Laporkan Masalah

ARAN ORA UMUM (Dinamika Penamaan Anak di Masyarakat Dusun Wanalaya, Jawa Tengah)

ADE YUSUF FERUDYN, Dr. Y. Argo Twikromo, M.A

2017 | Tesis | S2 ILMU ANTROPOLOGI

Penelitian tentang tradisi penamaan lokal Jawa dan dinamikanya belum banyak dilakukan. Secara garis besar, bahasan penelitian-penelitian yang sudah ada masih terbatas pada dinamika tradisi penamaan lokal masyarakat di pusat kebudayaan Jawa (Jogja-Solo). Belum ada penelitian yang membahas tentang bagaimana tradisi penamaan lokal dan dinamikanya pada masyarakat di wilayah perifer Jawa. Di Dusun Wanalaya, Kab. Purbalingga yang berada di wilayah kultural Banyumasan, muncul nama-nama campuran bernuansa asing dalam dua dekade terakhir. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui apa yang mendasari masyarakat disana hingga nekat menamai anaknya dengan nama campuran. Konsep friksi dari Tsing digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian ini. Friksi melihat bahwa kebudayaan terbentuk dan bertransformasi dalam sejarah panjang interkoneksi antara lokal, regional, dan global dalam perbedaan. Munculnya nama-nama campuran di Dusun Wanalaya juga berpeluang besar didasari oleh interkoneksi antara lokalitas disana, regional (negara), dan global. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi partisipasi, dan wawancara mendalam dengan informan dari berbagai elemen masyarakat disana. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan konsepsi diatas dengan pendekatan interpretif. Temuan data menunjukkan adanya interkoneksi antara lokal, regional, dan global yang mendasari munculnya nama campuran di Wanalaya. Terdapat krisis pewarisan tradisi penamaan lokal sejak 3 dekade sebelumya di masyarakat Dusun Wanalaya. Para sesepuh disana tidak mewariskan tradisi penamaan lokal karena para generasi mudanya sendiri bersikap antipati dan tidak ingin mempelajari tradisi lokal. Lemahnya fondasi tradisi lokal, longgarnya kontrol keluarga dan sesepuh, tingginya persaingan sosial, mobilitas, dan gaya hidup masyarakatnya, serta kepemilikan alat-alat telekomunikasi secara massal, memberikan peluang bagi para generasi muda disana untuk nekat menamai anaknya dengan nama-nama bernuansa Barat. Sistem administrasi negara yang semakin kurang fleksibel dan masuknya pendidkan formal, turut membuat nama lokal Banyumasan menjadi termarjinalkan dan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Terlepas dari diambilnya nama-nama bernuansa asing sebagai nama anak, masyarakat Dusun Wanalaya bersikap kompromis dengan tetap memasukan nama-nama bernuansa lokal Jawa dan Arab, serta melokalkan nama bernuansa asing karena tidak ingin dieram-eramna oleh masyarakat. Oleh karena itu, merka mengambil jalan tengah untuk mengakomodasi aspek lokal dengan memberi nama campuran pada anaknya.

The studies about the dynamics of local Javanese naming tradition are still not much so far. Generally, the focuses of those research are still limited to the community whom lived in the Javanese culture core (Jogja-Solo). There are no studies that discusses about the dynamics of the local Javanese naming tradition in the peripheral region of Javanese culture so far. In Wanalaya village, Purbalingga District that located in Banyumasan culture, appear some mixed names that contain foreign nuanced name in the last two decades. This research tries to find out the context and events that underlie the people there to name their children with a mixed name. Tsing’s conception about friction used as a tool of analysis in this study. According to that concept, culture is formed and transformed in the long history of interconnection between local, regional, and global diversity. The emergence of the mixed names in Wanalaya also have a big chance to be one of the effects of interconnection between localities there, regional (state), and global. The data in this study were obtained through participatory observation and in-depth interviews with informants from the various elements of society there. The data then analyzed using the friction concept with an interpretive approach. The data showed that there is an interconnection between localities, regional (state), and global that underlie the emergence of mixed name in Wanalaya. There was a crisis about inheritance of local naming tradition since 3 decades earlier in Wanalaya village. The elders wasn’t inherit the local naming tradition to the younger generation because they are antipathy and didn’t want to learn about local traditions. The weak foundation of the local tradition, the looseness of the control from family and elders, highly social competition, mobility, and the lifestyle of the community, as well as the ownership of telecommunication devices, provide opportunities for the young generations in Wanalaya to name their children with the name that contains foreign nuances. State administration system that become less flexible and a formal education also make the local names being marginalized and abandoned by the local people. Apart from foreign nuanced names that taken as the children name in Wanalaya, the people also being compromise with keep a name that contain Javanese and Arabic nuances, and localize foreign nuanced name because they do not want to be considered excessive by the local community. Therefore, the middle way is chosen to accommodate the local elements by giving their children with a mixed name.

Kata Kunci : Mixed Name, Wanalaya Village, Peripheral, Local Naming Tradition, Aculturation Crisis.

  1. S2-2017-354453-abstract.pdf  
  2. S2-2017-354453-bibliography.pdf  
  3. S2-2017-354453-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2017-354453-title.pdf