Laporkan Masalah

SISTEM PENGELOLAAN EVAKUASI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KELAS II A YOGYAKARTA (Kasus : Erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010)

KIRANA BUDIASTARI, Dr. Ir. Dina Ruslanjari, M.Si; Dr. Estuning Tyas Wulan Mei, M.Si.

2017 | Tesis | S2 MANAJEMEN BENCANA

Pasca erupsi Merapi tahun 2010, lereng sebelah selatan Gunungapi Merapi di Kabupaten Sleman menjadi wilayah yang sangat rawan bahaya terhadap letusan Gunungapi Merapi. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas IIA Yogyakarta yang memiliki jarak 13 km dari puncak Gunungapi Merapi, menjadikan lapas tersebut berada di kawasan rawan bencana Merapi. Dalam keadaan darurat bencana, narapidana di dalam lapas termasuk dalam kelompok rentan. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka tidak mampu mengurus kebutuhan mereka sendiri, termasuk dalam hal evakuasi. Tidak semua otoritas kebencanaan dapat melakukan evakuasi terhadap narapidana. Apabila pemerintah tidak menginstruksikan evakuasi, maka Kepala Lapas tidak dapat melakukan instruksi evakuasi. Proses evakuasi terhadap narapidana juga tidak dapat disamakan dengan masyarakat umum. Penelitian tentang evakuasi terhadap narapidana akhirnya merumuskan masalah untuk mengetahui bagaimana pengelolaan dan perencanaan evakuasi terhadap narapidana di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Penelitian ini adalah bertujuan untuk (i) menganalisa kesiapsiagaan narapidana di dalam lapas (ii) menganalisa proses evakuasi narapidana saat erupsi Merapi tahun 2010 dan (iii) menganalisa proses kembalinya narapidana dari lapas tujuan evakuasi. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dengan narapidana dan staf lapas yang ikut evakuasi saat erupsi Merapi tahun 2010 dan narapidana yang masuk lapas setelah 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) Belum adanya kesiapsiagaan narapidana dan lapas saat terjadi keadaan darurat bencana. Hingga pasca erupsi Merapi tahun 2010 belum pernah diadakan sosialisasi atau simulasi bencana didalam lapas. (ii) evakuasi terhadap narapidana dilakukan dalam 2 tahap, pada tanggal 29 Oktober 2010 dan 4 November 2010, dengan lapas tujuan yang sama, yaitu Lapas Wirogunan. Evakuasi dilakukan sekitar pukul 22.00 hingga subuh. Pada setiap tahap evakuasinya, dilakukan 3 kali perjalanan pergi pulang dari Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Yogyakarta ke Lapas Wirogunan. Ketika evakuasi tidak ada Standar Operating Procedure (SOP) evakuasi narapidana dan aset lapas. Mereka hanya menggunakan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01-PK.02.01 tahun 1991 tentang Petunjuk Pemidahan Narapidana Anak Didik dan Tahanan, namun didalamnya tidak memuat pasal pemindahan saat terjadi bencana. (iii) pada proses kembali, narapidana didata kemudian diberangkatkan kembali ke Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Yogyakarta. Saat kembali ke Lapas Narkotika juga tidak ada SOP tentang proses pemindahan kembali narapidana ke lapas asal.

Post-eruption of Merapi in 2010, the southern slope of Merapi Volcano in Sleman District became a very dangerous area to the eruption of Merapi Volcano. Penitentiary (Lapas) Narcotics of Yogyakarta which has a distance of 13 km from the peak of Merapi Volcano, making the prison is located in the disaster-prone areas of Merapi. In emergency situations, prisoners in prisons belong to vulnerable groups. This can be happened because they are not able to take care of their own needs, including in the case of evacuation. Not all disaster authorities can evacuate prisoners. If the government does not give instruction to evacuate, then the Head of Prisen can not perform evacuation instructions. The evacuation process of inmates also can not be equated with the general public. Research on evacuation of prisoners formulated the problem to find out how the management and planning of evacuation of inmates in Narcotics Prison of Yogyakarta. This study aims to (i) analyze prisoner preparedness in prisons (ii) analyze the evacuation process of prisoners during the 2010 eruption of Merapi and (iii) analyze the return of prisoners from evacuation purposes. The research method used is qualitative with case study research. The data were collected through interviews with prisoners and prison staff who took part in evacuation during the 2010 eruption of Merapi and prisoners who entered prisons after 2010. The results showed that (i) The absence of preparedness of prisoners and prisons in the event of a disaster emergency. Until post-eruption of Merapi in 2010 has never been held socialization or disaster simulation in prison. (ii) the evacuation of prisoners was conducted in 2 stages, on 29 October 2010 and 4 November 2010, with destination prison at Wirogunan Prison. The evacuation purpose of the time was Wirogunan Prison. The evacuation took place at around 10:00 pm until dawn. At each stage of the evacuation, 3 trips to go home from Narcotics Prison Yogyakarta to Wirogunan Prison. When evacuation does not exist Standard Operating Procedure (SOP) evacuation of prisoners and prison assets. They only use the Decree of the Minister of Justice of the Republic of Indonesia No. M.01-PK.02.01 of the year 1991 on the Guidance on the Establishment of Prisoners of Prisoners and Detainees, but therein does not contain any dispatching articles in the event of a disaster. (iii) on the process of returning, the inmates are recorded then dispatched back to the Narcotics Penitentiary Yogyakarta. Upon return to the Narcotics Prison there was

Kata Kunci : Gunungapi Merapi, Narapidana, Kesiapsiagaan, Evakuasi, Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Yogyakarta

  1. S2-2017-355061-abstract.pdf  
  2. S2-2017-355061-bibliography.pdf  
  3. S2-2017-355061-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2017-355061-title.pdf