Laporkan Masalah

WONG LEGAN GOLEK MOMONGAN Kasus Kepemimpinan Paradoksal Wali kota Yogyakarta Herry Zudianto

BUDI PUSPA PRIYADI, Prof.Dr. Sjafri Sairin, M.A. ; Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si

2016 | Disertasi | S3 Antropologi

Penelitian ini memfokuskan tentang gaya kepemimpinan wali kota Yogyakarta pada tahun 2001 hingga 2011, yakni Herry Zudianto yang berlatar belakang pedagang sukses. Selama sepuluh tahun dia telah berhasil menjadi wali kota Yogyakarta yang prestasinya sangat menonjol bila dibandingkan dengan beberapa wali kota sebelumnya. Penelitian ini ingin melihat apa yang melatarbelakangi seorang pengusaha menjadi wali kota. Siasat apa yang dijalankan ketika meraih kekuasaan dan selanjutnya bagaimana dia memaknai kekuasaan yang berhasil diraihnya. Bagaimana dia memimpin birokrasi pemerintahan Kota Yogyakarta dalam situasi paradoksal, di mana kungkungan tradisi paternalistik dengan kehadiran Sultan sebagai penguasa tertinggi dan demokratisasi sebagai buah dari Reformasi hadir secara bersamaan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa motif utamanya ketika terjun di dunia birokrasi adalah suatu upaya peningkatan status, dari kelas pedagang menjadi kelas ksatria meskipun tetap berada di bawah bayang-bayang penguasa tertinggi penguasa Yogyakarta. Siasat yang dia lakukan untuk meraih posisi itu adalah dengan cara berpikir dan bertindak secara paradoksal, yakni tidak membuat garis tegas antara pilihan-pilihan yang kontradiktif, tetapi justru memadukan keduanya. Kemampuannya berpikir secara paradoks karena dia memang mempunyai kapasitas tersebut ditambah pergaulan eratnya dengan orang Cina yang secara filosofis memang paradoks. Kemampuannya berpikir secara paradoks kemudian membuat dia memaknai kekuasaan adalah sebagai wakaf politik dan pemimpin sebagai kepala pelayan masyarakat. Cara berpikir paradoksal kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang paradoks. Disatu sisi menyemaikan gagasan tata kelola birokrasi modern dengan prinsip meritokrasi, tetapi di sisi yang lain dia memakai pola tradisional, yakni relasi patronase. Sebagai seorang saudagar dia memiliki sifat autokratik sehingga tampil sebagai pemimpin yang otoriter meskipun dia juga mempunyai kemampuan melakukan stimulasi intelektual. Pilihan gaya seperti itu ternyata efektif ketika dia menjalankan roda kepemimpinannya sebagai wali kota meskipun juga menimbulkan efek positif dan negatif di kalangan aparatnya. Siasat paradoks yang dia pilih tidak lepas dari kuatnya motivasinya bahwa dirinya adalah ksatria yang lebih patuh kepada penguasa tertinggi Yogyakarta daripada partainya. Dengan bersiasat dua muka, secara diam-diam dia mendukung keinginan penguasa tertinggi Yogyakarta di mana hal itu menunjukkan bahwa dirinya memang sudah tidak membutuhkan materi, alias legan. Kiprahnya bersusah payah mengurusi dunia birokrasi adalah manifestasi dari pemenuhan keinginan mencari kesibukan atau momongan. Dia melakukan itu semua dengan bersiasat sebagai pemimpin yang paradoks, tetapi dia tidak melipatgandakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya dan keluarganya. Dalam istilah Jawa Herry Zudisebut adalah pemimpin yang dora sembada.

This study focuses on leadership style of Mayor of Yogyakarta from 2001 to 2011, Herry Zudianto, who has a successful merchant background. During his 10 years as a Mayor of Yogyakarta, his performance was quite prominent compare to the previous mayors. This study wants to see the reasons (motives) why an entrepreneur was eager to be a mayor. What kind of strategy he used when he was in power, and how he interpreted the power that he achieved. How he lead the bureaucratic city of Yogyakarta in paradoxical situation, where the shackles of paternalistic tradition and the presence of the Sultan as the supreme authority and democratization as a result of the Reformation which both presented simultaneously. The results of this research shows that his main motivation to get into the world of bureaucracy is an effort to improve his merchant class status to be a warrior class. Although he remained under the shadow of the supreme ruler of Yogyakarta. His strategies to reach that position were to think and to act paradoxically, which there were no strict rules in contradictory options, but rather to collaborate both options. His ability to think paradoxically came from his capability in addition of his Chinese milieu, who are philosophically have paradoxical thinking. His ability to think paradoxically made him to interpret the concept of power as political and charitable work and he chose to serve as head of a public servant. The paradoxical thinking formed a paradoxical leadership style. On the one hand brings the idea of modern bureaucratic governance with the meritocracy principle, but on the other hand uses a traditional pattern, i.e., the relation of patronage. As a merchant he had autocratic nature and appeared as an authoritarian leader, even though he also had the ability to perform intellectual stimulations. His leadership style was quite effective to run and to lead as Mayor of Yogyakarta and created positive and negative effect to his apparatus. The Paradox strategy that he chose cannot be separated from his strong motivation as a knight who is more obedient to the supreme ruler of Yogyakarta than to his party. By two-faced strategy, secretly he supported the supreme leaders desires, suggested that he was no longer in need of material world (Legan; Javanese). His inconvenience dealing with the bureaucracy world was a manifestation of the fulfillment of his desire to be busy and needs something that he needs to take care of (momongan; Javanese). He managed it by maneuvering as the paradoxical leader, however he did not manipulate the power for the benefit of himself or his family. In term of Javanese, Herry Zudianto, the leader who is tricky but bonafide called dora sembada.

Kata Kunci : kepemimpinan paradoks ,paradox leadership

  1. S3-2016-292565-abstract.pdf  
  2. S3-2016-292565-bibliography.pdf  
  3. S3-2016-292565-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2016-292565-title.pdf