Laporkan Masalah

Analisis Pelaksanaan Mutasi Aparatur PNS di Kabupaten Kolaka (Ditinjau Berdasarkan Manajemen Kepegawaian di Daerah dan Unsur Politisasi)

puji prio utomo, Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA.

2018 | Tesis | S2 Manajemen dan Kebijakan Publik

Tulisan ini menganalisis tentang dinamika mutasi jabatan di Kab. Kolaka tahun 2013. Diketahui bahwa Pelaksana tugas (Plt.) Bupati melakukan mutasi jabatan 342 orang PNS. Mutasi ini dinilai melanggar sejumlah aturan. Faktanya, mutasi tetap terlaksana dan memunculkan pro dan kontra. Waktu pelaksanaan mutasi yang mendekati masa Pemilukada cenderung dibaca sebagai politik dalam birokrasi yang diatur oleh Plt. Bupati. Pertanyaannya adalah mengapa Plt. Bupati Kolaka melakukan mutasi besar-besaran, sesaat sebelum masa jabatan berakhir? Untuk kasus ini, argumen peneliti adalah mutasi menjadi alat politik dalam birokrasi yang bertujuan untuk mendukung Plt. Bupati menuju Pemilukada 2013. Analisis data Kualitatif dengan pendekatan studi kasus telah digunakan sebagai metode penelitian. Kebijakan mutasi jabatan terjadi selama satu bulan (26 April hingga 24 Mei 2013), sehingga pengumpulan data fokus pada rentang waktu tersebut. Peneliti menggunakan kerangka Latour (2006) melihat fenomena dari sisi aktor, non-aktor, dan actant yang terlibat. Teknik purposive digunakan untuk menemukan aktor-aktor yang terlibat pada waktu itu. Kemudian melakukan transkrip, penemuan kata kunci, pengkategorian, dan pentemaan. Hasil pentemaan menjadi bahan pembahasan dan memberikan penekanan pada temuan penelitian. Penelitian ini menemukan bahwa mutasi jabatan dapat terjadi karena keterlibatan aktor, non-aktor, dan actant. Aktor terbagi atas dua poros, yakni pro mutasi (pihak yang mendapatkan promosi jabatan) dan kontra mutasi (pihak yang di demosi). Non-aktor berupa data skunder yakni lima surat keterangan Plt. Bupati terkait mutasi, surat ijin dan teguran dari Kemendagri, hingga sistem penilaian kepangkatan yang dilakukan Tim Baperjakat. Actant merupakan aktor kunci mutasi, yakni Plt. Bupati Kolaka, Kemendagri, dan Gubernur Sultra. Selain itu penelitian ini mendukung argumen bahwa mutasi menjadi alat politik dalam birokrasi yang bertujuan untuk mendukung Plt. Bupati menuju Pemilukada 2013. Berdasarkan bukti pelanggaran PP No. 49 Tahun 2008, tidak ada evaluasi jabatan bagi pegawai yang didemosi dan fit and propertest untuk aparatur PNS yang mendapatkan promosi jabatan, mutasi jabatan dinilai tidak terencana dan cenderung tergesa-gesa, keterhubungan politik antara Gubernur Sultra dengan Plt. Bupati Kolaka, dan pelaksanaan mutasi dilaksanakan dalam waktu yang relative singkat dan mendekati masa Pemilukada. Karena itu, Kemendagri perlu mengkaji dan mempertimbangkan ulang tentang penerbitan surat ijin mutasi yang masuk sebelum Pemilihan Umum. Juga mempertimbangkan permohonan Kepala Daerah berstatus Pelaksana tugas. untuk melakukan demosi bahkan non-job. Kemudian memandang perlu mekanisme pengesahan surat ijin mutasi dari Tim Baperjakat guna memastikan prinsip kompetensi, berlandaskan penilaian kinerja, dan penegakkan profesionalisme. Melihat manajemen publik rawan dipolitisasi, peneliti selanjutnya perlu meneliti fungsi lain seperti rekrutmen, seleksi, pengembangan dan pelatihan, kompensasi guna memunculkan pandangan-pandangan teoritis yang semakin menguatkan posisi manajemen public dalam birokrasi.

This paper discusses about mutation of the civil servant apparatus in Kab. Kolaka in 2013. It is known that the Executor of duty (executor) Regent to mutate the position of 342 civil servants. This mutation is considered to violate a number of rules. In fact, mutations are done and bring up the pros and cons. Implementation time of mutation nearing the period of general election of the regional head tends to be read as politics in bureaucracy arranged by regent’s executor. The question is why the Kolaka regent executes a massive mutation, shortly before the end of office? For this case, the researcher's argument is a mutation into a political tool in a bureaucracy that aims to support the regent’s executor toward the 2013 Election. This study found that job mutations can occur due to the involvement of actors, non-actors, and actants. The actor is divided into two axis, namely pro mutation and counter mutation. Non-actors consist of five certificates of Regents related to mutations, permits, and reprimands from the Ministry of Home Affairs, to the rank appraisal system conducted by the Baperjakat Team. Actant is a key mutation actor. In addition, this study supports the argument that the mutation becomes a political tool in the bureaucracy that aims to support the executor of the regent to the general election of the regional head of 2013. Based on the evidence of the violation of PP. In 2008, there was no job evaluation for demoted and fit and proper test employees for promotional officials, job mutations were considered unplanned and tended to be in a hurry.

Kata Kunci : mutasi, birokrasi, politik, manajemen kepegawaian, Kolaka

  1. S2-2018-390397-abstract.pdf  
  2. S2-2018-390397-bibliography.pdf  
  3. S2-2018-390397-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2018-390397-title.pdf