Industri garam petani di Kabupaten Sumenep tersebar di 11 kecamatan. Produktivitas garam di 11 kecamatan tersebut sangat bervariasi. Terdapat kecamatan yang memiliki produktivitas tinggi (>100 ton/ha), sedang (80≥60 ton/ha) dan rendah (<60ton/ha). Garam yang dihasilkan mutunya masih rendah sehingga belum memenuhi SNI garam bahan baku untuk industri garam beryodium, karenanya penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab permasalahan dan menemukan alternatif perbaikan sebagai rekomendasi teknologi produksi garam. Pemilihan sampel lokasi menggunakan stratified random sampling berdasarkan produktivitas dan letak geografis sedangkan sampel petani menggunakan purposive sampling. Identifikasi faktor penyebab menggunakan Diagram Ishikawa. Pengembangan alternatif perbaikan teknologi produksi garam menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Faktor 1 adalah 3 jenis teknologi produksi (geomembran, maduris dan portugis) dan faktor 2 adalah 5 taraf konsentrasi "air tua" (22°be, 23°be, 24°be, 25°be dan 26°be). Pemilihan alternatif perbaikan teknologi produksi garam menggunakan metode Zero-One. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya petunjuk dan tidak diketahuinya konsentrasi "air tua" terbaik merupakan faktor penyebab variasi produktivitas pada teknologi produksi tradisional maupun semi tradisional. Tidak adanya petunjuk, pemanenan garam secara keseluruhan, adanya bahan ikutan pada air laut dan pemusatan keputusan pada mandhong merupakan faktor penyebab rendahnya mutu pada teknologi produksi tradisional sedangkan adanya bahan ikutan pada air laut, tidak diketahuinya konsentrasi "air tua" terbaik dan bocornya membran merupakan faktor penyebab rendahnya mutu pada teknologi produksi semi tradisional. Teknologi produksi portugis dengan konsentrasi "air tua" 24°be dan teknologi produksi geomembran dengan konsentrasi "air tua" 23°be merupakan teknologi produksi yang direkomendasikan. Teknologi produksi portugis dengan konsentrasi "air tua" 24°be dan biaya investasi alat Rp 2 juta memiliki umur pakai 1 tahun dan dapat menghasilkan garam dengan produktivitas 2,9 ton/ha dan kemurnian 95% sedangkan teknologi produksi geomembran dengan konsentrasi "air tua" 23°be dan biaya investasi alat Rp 4,6 juta memiliki umur pakai 5 tahun dan dapat menghasilkan garam dengan produktivitas 3 ton/ha dan kemurnian 94,9%.

Salt farmer industries in Sumenep District are spread over 11 sub districts. The productivity of the industries in these 11 districts are varied, which could be divided into three categories, namely: high productivity (>100 ton/ha); medium productivity (ranged from 80 to 60 ton/ha); and low productivity (<60 ton/ha). Quality of the salt produced from these industries are still considered low that does not met the requirements of Indonesian National Standard (SNI) for iodized salt raw materials. Therefore, this research aim to identify factors causing these productivity and quality problems and to determine improvement alternatives on salt production technologies. Stratified random sampling was used for locations sampling based on their productivities and geographical areas, while purposive sampling was used for farmers sampling. Ishikawa Diagram was used to identify problem causal factors. Development experiment of production technologies alternatives was designed with factorial randomized complete block design (factorial RCBD). The first factor was three types of production technologies, namely: geo-membrane; maduris; and portugis, while the second factor was five concentration levels of "air tua" (22°be, 23°be, 24°be, 25°be, and 26°be). Alternatives selection of production technologies improvement was done through Zero-One method. The research revealed that the absence of standard operational procedures and ignorance of optimum concentration of "air tua" as factors causing productivity variation on existed fully- and partially-traditional production technologies. The absence of standard procedure, harvesting, sea water, and centralized decision-making on mandhong, were considered as factors causing low quality of salt produced with fully-traditional technology, whereas sea water; the use of less-optimum concentration levels of "air tua"; and membrane leaking were considered as the causal factors for partially-traditional technology. We recommend concentration levels of 24°be and 23°be for portugis and geo-membrane production technologies, respectively. The portugis technology produced 2.9 ton/ha salt with 95% purity, while geo-membrane produced 3 ton/ha salt with 94.9% purity. The first technology required 2 million rupiahs for the investment with 1 year technical life, whereas second technology required 4.6 million rupiahs for the investment with 5 years technical life.

Kata Kunci : Garam, industri, mutu, petani, produktivitas, Salt, industry, quality, farmer, productivity