Laporkan Masalah

Kerjasama lintas sektor dalam pemberantasan demam berdarah dengue di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur

BRIA, Johanes, Prof. dr. Hari Kusnanto, DrPH

2009 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Latar Belakang: Sejak ditemukan pertama kali di Surabaya pada tahun 1968, penyebaran kasus Demam Berdarah Dengue sangat cepat hampir mencakup seluruh wilayah Indonesia. Di Kabupaten Belu, kasus Demam Berdarah Dengue muncul pertama kali pada tahun 1998 dengan 3 kasus dan baru muncul lagi tahun 2004 dengan 13 kasus dan selanjutnya terjadi peningkatan pesat pada lbeberapa tahun terakhir. Tahun 2006 meningkat tajam menjadi 44 kasus dengan CFR 2,3 %, dan tahun 2007 bertambah lagi menjadi 84 kasus dengan CFR 3,6 % , dan tahun 2008 (Juni) terdapat 82 kasus dengan CFR 2,4 %. Kejadian Luar Biasa berturut-turut ini menimbulkan rasa penasaran bahkan frustrasi di kalangan tenaga pelaksana Dinas Kesehatan Kabupaten Belu karena seolah semua upaya pemberantasan yang dilakukan tidak membawa dampak positif guna melindungi masyarakat dari ancaman Demam Berdarah Dengue. Apakah ada sesuatu yang salah? Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan antara lain surveilans, penemuan dan pengobatan, pemantauan jentik, penyuluhan, pemberdayaan masyarakat untuk pemberantasan sarang nyamuk, abatesasi dan fogging. Sejauh pengalaman penulis, salah satu penyebabnya adalah kurangnya dukungan dari sektor terkait. Menurut WHO, Demam Berdarah merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga penanganannya harus melibatkan kerjasa lintas sektor, antara pemerintah, swasta, dunia usaha, LSM dan masyarakat. Tujuan Penelitian: Mempelajari kerjasama lintas sektor dalam pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Belu. Secara khusus ingin mempelajari faktor kepemimpinan, kebijakan dan birokrasi yang mempengaruhi kerjasama lintas sektor dalam pelaksanaan pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan rancangan studi kasus. Subjek penelitian adalah bupati, pimpinan DPRD, kepala Bappeda, kepala dinas kesehatan, kepala dinas pendidikan, kepala dinas Kimpraswil, kepala dinas pertanian, kepala dinas perikanan dan kelautan, kepala Bapedalda, kepala kantor agama, kepala BPMD, kepala bagian Keuangan, kepala bagian Humas, kasubdin P2M, camat dan kepala puskesmas kota Atambua serta pengelola program/program manager (PM). Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum terdapat keterpaduan lintas sektor dalam pelaksanaan kegiatan pemberantasan DBD di Kabupaten Belu. Faktor penyebabnya antara lain kepemimpinan yang kurang tegas, belum adanya kebijakan yang mengatur mekanisme kerjasama dan kekakuan birokrasi yang tidak kondusif. Kesimpulan: Belum terdapat kerjasama lintas sektor dalam pemberantasan DBD di Kabupaten Belu. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kepemimpinan, kebijakan dan birokrasi.

Background: Since it was first found in Surabaya and Jakarta in 1968, the spreading of dengue hemorrhagic fever has almost covered the entire Indonesia very fast. In Belu District, the first case of this disease emerged in 1998 that is then tending to increase quickly in the past five years. This phenomenon leads to curiosity among health professionals in Belu Health Office due to the fact that the eradication effort has not shown optimum results. This happens because of insufficient support from related parties. According to WHO, dengue hemorrhagic fever is a complex problem so that the management of this disease must involve a collaboration between government, private sector, enterprises, NGO, and community. Objective: To study factors influencing the collaboration in dengue hemorrhagic fever eradication in Belu District. Method: This was a descriptive-qualitative study with a case-study design. Subjects were the regent, head of local people representative, head of local development board, head of Health Office, head of regional education office, head of Kimpraswil, head of agricultural office, and head of fishery and naval office, head of Bapedalda, head of religion office, head of BPMD, head of finance division, head of public relation division, head of P2M sub office, head of sub district, head of Atambua municipal community health center and program management. Results: There had been no integrated cross-sector collaboration in the implementation of dengue hemorrhagic dengue program in Belu District. The causal factors were, among others, less strict leadership, the absence of policy that regulated collaboration mechanism and stiff bureaucracy aspect. Conclusion: There has been no cross-sector collaboration in dengue hemorrhagic fever eradication in Belu District. This is influenced by some factors such as leadership, policy, and bureaucracy.

Kata Kunci : Kerjasama lintas sektor,Pemberantasan demam berdarah dengue, Cross-sector collaboration, dengue hemorrhagic fever eradication


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.