Bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat Prenggan Yogyakarta, sungai mempunyai fungsi yang sangat besar. Di sungai mereka mejalankan berbagai macam kegiatan sehari-hari. Namun lajunya pertumbuhan pembangunan, serta peningkatan jumlah penduduk yang kian bertambah, hingga merambah kebantaran sungai, membuat area sungai mengalami pencemaran, sehingga keadaan menjadi berubah, area sungai menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah. Tetapi belakangan ini, muncul suatu upaya untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sungai yang tercemar tersebut dalam bentuk aksi kolektif (collective action). Penelitian ini mengkaji tentang siapa saja aktor-aktor yang terlibat, bagaimana aksi kolektif yang dilakukan dan bentuk relasi sosial yang terbangun untuk mengembalikan fungsi sosial Sungai Gajah Wong, serta apa saja hasil yang dicapai atas aksi kolektif tersebut. Metode penelitian yang dipakai berupa pendekatan penelitian lapangan atau field work yang bersifat kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan observasi, penelaahan terhadap dokumendokumen yang ada, dan opened interview terhadap 54 responden yang terdiri dari civil society, state sector dan NGOs/CSO dengan teknik snowball sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, ada perbedaan gerakan dan penggunaan sungai yang terjadi dari waktu ke waktu. Sebelum tahun 1980-an, masyarakat sangat tergantung pada sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka menjalankan aktivitasnya disekitar area sungai, sehingga lahir tradisi lokal. Area sungai juga berfungsi sebagai tempat untuk menyampaikan dan menerima informasi. Pada tahun 1980 – 2004, sungai mengalami pencemaran berat. Keadaan inilah yang membuat masyarakat menjauh, dan terasing dari lingkungan serta tradisi lokal yang berkembang disekitar bantaran sungai. Sedangkan aksi pembersihan dan perbaikan terhadap area sungai dilakukan secara individu. Pada tahun 2004 – 2010, keadaan mulai berubah. Pada masa ini NGOs/CSO dan state sector, mulai terlibat dalam pelestarian dan perbaikan terhadap kondisi sungai. Upaya-upaya pemersihan dan awareness terus dilakukan, hingga tumbuh mindset of environmental, serta kesadaran kolektif yang kemudian berkembang menjadi aksi kolektif untuk mengembalikan fungsi sosial sungai. Secara singkat dapat disampaikan bahwa, sebelum tahun 1980 masyarakat menggunakan sungai dan area sekitarnya untuk beraktivitas, pada masa itu kondisi sungai masih sangat bersih, meskipun tidak ada aksi maintenance yang bersifat kolektif. Pada tahun 1980-2004, area sungai menjadi sangat kotor, aksi pembersihan terhadap sungai dilakukan secara individu, ironisnya keterlibatan NGOs/CSO dan state sector juga sangat lemah. Aksi kolektif baru terlihat setelah tahun 2004, aktor yang terlibat adalah civil society, NGOs/CSO dan state sector. Aksi ini menghasilkan beberapa pembangunan fasilitas publik, tumbuhnya kesadaran masyarakat, serta berfungsinya area Sungai Gajah Wong sebagai ruang publik.

For some civil society, especially for cummunity of Prenggan Yogyakarta, who lived around the banks of Gajah Wong River, the river has a very large function. On the river they carry out a wide range of daily activities, from toilets to the economic needs domistic. But the pace of development growth, as well as an increase in the number of civil society increasing, until reaching kebantaran river, making river areas experiencing pollution, so things get changed, area rivers become dumping grounds for garbage and waste. But lately, appeared an effort to make improvements to the condition of the polluted river in the form of collective action This study examines the actors who are involved, how the collective action undertaken and the forms of social relationship that was established to restore the social functioning Gajah Wong River, and what the outcome of such collective action. The research method used in the form of field research approach or a qualitative field work, data collection is done by observation, review of existing documents, and opened interviews with 54 respondents consisting of civil society, state sector and NGOs / CSOs with a snowball technique sampling. Results showed that, there are differences in the movement and use of the river that occurred from time to time. Before the 1980s, the community is dependent on the river to meet daily needs, they run activities around the area of the river, so the local tradition was born. Area rivers also serve as a place to communicate and receive information. In the year 1980 - 2004, the river suffered heavy pollution. The situation is what makes civil society stay away, and alienated from the environment and local traditions that developed around the banks of rivers. While the action of cleaning and repairs to the area of the river done individually. In the year 2004 - 2010, things began to change. At this time the NGOs / CSOs and the state sector, began to get involved in the preservation and improvement of river conditions. Pemersihan efforts and awareness continues to be done, until the growing mindset of environmental, as well as the collective consciousness that evolved into collective action to restore social functioning river. This collective action, prompting some public facilities development on the edge of the river, which can be accessed by all layers of society. In short it can be said that, before 1980, civil society use the river and surrounding area for the move, at that time the river conditions are still very clean, although there is no maintenance action that is collective. In 1980-2004, the area of the river becomes very dirty, the cleaning action of the river done individually, ironically, the involvement of NGOs / CSOs and the state sector is also very weak. The new collective action seen after 2004, the actor involved is civil society, NGOs / CSOs and the state sector. This action produces some of the construction of public facilities, growing public awareness, as well as the functioning of Gajah Wong River area as public space.

Kata Kunci : pencemaran lingkungan, gerakan lingkungan, aksi kolektif, pengembalian fungsi sosial sungai, area publik.