Laporkan Masalah

"Iki Lahanku Karo Mangroveku" Studi Tentang Komodifikasi Lahan dan Mangrove di Desa Kartikajaya, Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal

RIZKI MAHANANI S, Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A.

2017 | Tesis | S2 ILMU ANTROPOLOGI

Intisari Kerusakan ekologis yang terjadi di sepanjang Pantai Utara Jawa, Kabupaten Kendal menjadi pusat perhatian. Segala cara dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan LSM untuk memulihkan kondisi ekologis, salah satu dengan penanaman bibit mangrove. Dari seluruh desa di sepanjang pantai Kabupaten Kendal, Desa Kartikajaya menghadapi kerusakan yang paling parah. Pemerintah bersama LSM menetapkan Kartikajaya sebagai kawasan konservasi sekaligus kawasan percontohan pengelolaan mangrove pada tahun 2006. Pada tahun 2010, KKP meresmikan Pusat Pemberdayaan dan Pelayanan Masyarakat Pesisir atau P3MP sebagai jembatan antara pemerintah atau swasta dengan masyarakat dalam pelaksanaan program. Masyarakat turut berinisiatif membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kartika Beach pada tahun 2014 sebagai salah satu cara pengelolaannya. Program penanaman dan pengelolaan yang diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat menyisakan perdebatan. Perdebatan ini memunculkan pertanyaan mengapa penegasan, perdebatan, serta perebutan mengenai wilayah penanaman baru muncul pada tahun 2014 ketika program penanaman sudah dilakukan sejak tahun 2006? Program yang dijalankan menyadarkan masyarakat bahwa lahan dan mangrove menjadi komoditi baru. Nilai guna akan lahan dan mangrove berubah menjadi nilai tukar melalui cara masyarakat mengelola sumber daya di wilayah pesisir Kartikajaya. Seiring dengan kegiatan yang dilakukan, kontestasi dan penegasan wilayah serta pembagian hak pengelolaan lahan terjadi. Dampaknya terjadi konflik dan tarik-menarik mengenai penguasaan dan kepemilikan hak lokasi penanaman dan siapa yang menjalankan program penanaman antar Pokdarwis dengan P3MP di Desa Kartikajaya. Konflik yang terjadi dipicu karena masyarakat Kartikajaya mulai melihat mangrove dan lahan sebagai media berjalannya berbagai macam program pemerintah. Perebutan lokasi dan wilayah menjadi sangat kentara karena menentukan siapa yang diuntungkan. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa siapa yang berkuasa atas wilayah tersebut yang menjalankan program. Relasi sosail masyarakat turut berubah dan memisahkan siapa lawan, siapa kawan. Ironisnya program yang diterapkan ternyata tidak mendatangkan manfaat bagi kondisi ekologis seperti tujuan awal. Satu program selesai berjalan, akan dilanjut dengan program yang lain tanpa mempertimbangkan kelanjutan program yang sebelumnya. Dalam penelitian ini saya menggunakan metode pengumpulan data berupa observasi partisipasi dengan mengikuti hampir seluruh kegiatan yang dilakukan di Desa Kartikajaya baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, kemudian saya juga melakukan wawancara mendalam dengan beberapa narasumber kunci.

Abstract The ecological damage that accurred along the North Coast of Java, Kendal Regency in particular, became the center of attention. Government, society and NGOs already tried various ways to restore the ecological condition; one way to do this is by planting mangrove seeds. From all villages along the coast of Kendal District, Kartikajaya Village faces the most severe damage. The government and NGOs established Kartikajaya as a conservation area as well as a pilot area of mangrove management in 2006. In 2010, the Ministry of Marine Affairs and Fisheries inaugurated the Center for Coastal Community Empowerment and Services or P3MP as a bridge between the government and private institution with the community for the implementation of programs which will run in the community. In 2014 the community took the initiative to unionize the Tourism Awareness Group Kartika Beach as one way of management. Planting programs and management processes that are left entirely to the community leave a debate among them. This debate occurred raises the question why the affirmation, the debate, and the seizure of the planting area appeard in 2014, when the planting program has been done since 2006? The programs that run the community awakens that land and mangrove become new commodities. The value of land and mangrove changed from used to exchange rate through the ways people manage resources in the coastal area of Kartikajaya. Along with the activities, rise contestation and regional affirmation as well as the division of right land management. The impact are conflicts and attraction on the ownership of tenure and ownership of the location of planting and who runs the program between Pokdarwis with P3MP in Kartikajaya. The conflicts was triggered because the community began to see mangroves and lands as a medium for running various government programs. The seizure of location and terriroty becomes very noticeable because it determines who gets the benefits. This can not be saperated from the fact that who is in changer and run the program. Community relations are changing and separating who opponent is, who friend is. The irony of the program being implemented did not bring benefits to ecological conditions such as the initial goal. When one program have done, will be continued with other program without considering the sustainability from previous program. In this research I used data collection method participant observation by following almost all activities conducted in Kartikajaya Village either from local government or central government, then I also conducted in-depth interview with some key informant.

Kata Kunci : komodifikasi, konflik, lahan tambak, mangrove, masyarakat pesisir, commodification, conflict, pond land, mangrove, coastal community

  1. S2-2017-373112-abstract.pdf  
  2. S2-2017-373112-bibliography.pdf  
  3. S2-2017-373112-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2017-373112-title.pdf