhuni dalam agama Buddha Theravada di Indonesia. Persoalan dicermati dari sudut pandang perempuan, tidak melulu dari kacamata laki-laki sebagaimana yang terjadi selama ini. Interpretasi perempuan atas teks-teks suci dan tradisi diperlukan demi tercapainya pemahaman yang seimbang, dan akhirnya menuju pada kesetaraan dan keadilan gender. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan: mengapa perempuan Buddhis Indonesia berjuang untuk ditahbisan menjadi bhikkhuni? Latar belakang historis, sosial, politis, dan kultural apakah yang menjadikannya problematis? Bagaimana mereka menghadapi dilema yang muncul? Penelitian feminisme ini menjaring data melalui studi pustaka, wawancara mendalam (in-depth interview), kuesiner, dan observasi untuk menghadirkan kisah para bhikkhuni Indonesian dalam meraih hak untuk menjalani kehidupan spiritual dengan pengakuan dan dukungan yang layak. Proses pengumpulan, seleksi, analisis data dan penyajiannya dilandasi oleh kesadaran saya sebagai seorang perempuan Buddhis Theravada yang menyaksikan terjadinya bias gender di dalam masyarakat patriarkis. Agama Buddha tidak terlepas dari pengaruh sistem patriarki yang hidup di lingkungan tempat ia lahir, menyebar, dan berkembang. Salah satu konsekuensi dari kekuasaan patriarki adalah penyusunan/kompilasi, interpretasi, dan pendokumentasian teks-teks suci dan tradisi dilakukan oleh kaum laki-laki semata. Sesuai dengan Tipitaka Pali, pentahbisan bhikkhuni mengharuskan hadirnya Bhikkhu Sangha and Bhikkhuni Sangha. Sejak kaum Theravada menyatakan bahwa Bhikkhuni Sangha telah lenyap pada abad kesebelas Masehi, perempuan tidak bisa menjadi bhikkhuni dan Bhikkhuni Sangha tidak mungkin ada lagi. Para bhikkhuni Indonesia dan kaum perempuan menuntut hak mereka yang diberikan oleh Buddha sebagai pengakuan atas kesempatan dan potensi perempuan untuk mencapai kebebasan tertinggi, sejajar dengan laki- laki. Kitap Suci Tipitaka Pali dan catatan-catatan sejarah dipelajari dengan seksama, dibaca dan diinterpretasikan kembali untuk mendapatkan sumber-sumber yang positif sebagai landasan perjuangan. Hasilnya: ditemukan fakta bahwa Buddha mengijinkan bhikkhuni ditahbiskan oleh para bhikkhu saja; Konsili Buddhis I dirasakan bersifat seksis; dan atthagarudhamma serta beberapa peraturan di dalam Vinaya yang berkaitan langsung dengan delapan peraturan keras ini dipertanyakan otentisitasnya. Selain itu, lenyapnya Bhikkhuni Sangha diwarnai oleh pengaruh anti-perempuan dari Brahmanisme, dan fakta-fakta lain yang mempertanyakan kebenaran catatan sejarah yang diyakini oleh kaum Theravada. Berpijak pada cinta kasih dan kebijaksanaan, kita harus mendengarkan suara perempuan. Para bhikkhuni Indonesia adalah sumber daya manusia yang sangat berharga sebagai pembimbing dan panutan bagi perempuan Indonesian. Tugas kita untuk memberikan dukungan, bukan menentang mereka. Semua demi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat kita dan bagi semua makhluk.

The primary focus of this study is the controversy surrounding ordination for women within Theravada Buddhism in Indonesia. The controversy is viewed from the eyes of women, not only from men’s, as has happened for so long. Women’s interpretatio n of sacred texts and the tradition is needed if we are to gain a more balanced understanding, which in turn will lead to gender equity. The leading questions are: why do Indonesian women struggle for full/higher ordination, which is so problematic? What are the historical, social, political, and cultural issues in these problems? How do they cope with the dilemma? Applying a feminist perspective, this thesis utilizes library research, indepth interview, questionnaire, and observation to present the Indonesian bhikkhunis’ story in pursuing their rights to live a spiritual life with the proper acknowledgement and support. The process of collecting, selecting, and analyzing data, and presenting the results is grounded in my position as a Theravadin Buddhist woman, who is aware of the gender biased prevailing in the patriarchal society. Buddhism is influenced by the patriarchal system embedded in the societies where it was born, spread and evolved. One of the consequences of the ruling patriarchy is that the formulation/compilation, interpretation, and recording of sacred texts and the tradition are solely in the men’s hands. The Pali Canon and historical records of the extinction of the Bhikkhuni Sangha are the foundation of the Theravadins claim to deny women the right to be fully ordained as bhikkhuni. A bhikkhuni ordination requires the presence of both orders, the Bhikkhu Sangha and the Bhikkhuni Sangha. Since the Theravadins proclaim that the Bhikkhuni Sangha has been extinct since the eleventh century CE, women cannot be ordained as bhikkhuni, and thus, the Bhikkhuni Sangha has never been restored. Indonesian bhikkhunis and other women claim their rights given by the Buddha as the affirmation of women’s opportunity and potency to be liberated, equal to men. Women have been studying the Pali Canon and the historical records, re-reading and re-interpreting them to pull out the positive resources as the basis of their struggle. The results are amazing: they find that the Buddha permitted bhikkhuni to be ordained by bhikkhu alone; the First Buddhist Council was suspected as sexist; and the atthagarudhamma and some rules in the Vinaya which are directly connected to the eight special rules for bhikkhuni are questioned for their authenticity. Meanwhile, the extinction of the Bhikkhuni Sangha was colored by the Brahmanism’s anti- feminine influence, and other facts question the accuracy of the historical records provided by the Theravadins. Finally, standing upon the basic teaching of the Buddha of non-harming and wisdom, we must listen to the women’s voice, and thus, the Indonesian bhikkhunis’. They are precious resources as guides and role models for Indonesian women. Therefore, it is our duty to support these bhikkhunis rather than to work against them for the better of society and for the sake of all beings.

Kata Kunci : Bhikkhuni,Pentahbisan,Kontroversi, controversy, bhikkhuni, ordination, women, Theravada Buddhism


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.