Indonesia memiliki sejarah kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang panjang. Pada tahun 1740, diperkirakan 10.000 penduduk Tionghoa dibantai dalam peristiwa di Angke. Dalam pemerintahan Orde Baru, pemerintah melarang ekspresi budaya Tionghoa dipertunjukan di depan umum. Puncak kekerasan terjadi pada bulan Mei 1998. Etnis Tionghoa menjadi sasaran kerusuhan yang terjadi di beberapa kota ini. Negara melalui Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah mengumpulkan fakta-fakta di lapangan. TGPF melaporkan setidaknya seribu korban tewas dan hampir seratus perempuan mengalami kekerasan seksual, namun hingga saat ini tak satupun orang diadili. Oleh karena itu, posisi pemuda penting agar peristiwa kelam ini tidak hilang ditelan waktu. Penelitian ini berusaha mengungkap konstruksi pemuda Tionghoa terhadap kerusuhan Mei 1998 serta faktor apa saja yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi. Metode ini digunakan untuk memahami dialektika antara pemuda dengan lingkungan sosio-kulturalnya dalam menganalisis peristiwa. Konsep Berger dan Luckmann tentang konstruksi sosial digunakan untuk menganalisa temuan-temuan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan tujuh orang informan dengan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data. Dalam penelusurannya, penelitian ini menemukan variasi makna yang dipengaruhi oleh setting sosial. Pertama, kelompok berpagar (gated community) memaknai kerusuhan Mei 1998 sebagai peristiwa yang memperlebar jarak sosial mereka dengan kelompok etnis lain. Kelompok kedua, pemaknaan pemuda yang bermukim di pecinan tidak sarat dengan persoalan konflik etnis. Kelompok terakhir, kelompok yang bermukim di lingkungan pluralis memaknainya sebagai peristiwa kekerasan manusia, yang tidak berdampak pada sikap mereka atas kelompok tertentu. Faktor lingkungan sosial memang mempengaruhi pemuda, tetapi ada faktor di luar itu, seperti media dan teman sepermainan, yang tentu saja membuat diskusi ini semakin menarik. Dari ketiga variasi di atas, maka dapat disimpulkan sistem pengetahuan seseorang tidak bisa dipisahkan dari setting sosialnya. Dalam teori konstruksi sosial, selalu terjadi dialektika antara diri (self) dengan lingkungan sosialnya, maka telah terjadi pula dialektika antara pengalaman subjektif pemuda dengan lingkungan sosial sebagai realitas objektif. Dari proses inilah, ketiga variasi konstruksi diatas dihasilkan.

Indonesia has a long history of violence against ethnic minority, especially Chinese. Back to 1740, approximately 10.000 Chinese Indonesians were slaughtered in Angke, Batavia. In New Order period, the government prohibited any cultural expression of Chinese society to be performed in public. Then in May 1998, Chinese Indonesians became the target of the violence and riot which was occured in Jakarta and other cities. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF or Fact Finding Joint Team) had collected some facts on the ground. They reported at least thousands were dead and nearly a hundred women have experienced sexual violence during the riot. As a country, youth role become important to remember, commemorate, and learn something from these dark historical events. This study seeks to uncover the construction of the Chinese Indonesian youth in May 1998 riot as well as the key factors which influence the construction. This study uses phenomenology method. This method is used to understand the dialectic process between youth and their socio-cultural environment to analyze historical events. Berger and Luckmann's concept of the social construction used to analyze the datas of this research. At least seven informants were in-depth-interviewed in this research. The research found variations in the meaning of which is influenced by social setting. The first one, the gated community, they see May 1998 riot as an event to widen their social gap with other ethnic groups. Second, the youth who live in Chinatown believe that the riot was not loaded with ethnic conflict issues. And the last one, the group who live in pluralistic environment interpret it as human violence, which had no impact on their stance on a particular group. Social setting might be one of the key factor, but there are also other factors beyond it, such as peer group and social media, which are also could make this discussion far more interesting. Of the three variations above, it can be concluded that the system of knowledge of a individual can not be separated from their social setting. In the theory of social constrcution, there always been a dialectic process between subjective matters (experience) with socio-cultural environment as objective reality. This is how three variations above were produced.

Kata Kunci : kerusuhan Mei 1998, etnis Tionghoa, pemuda, konstruksi sosial, identitas