Laporkan Masalah

MODEL DINAMIKA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT LESTARI DI SINGKIL ACEH

ASWANDI, Dr. Ir. Ronggo Sadono

2016 | Disertasi | S3 Ilmu Kehutanan

Ekosistem hutan gambut memiliki multi fungsi dalam pengaturan iklim global, pelestarian sumberdaya air, pendukung keanekaragaman hayati, dan penyedia hasil kayu dan bukan kayu. Konversi, perambahan dan penebangan tidak lestari telah menurunkan fungsi ekosistem. Dengan karakteristik rentan dan marjinal, gangguan penutupan lahan mengakibatkan ekosistem sulit pulih kembali. Penelitian ini bertujuan (a) mengidentifikasi pengaruh perubahanan lahan dan drainase terhadap karakteristik biofisik ekosistem gambut; (b) menentukan faktor-faktor biofisik yang mempengaruhi tingkat kekritisan ekosistem gambut serta mengembangkan kriteria dan klasifikasi kekritisan; dan (c) membangun model dinamika sistem dalam rangka merumuskan skema alternatif pengelolaan ekosistem gambut lestari. Penelitian dilaksanakan pada ekosistem hutan gambut pada Kesatuan Hidrologi Gambut (Kode 11.10) mulai Mei 2013 - Mei 2015. KHG Singkil secara administratif pemerintahan terdapat pada Kabupaten Singkil dan Kabupaten Aceh Selatan serta berada pada Sub DAS Lae Singkil, DAS Singkil Aceh Kegiatan review tipe dan sebaran hutan gambut dilakukan menggunakan pendekatan sistem informasi geografis. Kesatuan Hidrologis Gambut yang terdapat pada lokasi penelitian dihimpun berdasarkan Peta KHG Sumatera yang diverifikasikan dengan peta sebaran lahan gambut Sumatera dan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Revisi VIII. Pengukuran karakteristik biofisik seperti kedalaman muka air tanah, penurunan permukaan tanah, kandungan bahan organik dan unsur hara tanah, serta penyimpanan karbon dilakukan pada hutan gambut primer, hutan gambut sekunder, semak belukar, kebun campuran/agroforest, dan perkebunan sawit. Hasil penelitian menunjukkan berbagai gangguan menyebabkan penutupan hutan KHG Singkil mengalami degradasi hingga 21.663,87 ha (23,69%). Selama periode 2003-2011, laju degradasi mencapai 2.707,98 ha/tahun. Degradasi hutan terjadi akibat penebangan liar, perambahan dan pengembangan perkebunan yang tidak lestari. Perubahan penutupan dan pembuatan drainase mengakibatkan penurunan kedalaman muka air dan permukaan tanah, kandungan biomassa dan kehilangan karbon serta perubahan sifat kimiawi tanah. Selama periode 2013- 2014, rata-rata laju penurunan permukaan tanah tertinggi 5,6 cm/tahun terjadi pada lahan gambut terbuka dan terdegradasi. Konversi hutan dan drainase lahan KHG Singkil telah mengemisikan 59,6-135,2 ton CO2 eq/ha/tahun ke atmosfer. Klasifikasi kekritisan berdasarkan analisis tandan (cluster analysis) menunjukkan terdapat tiga kelas kekritisan KHG Singkil yaitu Kritis, Tidak Kritis Drainase dan Tidak Kritis Tidak Didrainase. Kekritisan tersebut dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi (48%), kemasaman tanah (34%) dan kedalaman muka air tanah (18%). Ekosistem gambut dinilai terdegradasi dan kritis apabila terjadi peningkatan laju dekomposisi dan kemasaman dan penurunan muka air tanah. Alokasi pengelolaan pada berbagai intensitas memberikan keragaman manfaat ekonomi dan jasa lingkungan. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa pengelolaan hutan gambut pada kondisi saat berjalan dan peningkatan xv pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit tidak memenuhi prinsip kelestarian. Upaya mengubah fungsi hutan gambut mendorong peningkatan nilai ekonomi langsung, tetapi mengurangi manfaat jasa lingkungan. Oleh karenanya perlu tata ulang pengelolaan gambut dengan mempertimbangkan kompleksitas karakteristik biofisik dan kekritisannya. Melalui pendekatan analisis sistem, pengelolaan ekosistem gambut dapat dirumuskan sebagai kawasan lindung maupun kawasan dengan pengelolaan adaptif dan intensif. Kubah gambut dan lahan gambut dalam dan sangat dalam harus dilindungi dan direstorasi apabila terdegradasi. Pengelolaan adaptif dapat diaplikasikan pada lahan gambut dangkal hingga sedang dengan pengaturan muka air tanah optimum. Sedangkan, pengelolaan intensif hanya diizinkan pada tipologi gambut sangat dangkaldangkal dan gambut tepi. Pengelolaan produksi kayu dapat dilakukan secara adaptif dengan sistem silvikultur TPTI. Pengaturan panjang siklus tebang dan limit diameter yang lestari perlu disesuaikan dengan karakteristik ekosistem hutan gambut yang khas. Pengelolaan intensif dapat dilakukan pada gambut dangkal dan sangat dangkal untuk produksi kayu dengan tebang pilih maupun tebang habis serta pengembangan perkebunan dan pertanian. Skema pengelolaan adaptif dan intensif dipertimbangkan dengan penutupan hutan minimal 50% dari suatu sistem hidrologis dengan pengaturan muka air selalu pada titik optimalnya. Kebijakan mempertahankan penutupan hutan gambut dan moratorium pemberian izin pembukaan hutan gambut memberikan peluang pemanfaatan jasa lingkungan yang maksimal. Kebijakan untuk mempertahankan 30% penutupan hutan gambut perlu dikaji lebih lanjut karena belum sepenuhnya efektif menghambat laju degradasi lingkungan. Upaya mempertahankan 50% penutupan hutan pada lahan gambut dangkal-sedang dan perlindungan gambut dalam, sangat dalam serta kubah gambut memberikan batasan baru dalam pengelolaan ekosistem gambut. Pengembangan hasil hutan bukan kayu potensial dan agroforestry pada lahan gambut terdegradasi meningkatkan keterlibatan dan kesejahteraan masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Peat swamp forest ecosystems have multiple functions in regulating global climate, water resources preservation, biodiversity support, and providing timber and non-timber. But, conversion, encroachment and unsustainable logging reduced these functions. Regard of their vulnerable and marginal characteristics, the ecosystems is difficult to recover where degraded. This study aims to (a) identify the influence of forest change and drainage to biophysical characteristics of peat; (b) determine the biophysical factors that affect the level of criticality of peatland ecosystems and to develop criteria and classification of these criticality; and (c) build a system dynamic model in order to formulate the alternative schemes of sustainable peatland ecosystems management. The research was conducted on peat swamp forest in Peat Hydrological Unit (code 11.10) on sub watershed Lae Singkil, Singkil watershed, Aceh began May 2013 until May 2015. Review the type and distribution of peatland forests conducted through geographic information system. Peat hydrological unit (PHU) were determined by compiled map of Sumatran peat hydrological unit (code 11.10) and verified with map of peatlands distribution of Sumatra and map of PIPPIB Revised VIII. Measurement of the biophysical characteristics such as depth of groundwater levels, land subsidence, organic matter content and soil nutrients, and carbon storage were conducted on peat forests of primary, secondary peat forests, shrubs, mixed plantation/agroforestry, and oil palm plantations. The results showed that various disturbances caused forest degradation on PHU Singkil about 21,663.87 ha (23.69%). During period 2003-2011, this rate reached 2,707.98 ha/year. Peat forest cover changes and drainage decreased the water table depth and ground elevation, biomass content, carbon loss and changes the soil chemical properties. During period 2013-2014, the highest soil subsidence about 5.6 cm/year occurred in open-degraded peatlands. Forest conversion and land drainage emitted 59.6 to 135.2 tonnes CO2 eq/ha/year into the atmosphere. Criticality classification based on cluster analysis shows that there are three classes of criticality on PHU Singkil i.e. Critical, Uncritical-Drainage and Uncritical and undrained. This criticality is influenced by level of decomposition (48%), soil acidity (34%) and the depth of the water table (18%). A peatland ecosystems was assessed degraded and ctitical if rate of decomposition was increased and soil acidity and water level were decreased. The peat allocation at various intensities provided the diversity of economic benefits and environmental services. The projection shows that the current peat management scheme (baseline) and conversion peatlands for palm oil plantations development were not meet the principles of sustainability. These schemes encourage direct economic value, but the environmental service benefits reduced. Therefore, need to rearrange the management of peat by condidering the complexity and criticality of the biophysical characteristics. Through a systems analysis approach, a peat ecosystem can be managed as a protected area or xvii adaptive and intensive management schemes. Peat dome and very deep peat typhology should be protected and restored where degraded. Adaptive management schemes can be applied on shallow to moderate peatlands by setting water table level on optimum condition. Peat forest allocation for timber production can be applied adaptively with TPTI silvicultural systems. Sustainable length of cutting cycle and diameter limits need to be tailored to the typical characteristics of peat forest ecosystem. Meanwhile, intensive schemes for timber production with selective logging and agriculture plantation development would be allowed on very shallow-shallow peat and edge peat typology. Adaptive and intensive management schemes would be performed by consider with forest cover at least 50% of the hydrological systems and by setting optimum water table level. The retaining peat forest cover and moratorium peat forest clearing policy provide an opportunity on maximum utilization of environmental services. But, policy to retain 30% of peat forest cover needs to be studied further because it has not been fully effective in inhibiting the rate of environment degradation. Therefore, efforts to retain 50% of forest cover on shallow-moderate peat and protection of deep, very deep peat and peat dome provide a new restriction in peatland ecosystems management. The development of potential non-timber forest products and agroforestry on degraded peatland will increase community welfare and engagement in forest management.

Kata Kunci : Kesatuan Hidrologi Gambut, kekritisan ekosistem gambut tropika, karakteristik biofisik, pengelolaan adaptif, dinamika sistem