Laporkan Masalah

Dinamika Mode Produksi Konteks Para Aktor Proyek Lingkungan : Studi Kasus di Provinsi Jambi

LETSU VELLA SUNDARY, Dr. Setiadi, M.Si.

2018 | Tesis | S2 ILMU ANTROPOLOGI

Tesis ini memaparkan tentang fenomena proyek lingkungan di Provinsi Jambi melalui pintu REDD+. Derasnya arus proyek ini menjadi gejala temuan terhadap mode produksi konteks. Diawali dari pemetaan para aktor berkepentingan dari tingkat internasional / transnasional, nasional, provinsi, hingga desa, atau disingkat menjadi glonalokalisasi. Dalam rangka memenuhi panggilan atas masalah lingkungan di KTT Rio de Janeiro 1992 dan masalah global perubahan iklim yang berjejak sejak Protokol Kyoto tahun 1997, seringkali ditemukan wacana deforestasi dan kemiskinan dibalut dalam satu agenda besar pembangunan. Semenjak COP 13 di Bali, Indonesia pun mulai kebanjiran proyek, didukung pula dengan komitmen yang dicanangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat G20 Summit di Pittsburgh tahun 2009 bahwa Indonesia akan mengurangi emisi karbon 26% dari upaya sendiri dan 41% dari bantuan internasional. Berdasarkan inisiatif komitmen politis tersebut, para negara donor seperti Amerika dan Norwegia akhirnya melihat Indonesia sebagai sasaran implementasi proyek-proyek konservasi dan lingkungan. Melalui pendekatan Antropologi Pembangunan dan Globalisasi, mulai dipetakan jaringan sosial yang terbentuk dari berjalannya proyek-proyek lingkungan di Jambi. Penelitian lapangan dilakukan selama empat bulan pada tahun 2014 dengan mengambil contoh Desa Seponjen untuk menyaksikan praktik proyek di tingkat tapaknya. Informan terdiri dari beberapa pihak di kalangan pemerintah, LSM, hingga segenap masyarakat Seponjen. Melalui metode observasi partisipatif dan wawancara mendalam dapat terungkap secara kualitatif dinamika ramainya proyek lingkungan ini. Retorika win-win-win seringkali menjadi acuan semangat untuk mengimplementasikan REDD+, namun sebagaimana hukum dualitas, jika ada yang menang berarti akan ada yang kalah. Dalam pelaksanaannya juga sering ditemukan copying mechanism antara pencanangan di nasional dan provinsi. Menangkap dari asiknya para aktor ini berproyek, terungkap bahwa ada mode produksi yang terbentuk dari pemutaran wacana (deforestasi, manajerial, populis) dengan menghubungkan ke konteks di lapangan. Mode produksi konteks menjadi lebih dekat untuk menjelaskan bagaimana proyek lingkungan ini bisa berlangsung secara sistematis, dengan sebagian besar merupakan turunan buah pikir komunitas internasional yang diinternalisasikan hingga ke desa. Mengungkap gejala muara dari proyek lingkungan ini adalah penghubungan realitas lokal menuju pasar global (karbon dan wacana), logika neoliberal environmentality menjadi relevan untuk menjelaskan. Bahwa ada keterhubungan antara praktik konservasi, upaya pengaturan (governmentality), juga komodifikasi neoliberal. Namun dalam beberapa kasus proyek lingkungan yang berbasis dana hibah, terlihat pula pola depolitisasi atas realitas marak membentuk logika proyek. Bahwa keberhasilan dari apa yang tercatat di proposal dan laporan menjadi lebih dituju daripada penyelesaian masalah yang sesungguhnya. Di sisi lain, masyarakat Seponjen yang menjadi fokus saat melihat bagaimana proyek-proyek ini dijalankan oleh para LSM memiliki realitas tersendiri yang jarang diungkap. Bagaimana konflik kepentingan atas lahan di antara taman nasional, tahura, perusahaan sawit, rencana pembangunan pelabuhan, kawasan situs sejarah, hingga lahan perkebunan masyarakat masih menjadi benang kusut yang saling berkelindan membentuk rekayasa sosialnya tersendiri.

This thesis portrays the environmental projects phenomena in Jambi province through REDD+. The massive flow of these projects has become symptom of findings toward context mode of production. Starting from stakeholders mapping in international / transnational scales, national, province, and going down to the villages, or can be simplified as glonalocalization. In order to comply the call of environmental issues during Rio de Janeiro Earth Summit in 1992 and global climate change back to Protokol Kyoto in 1997, it is often being found that deforestation and poverty discourses are getting packed into one big development agenda. Since COP 13 in Bali, Indonesia has started to receive many projects, supported as well by the commitment that Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) announced during G20 Summit in Pittsburgh 2009, that Indonesia will reduce its emission for 26% with its own effort, or 41% with international supports. Based on this political commitment, the donor countries like USA and Norway starting to see Indonesia as the target of conservation and environmental projects implementation. Through the Anthropology of Development and Globalization approach, I therefore can start to map the social networks which are being formed along with the environmental projects in Jambi. Field work has been done for 4 months in 2014 with Seponjen village as an example on how the projects practically happened in the site. The informants consist of several actors in the government institutions, NGOs, and Seponjen community. Through participative observation and indepth interview method, the dynamics of environmental projects can be revealed qualitatively. Whilst win-win-win rhetorics often being referred as reference of the spirit to implement REDD+, however as in the duality law, if there is someone win, there will be someone else going to lose, so as we map the actors form international community, national institution, until a set of local communities, there will be people that is going into the main stream, and the others will jump to the peripheries. In the project implementations, frequently we found out the copying mechanism between the system in national and province. Throughout capturing the actors having fun playing the projects, there was revealed mode of production made by turning the dicourses (deforestation, managerial, populist) and connecting it to the context in the field. Hence, context mode of production is quite close to explain how these environmental projects occured sistematically, with mostly the top-down ideas, coming from international communities and further being implemented to the villages. By revealing the end of these projects which is to connect the local realities to the global market (carbon and discourses), therefore neoliberal environmentality logics becomes relevant to explain such things. That there is connection between conservation practices, governmentality, and neoliberal commodification idea. Nevertheless, for some project cases based on grant funds, depolitization from reality can be seen forming the project logics. That the success story written in the proposal or programs report becomes more priority rather than dealing the real problems in the field. On the other hand, Seponjen society with their complex reality stories are often not being discussed in the program. How the conflict of interest of land tenure between the national park, tahura, oil palm companies, ports construction plan, history sites, until communities plantation area are still becoming puzzleheaded intersection making their own social engineering.

Kata Kunci : Jaringan Sosial, Neoliberal Environmentality, Mode Produksi Konteks, Rekayasa Sosial.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.